Liputan6.com, Yogyakarta - Akademisi dan mahasiswa kampus biru berkumpul di Balairung UGM, Minggu (15/9/2019). Mereka kompak mengenakan baju hitam dan membawa poster beraneka tulisan yang intinya serupa.
Mereka menolak RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka marah dengan tindakan yang diambil oleh politisi dan legislator yang berupaya secara masif melemahkan keberadaan KPK.
Satu per satu dosen dari berbagai fakultas di UGM menyampaikan pandangannya tentang polemik yang sedang melanda KPK. Mereka masih percaya KPK adalah satu-satunya lembaga di negara ini yang sukses memberantas korupsi.
Advertisement
Mereka juga merasa Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak merasa mendapat cukup asupan informasi sehingga terseret ke arus yang dibuat oleh para koruptor dengan membiarkan pembahasan RUU KPK berlanjut.
Salah satu dosen Fisipol UGM Wahyudi Kumorotomo membacakan secarik puisi untuk Jokowi. Sebagai sesama alumnus UGM, ia ingin Jokowi kembali menjalankan amanah demokrasi dan konstitusi dengan tidak membiarkan KPK dilemahkan. Berikut sebagian isi puisi yang dibacakan oleh Wahyudi.
Baca Juga
Mas Joko Widodo ingatlah ketika kita makan gudeg di Barek, makan nasi kucing di Bulaksumur, dan mendaki bersama di Gunung Merbabu
Waktu itu kita berpikir di Indonesia banyak yang lebih menderita dari kita, maka pikirkanlah nasib rakyat Indonesia yang masih banyak makan nasi aking
Jangan biarkan mereka menjadi korban syahwat politik legislatif
Ingatlah Mas Joko, kita ada di belakang presiden, kita percaya presiden akan memberikan yang terbaik untuk pencegahan korupsi
Alangkah naif jika suara hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan mereka
Mari kita lawan upaya politis untuk melemahkan KPK.
"Jokowi alumni UGM, kami tidak ingin alumni kami jadi orang yang menghabisi KPK," ujar Wahyudi.
Â
5 Pernyataan Sikap Tolak Pelemahan KPK
Dewan Guru Besar UGM yang diwakili oleh Koentjoro juga membacakan lima pernyataan sikap yang diikuti peserta aksi. Ia menilai upaya sistematis pelemahan KPK dan gerakan anti-korupsi yang agresif dan brutal dalam beberapa pekan terakhir melecehkan moralitas bangsa.
"Pengajuan RUU KPK yang tidak mengikuti prosedur legislasi, proses pemilihan capim KPK yang penuh kontroversi, bahkan teror kepada para akademisi aktivis anti-korupsi tidak hanya melemahkan KPK, tetapi juga sendi-sendi demokrasi," tuturnya.
Mewakili dosen dan akademisi serta mahasiswa di UGM, ia menuntut kepada pemerintah dan DPR untuk menghentikan segala tindakan pelemahan KPK. Kedua, menghentikan pembahasan RUU KPK karena prosedur dan substansinya yang dipaksakan, sehingga berpotensi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi dan menjadi akar karut marut persoalan.
"Ingat, semua ini terjadi dalam kondisi perekonomian yang menghadapi potensi resesi," ucap Koentjoro.
Ketiga, mengevaluasi pembahasan RUU lain yang melemahkan gerakan anti-korupsi. Pisahkan pasal-pasal anti-korupsi dari revisi UU KUHP dan lakukan revisi UU Tipikor untuk mengakomodasi rekomendasi UNCAC.
Ia juga meminta pembahasan beberapa RUU SDA tidak perlu dipaksakan selesai dalam waktu dekat untuk memastikan tidak adanya state-captured corruption dalam RUU tersebut.
Keempat, menyadari situasi krisis dan mengakui secara bersama bahwa kita sudah bergeser dari amanah reformasi dan konstitusi. Bangsa Indonesia wajib kembali ke rel demokrasi, sesuai haluan reformasi dan amanah konstitusi.
"Kelima, semua ini harus dilakukan segera dan secara efektif dalam tempo yang sesingkat-singkatnya," kata Koentjoro.
Advertisement
Menghimpun Dukungan dari Perguruan Tinggi se-Indonesia
Aksi tolak pelemahan KPK dari UGM ini juga mendapat dukungan dari 2338 dosen di 33 universitas. Dukungan aksi Aliansi Akademisi Nasional menolak RUU KPK dan upaya pelemahan KPK per jam 16.00 WIB, Sabtu, 14 September 2019, antara lain, berasal dari, 344 dosen UGM, 160 dosen UI, 102 dosen IPB, 286 dosen UII, 111 dosen Unhas, dan 30 dosen UNS.
"Sebenarnya pada 10 September sudah terkumpul 2000-an tetapi ponsel saya diretas dan justru pesan yang terkirim ke teman-teman aliansi berisi dukungan terhadap revisi UU KPK," ujar Rimawan Pradiptyo, dosen FEB UGM.
Ia bercerita, pada hari itu ia mendapat notifikasi via sms dua kali dan WhatsApp serta Telegram di ponselnya tidak bisa digunakan lagi. Ia menyadari medsosnya diretas setalah kawan-kawan di aliansi menelepon dan meminta konfirmasi perihal isi pesan yang berkebalikan dengan perjuangannya.
Setelah itu, Rimawan pun mengganti nomor teleponnya dan memulai konsolidasi kembali. "Saya coba hubungi lagi tetapi saat telepon diangkat tidak ada suaranya," kata Rimawan.
Ia tidak mempersoalkan hal itu. Sebab di negara demokrasi, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah. "Mari kita jaga demokrasi, cara-cara peretasan, teror, perlu dihilangkan dan ini menjadi pekerjaan rumah bersama," dia menandaskan.
Â
Simak video pilihan berikut ini: