Liputan6.com, Tanjung Jabung Timur - Mat Rohim (53) kaget bukan kepalang kala menggali tanah untuk pondasi rumahnya. Bukan tanpa sebab, saat menggali sekitar kedalaman satu meter itu cangkulnya membentur kayu-kayu yang tertimbun di dalam tanah.
Kaget bercampur firasatnya yang aneh, Mat Rohim langsung minta pendapat kakeknya. Tak berselang lama, sang kakek menyarankan supaya Mat Rohim tak melanjutkan pembangunan pondasi rumahnya di lokasi itu.
Mat Rohim pun mengikuti saran kakeknya. Ia lantas menggeser lokasi pembangunan rumahnya yang hanya selemparan batu dari lokasi penemuan kayu. Tak hanya menggeser lokasi pembangunan rumahnya, ia juga melaporkan temuannya itu kepada pemerintah pada tahun 1995.
Advertisement
Baca Juga
"Dulu pas kakek masih hidup, saya tanya ini gimana Mbah? Terus kakek saya menjawab kalau mau bikin rumah agak ke belakang saja, jangan di tempat itu," ujar Mat Rohim kepada Liputan6.com, Selasa 20 Agustus 2019 saat mengenang temuan belasan tahun silam.
Mat Rohim pun melaporkan temuannya itu ke Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, kini Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Setelah dilakukan penelitian memang ada sisa-sisa papan di dalam tanah. Sejak tahun 1997 situs tersebut dinyatakan sebagai peninggalan arkeologi yang penting dan dilindungi.
Sejak saat itu, Mat Rohim jadi mengerti jejak peradaban masa lampau pernah singgah di halaman depan rumahnya di Desa Lambur, Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Rumah Mat Rohim yang berjarak hanya selemparan batu dari situs kapal kuno itu, kini menjadi tempat tinggal sementara bagi tim arkeolog yang sedang melakukan ekskavasi kapal kuno ini. Tim ini diketuai oleh Dr Ali Akbar yang merupakan seorang arkeolog dari Universitas Indonesia (UI).
Tim arkeologi yang bekerjasama dengan Pemda Tanjung Jabung Timur ini sudah dua pekan melakukan ekskavasi di situs tersebut. Bagaimana proses ekskavasi kapal kuno peninggalan jejak peradaban masa lampau ini?
Proses Eskavasi
Siang itu di bawah terik matahari, sejumlah arkeolog dan beberapa pekerja sudah berlumuran lumpur dan bulir-bulir keringat mengucur dari kening mereka. Maklum, hari itu panas sekali. Namun, tim arkeolog UI yang dibantu mahasiswa arkeologi FIB Universitas Jambi tak surut menyingkap jejak peradaban kuno.
Tak jauh dari situs, beberapa orang lainnya sedang menyusun pecahan gerabah, guci keramik yang merupakan benda sisa-sisa peninggalan dari situs kapal kuno dan di areal sekitarnya.
"Baru sekarang ini kita gali dan dilakukan penelitian, kita ingin mengetahui seberapa besar kapal kuno ini, seberapa tua usianya dan masih banyak lagi yang ingin kita ketahui dari peninggalan sejarah ini," kata Ketua Tim Eskavasi Dr Ali Akbar kepada Liputan6.com.
Dalam proses penggalian itu ditemukan tujuh bilah papan yang disambung dengan pasak kayu dan diperkuat dengan ikatan tali ijuk. Ini bukan sembarang kapal. Menurut Ali Akbar, teknik seperti ini dikenal sebagai teknik pembuatan kapal di Asia Tenggara pada masa itu.
Bangsa-bangsa di Asia Tenggara, termasuk nusantara, menurut dia, sejak abad ke-3 sudah mengenal cara pembuatan kapal dengan teknik seperti ini. Namun, untuk mengetahui secara pasti usia dari temuan tersebut, sampel kayu dari kapal kuno sedang dilakukan uji karbon.
"Kita sedang uji karbon dan dalam waktu dekat sudah tahu usia pastinya. Tapi kalau perkiraan rentang usianya ini bisa dari abad 3 sampai 14 masehi," ujarnya.
Dari penelitian yang baru berjalan beberapa pekan tersebut, katanya, belum diketahui secara pasti panjang dan lebar dari kapal kuno ini. Selain itu juga belum diketahui yang mana haluan dan mana buritan dari kapal kuno ini. Kulit kapal pun belum ditemukan.
"Ada kemungkinan temuan ini bukan satu kapal yang sama. Bisa jadi ada beberapa kapal, tapi ini masih terus berlangsung risetnya dan mudah-mudahan dalam beberapa hari ke depan kita akan menemukan jawabannya mengapa bentuknya beda semua dari teknologi perkapalan yang kita kenal," katanya.
Namun kata Abe, sapaan akrab Ali Akbar, jenis temuan kapal seperti ini yang teknik pembuatannya disambung dengan pasak kayu tanpa logam lalu diikat pakai tali ijuk itu mampu berlayar mondar-mandir. Pada masa itu kapal tersebut mampu membawa banyak muatan.
"Pada masa itu kapal dengan teknik seperti ini memiliki daya jelajah yang tinggi dan mampu hilir mudik berlayar sampai jauh ke mancanegara (China, India Arab dan seterusnya) yang digunakan untuk mengangkut barang dan manusia pada masa lampau," katanya.
Â
Galangan Kapal Masa Lampau
Ali Akbar yang juga merupakan peneliti muda terbaik rumpun ilmu sosial humaniora UI itu mengatakan, di kawasan situs tersebut dulunya merupakan sebuah tempat galangan kapal pada masa lampau. Hal ini diperkuat temuan bagian-bagian kapal yang terpisah.
"Di ujung sana ditemukan gading-gading kapalnya, harusnya gading-gading itu ditemukan tidak jauh dari sekitar sini, lalu lunas kapal belum ditemukan, di sini juga ada kayu besar melintang, tapi nanti kita cek apakah ini lunas kapal yang dimaksud," katanya.
Yang menarik menurut dia, biasanya dalam satu temuan kapal ditemukan macam-macam benda. Namun, di situs ini praktis tak banyak ditemukan benda-benda yang diangkut oleh kapal.
Di situs kapal kuno hanya ditemukan pecahan tembikar yang usianya sangat tua dan poreselin yang tidak ada motifnya. Pihaknya memperkirakan kapal yang sedang diteliti tersebut, posisinya bukan karam. Melainkan sedang bersandar atau mungkin pada masa itu sedang diperbaiki.
"Bisanya kalau kapal karam itu posisinya bawa muatan banyak. Tapi kalau ini temuanya bendanya sedikit, dan sepertinya (kapal) ini bukan karam," kata Ali Akbar.
Selain itu, berdasarkan hasil pemetaan di sekitar situs ini terdapat alur sungai kuno menyambung ke sungai Batanghari yang bermuara ke laut China Selatan. Jarak situs kapal kuno ke laut lepas hanya berjarak sekitar 20 kilometer. Kondisi ini cukup memperkuat bahwa situs tersebut dulunya adalah sebagai tempat galangan kapal.
Namun demikian, kata dia, situs tersebut dulunya tempat galangan kapal masa lampau masih perkiraan awal. Riset atau penelitian tersebut masih akan terus dikembangkan.
Tentang Sabak
Situs kapal kuno atau ini lebih dikenal dengan nama situs Lambur. Tapi masih menurut Ali Akbar, nama kunonya adalah Sabak atau Muara Sabak.
Kini, nama Sabak pun, masih melekat menjadi nama daerah untuk ibu kota di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Nama ini sudah dikenal pada masa pedagang Arab dan Persia abad ke-7 dan 8 masehi yang sudah masuk ke daerah ini untuk berdagang.
Sabak yang berada di ujung aliran Sungai Batanghari, Muara Sabak memang menyimpan jejak peradaban masa lampau dalam perdagangan jalur rempah. Tak jauh dari situs kapal kuno ini, juga ditemukan situs Siti Hawa.
Di situs ini dalam survei tim arkeologi UI ditemukan banyak pecahan keramik tua dan batu bata kuno yang cukup relatif langka ditemukan. Ini menandakan bahwa bangsa-bangsa zaman dulu datang ke Sabak.
"Di sekitar situs kapal tersebut, juga ditemukan sungai kuno yang melintas dan mengelilingi sampai ke laut. Dan di sekitar situs ini masih ada kapal-kapal kuno lain, sehingga pada masa itu bisa dikatakan di Sabak ini lalu-lintas jalur perdagangan cukup padat," kata Ali Akbar.
Sementara itu, pemerhati sejarah di Jambi M Ali Surakhman mengatakan, pada masa itu daerah Sabak yang merupakan daerah berada di ujung timur pantau Sumatra di Provinsi Jambi menjadi tempat masuknya para pedagang.
Dalam berita Arab abad 9 menurut Ali Surakhman, pada masa itu daerah Sabak ditengarai sebagai pelabuhan ramai yang mengangkut rempah. Berita China lama selanjutnya menyebut "San-fo-tsi" sebagai bandar yang sering dikunjungi saudagar untuk membeli rempah.
"Sabak adalah sebagai daerah jalur rempah. Seperti kayu manis, lada, getah damar di bawa pedagang masa lampau lewat jalur Sabak ini," pungkas Ali Surakhman.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement