Liputan6.com, Jakarta - Demi mensinergikan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan krisis kepariwisataan, Kementerian Pariwisata menggelar sosialisasi Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK) Daerah. Â
"MKK menjadi pedoman dalam menangani krisis pariwisata di Tanah Air ini mengacu pada standar dunia UNWTO," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Senin (9/9/2019).
Lebih jauh dirinya menjelaskan, tak dapat dipungkiri posisi Indonesia terletak di Cincin Api (Ring of Fire) Pasifik, yang menimbulkan berbagai ancaman bencana alam tektonik dan vulkanik yang berpotensi mengganggu aktivitas pariwisata.
Advertisement
Keandalan sektor pariwisata dalam menangani kondisi krisis baik alam dan non-alam (krisis sosial) merupakan salah satu kriteria utama dalam membangun pariwisata berkelanjutan dan berdaya saing internasional.
"Kami berharap agar seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pariwisata perlu memahami risiko bencana dan krisis di wilayahnya, serta membekali diri dengan kemampuan pengelolaan krisis kepariwisataan sebagaimana dalam panduan (SOP) Pengelolaan Krisis Kepariwisataan," kata Arief Yahya.
Sementara itu sebagai payung hukum dalam melaksanakan MKK, Menteri Pariwisata telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pariwisata (Permenpar) Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2019 tentang Manajemen Krisis Kepariwisataan. Permenpar MKK tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengidentifikasi, merencanakan, mencegah, menangani, dan mengevaluasi Krisis Kepariwisataan agar kepariwisataan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota terlindungi dan berkesinambungan.
Kepala Biro Komunikas Publik (Biro Komblik) Kemenpar Guntur Sakti yang juga sebagai Ketua Tim Tourism Crisis Center (TCC) mengatakan, Biro Komblik Kemenpar mempunyai tiga program strategis, yakni Pelayanan Informasi Publik, Publikasi dan Pengelolaan Media, dan  Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK).
"Pembentukan MKK merupakan amanah dari hasil Rapat Koordinasi (Rakor) Pusat dan Daerah dalam rangka mengakselerasikan devisa negara dari sektor pariwisata yang tahun ini diproyeksikan sebesar US$ 20 miliar," kata Guntur Sakti.
Untuk melaksananakan MKK tersebut telah dibuat payung hukum berupa Permen No. 10 Tahun 2019 tentang Manajemen Krisis Kepariwisataan, sedangkan sebagai pedoman pelaksanaannya telah dibuat Prosedur Operasional Standar (SOP): Aktivitasi Tourism Crisis Center (TCC) sebagai pedoman dalam Pengelolan Krisis Kepariwisataan.
"SOP Pengelolaan Krisis Kepariwisataan ini fokus pada dua aspek penanganan, yaitu produk (destinasi dan industri) dan konsumen (wisatawan) sejak masa tanggap darurat hingga pemulihan dengan melibatkan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, asosiasi dan komunitas pariwisata, serta pemangku kepentingan pariwisata lainnya (Indonesia incorporated)," kata Guntur Sakti.
Sementara itu, Kepala BNPB Doni Munardo mengatakan, Permen akan bisa mningkatkan kapasitas dalam pengelolaan kepariwisataan di daerah. Nanti peraturan itu akan sinergi dengan rencana inpres, di mana semua provinsi kabupaten/kota diwajibkan menyusun perencanaan pengelolaan krisi kepariwisataan.
"Jika semua itu sudah disusun dengan baik, ada bencana, mungkin kerugiannya tidak akan banyak," katanya.
Jika hal ini sudah berjalan, kata Doni, tentu akan meningkatkan kepercayaan global terhadap pariwisata Indonesia. BNPB juga punya tim yang sudah mencoba untuk melakukan sosialisasi ke sejumlah provinsi.
"Bali ini sudah bagus sekali sistemnya. Beberapa hotel di  Bali ketika tamu hotel datang sudah memberikan informasi apa potensi yang akan terjadi jika timbul bencana, dan apa langkah-langkah evakuasinya," ungkap Doni.
Paket penanangan seperti itu, kata Doni, juga telah dikirim ke berbagai provinsi di Indonesia untuk segera diterapkan. Tak hanya itu, BNPB juga mendorong daerah-daerah yang punya potensi kebencanaan tetapi bisa dimanfaatkan untuk pariwisata.
"Karangetang misalnya, ini erupsi terus, kalau malam pijarnya kan indah. Kalau ini disiapkan dengan baik, otomatiskan ini bisa dijual," katanya. Â