Sukses

Petani Sebut Ada Politik Harga Sawit dalam Kasus Karhutla Riau

Asosiasi Petani Sawit Indonesia atau Apkasindo menyatakan petani sawit tidak pernah membakar untuk membuka lahan. Mereka sepakat menyatakan memusuhi pembakar lahan yang menjadi biang kabut asap.

Liputan6.com, Pekanbaru - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau terjadi secara masif sejak akhir Juli hingga September ini. Kabut asap kembali menyelimuti sejumlah wilayah, termasuk Pekanbaru, dan kondisinya menyamai tahun 2015. Sekolah pun terpakasa diliburkan lebih satu pekan.

Ragam pendapat bermunculan mengenai biang kabut asap ini. Ada yang menyebut pelakunya perusahaan untuk land clearing, dan ada pula menuding petani, khususnya sawit, karena pembukaan lahan.

Tuduhan ke petani sawit ini dibantah Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung. Dia menyatakan hal itu merupakan fitnah bagi petani sawit khususnya anggota Apkasindo.

"Ada tuduhan ke petani sawit. Sebetulnya ada dua konsep, dibakar atau terbakar karena tak mungkin ada setan yang membakar. Yang jelas bukan petani sawit yang membakar," tegas Gulat di Pekanbaru kepada Liputan6.com, Senin siang, 16 September 2019.

Menurut Gulat, karhutla Riau tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dia menduga ada pihak tertentu bermain dengan tujuan harga sawit jatuh dan membuat petani rugi besar.

Kampanye gelap terhadap petani sawit, sebut Gulat, terjadi setiap tahun dan berubah tiap waktunya. Dulu, petani sawit dituding mempekerjakan anak di bawah umur hingga ada menyebut olahan sawit menyebabkan kanker.

"Lalu ada menyebut sawit mendapat subsidi, nah tahun ini dan tahun sebelumnya disebut membakar hutan dan lahan. Tujuannya agar sawit Indonesia jelek di dunia dan Eropa membeli murah," katanya.

Dia pun meminta penegak hukum mencari dalang Karhutla dan pihak penyebar berita petani sawit sebagai pembakar lahan. Jika tertangkap, Gulat meminta pelakunya menghirup udara berkabut asap sebagai efek jera.

"Petani sawit di Riau itu tidak bodoh sehingga membakar lahan, apalagi yang sudah ditanam karena biayanya hampir 60 juta per hektare untuk sawit berumur 4 tahun. Apa mungkin petani membakar sawit yang akan berbuah," tegas Gulat.

Gulat menyebut, tidak ada teori dalam literatur manapun jika membakar akan membuat lahan subur. Petani sekarang disebut sudah pintar membuka lahan dengan cara yang benar tanpa menjadi biang kabut asap.

"Yang bakar lahan itu tidak normal. Sementara, tidak ada petani yang tidak normal," tegas Gulat.

2 dari 2 halaman

Aspakindo Musuhi Pembakar Lahan

Dengan kian pekatnya kabut asap di Riau, Gulat mengecam para pembakar hutan dan lahan. Dia menyebut petani sawit memusuhi pembakar karena merasa malu dan iba terhadap generasi yang sehari-harinya memakai masker.

Gulat mengajak seluruh petani sawit anggota Apkasindo menyatakan membuka lahan dengan cara membakar adalah perbuatan jahat. Dia pun berharap penegak hukum menggandeng organisasi petani dan berkolaborasi mengungkap Karhutla.

"Kita sepakat petani harus menjaga jengkal demi jengkal lahannya dari kebakaran. Kita tolak pembakaran lahan," kata Gulat.

Gulat juga memberikan solusi karena Apkasindo sudah membuat posko percepatan pelepasan lahan sawit di kawasan hutan agar ada inventarisasi lahan dan jelas siapa pemiliknya.

Menurut Gulat, dengan adanya kepemilikan yang jelas maka penegak hukum akan lebih mudah untuk mengungkap pelaku pembakaran.

"Kalau sekarang ini banyak surat di bawah tangan, kalau kebakaran yang punya lahan tiarap semua," katanya.

Saat ini, kata Gulat, ada sekitar 2,4 juta hektare kebun kelapa sawit di Riau milik 512 ribu petani swadaya. Dari jumlah itu, sekitar 1,2 juta hektare berada di kawasan hutan seperti hutan produksi, hutan produksi terbatas (HPT), dan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK).

"Jumlah sawit milik petani swadaya di Riau lebih luas dari lahan milik perusahaan yang sekitar 1,6 juta hektare. Tapi dari Apkasindo kita tegas, tidak ada yang di hutan lindung maupun konservasi," tegasnya.

 

Simak video pilihan berikut ini: