Sukses

Prosesi Berburu Suku Marind di Balik Aksi Membakar Hutan

Prosesi Oan atau berburu dalam bahasa Marind, biasa dilakukan sejak bulan Agustus hingga Oktober atau November. Membakar hutan jadi bagian prosesi.

Liputan6.com, Jayapura - Suku Marind di Kabupaten Merauke, Papua percaya tradisi pembakaran lahan atau hutan justru mendatangkan keuntungan melimpah. Hal ini dipercaya terutama dalam prosesi perburuan di hamparan lahan yang banyak ditemui di Kabupaten Merauke hingga Kabupaten Mappi.

Suku Marind bahkan selalu melakukan pembakaran lahan, terutama di musin kemarau, untuk memudahkan tangkapan buruan di lahan itu.

Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Suku Marind, Ignasius Bole Gebze menyebutkan pembakaran lahan di Merauke ataupun Mappi menjadi sebuah tradisi yang dilakukan turun temurun. Namun usai dibakar, masyarakat setempat harus kembali merawat ulang lahan itu.

“Kami justru sengaja melakukan pembakaran lahan pada musim kemarau, untuk lokasi berburu liar bersama dengan masyarakat dari kampung lainnya,” jelas Ignasius, kepada Liputan6.com Kamis (19/9/2019).

Prosesi Oan atau berburu dalam bahasa Marind, biasa dilakukan sejak bulan Agustus hingga Oktober atau November. Bulan Agustus dipercaya oleh masyarakat setempat menjadi bulan transisi antara musim penghujan dan kemarau.

Perburuan mulai dilakukan pada September hingga Oktober dan biasanya pada November hingga Desember sudah mulai musim penghujan dan masyarakat kembali melakukan aktifitas seperti semula di dusun atau desanya.

Ignasius menyebutkan, biasanya untuk melaksanakan Oan harus ada kesepakatan bersama antar kampung. Oan tak hanya diikuti oleh satu kampung saja, namun bisa lebih dari tiga hingga lima kampung sekaligus untik melaksanakan Oan bersama.

Biasanya, proses Oan akan disepakati bersama untuk penentuan lahan, hingga kapan dan jam berapa akan melaksanakan Oan.

“Masyarakat beberapa kampung yang telah sepakat, akan berburu bersama di lahan hutan yang telah ditentukan dan disepakati, karena hutan dipercaya menyimpan banyak binatang buruan seperti babi, kangguru, rusa dan binatang buruan lainnya,” jelas Ignasius.

Setelah disepakati lokasi Oan, maka tempat atau lahan itu akan dibakar bersama, sambil warga yang ikut berburu menjaga hewan buruan yang keluar dari dalam hutan yang sudah terbakar. Warga yang melakukan perburuan menggunakan tombak, busur hingga jerat untuk babi.

“Warga yang ikut berburu saling berjaga dan saling memberikan suara atau kode bahasa isyarat, misalnya mereka meletakkan jari dua atau tiga, berarti ada rusa yang lari ke arahnya, maka orang tersebut harus bersiaga, untuk segera membunuh hewan buruan itu,” ujarnya.

Usai mendapatkan hewan buruaan, maka hasilnya dibagi rata untuk semua kampung yang ikut dalam perburuan. Biasanya pembagian  hasil buruan dilakukan oleh orang paling tua di kampung atau tetua adat yang dipercaya membagi rata hasil buruan, hingga akhirnya dagimg buruan dimakan bersama masyarakat di kampung.

 

2 dari 3 halaman

Sosialiasi Dilakukan

Walaupun sudah menjadi kebiasaan masyarakat Marind, pembakaran hutan tetap dilarang oleh Pemkab Merauke.  Asisten I bidang Pemerintahan, Agustinus Joko Guritno mengatakan membakar lahan untuk berburu atau membuka lahan untuk berkebun harus ditinggalkan oleh masyarakat setempat.

Solusinya, masyarakat harus menggunakan cara tradisional lainnya yang dianggap lebih ramah lingkungan dan tidak merusak hutan.

“Misalnya dalam aktiftas berburu, masyarakat bisa memasang jerat di hutan atau cara lainnya yang tidak berakibat buruk bagi lingkungan,” jelasnya.

Bukan hanya di Merauke, pemerintah di Kota dan Kabupaten Jayapura juga terus mengingatkan warganya untuk tidak membakar hutan, terlebih pada musim kemarau, karena akan cepat merambat apinya.

“Musim kemarau itu semuanya kering. Jadi, kita membuang rokok sembarangan saja, bisa berakibat fatal. Jagalah hutan kita, jangan bakar sampah sembarang dan lain sebagainya,” kata Wakil Wali Kota Jayapura, Rustan Saru.

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura mengingatkan kepada masyarakat setempat untuk menjaga lahannya saat musim kemarau.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, Chris K Tokoro menyebutkan minggu lalu terdapat 100-an hektar hutan terbakar di Sentani.

"Termasuk hutan sagu di Kampung Harapan juga terbakar, lalu di hutan Ifar Gunung dan terakhir di Toware juga terbakar," kata Tokoro.

Tokoro menyebutkan lebih dari satu bulan, Kabupaten Jayapura juga tak pernah diguyur hujan dan mengakibatkan semuanya mengering, termasuk tumbuhan di hutan dan kebun warga. 

 

3 dari 3 halaman

Titik Api di Papua Menyebar

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika wilayah V Jayapura mendeteksi titik api di Papua per 19 September 2019 terdeteksi 8 titik api dengan tingkat kepercayaan diatas 80%.

Kepala BMKG wilayah V Jayapura, Petrus Demon Sili menyebutkan titik api terpantau pada 2 lokasi yakni di Distrik Waibu dan Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, lalu 3 titik api di Kabupaten Jayawijaya yakni di Distrik Hubkosi, Distrik Maima, dan Distrik Pyramid, serta 3 titik api di Kabupaten Merauke yani  Distrik Naukenjerai dan Distrik Waan.

“Daerah yang perlu diwaspadai adalah Kabupaten Mappi dan Merauke. Bulan september adalah puncak musim kemarau, kami mendeteksi ada potensi sebaran titik api masih bisa terjadi,” jelasnya.

Antisipasi kebakaran hutan juga dilakukan oleh jajaran Polres Jayawijaya yang menyebarkan himbauan kepada masyarakat agar tidak membakar hutan dan lahan yang mengakibatkan polusi udara dan terjangkit penyakit ispa dan sesak napas.

Kaur Bin Ops Satuan Binmas Polres Jayawijaya, Aipda La Cono pembakaran hutan secara sembarang dengan dalih apa pun bertentangan dengan hukum. “ Bagi siapa yang melakukan pembakaran hutan bisa dikenakan pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.