Liputan6.com, Aceh - Suatu hari di pedalaman belantara Tiro, terbetiklah di benak Fajri kecil untuk menjadi seorang dokter. Kala tengah menemani orang tuanya mengobati para kombatan yang sekarat.
Banyak di antara separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang terluka tembak serta terserang malaria saat itu. Fajri bersama orangtuanya menembus belantara serta mendaki pegunungan demi mengobati mereka.
Advertisement
Baca Juga
"Kelak nanti kalau sudah besar, dan bisa jadi dokter saya mau masuk hutan atau gunung tinggi sekalipun," demikian terbesit di pikirannya waktu itu.
Puluhan tahun kemudian, niat Fajri Nurjamil (33) terkabulkan. Genap tujuh tahun sudah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama ini mengasah baktinya di pedalaman Asmat, Papua.
Negeri cenderawasih tidak sembarang dipilih. Atensinya menjadi dokter di provinsi itu sudah jauh-jauh hari ia tanamkan, semenjak nota damai di Aceh lahir.
"Mata hati saya tertuju ke pedalaman Papua yang masih bergejolak perang," tuturnya, kepada Liputan6.com, Rabu (25/9/2019).
Amanah Sang Ibunda
Fajri sempat mengurungkan niatnya menjadi dokter. Ia saat itu hendak mendaftarkan diri ke akademi militer.
Namun, postur tubuhnya tidak mendukung. Fajri pun kembali terkenang akan cita-cita masa kecil juga amanah sang ibunda.
"Alhamdulillah. Doa dari kedua orangtua, keluarga, dan istri yang saat itu masih berpacaran, terkabulkan berkat izin-Nya," kenang Fajri.
Ia awalnya ditugaskan di Kota Agats, tepatnya, Puskesmas Primapun, Distrik Safan. Harus menempuh perjalanan kurang lebih 7 jam lewat jalur air ke tempat itu.
Fajri bertugas di Puskesmas Primapun pertengahan Juni 2013, hingga Desember 2014. Lantas menetap di Distrik Suru-Suru sejak Januari 2015 hingga kini.
Sempat pula ditugaskan selama satu minggu di Puskesmas Mamugu-Batas Batu, Distrik Sawa Erma pada tahun 2014. Juga Puskesmas Yausakor, Distrik Siret's pada 2018.
Advertisement
Tinggal di Lingkungan Beda Agama
Sebagai seorang Muslim, Fajri mengaku sangat diterima oleh lingkungannya. Tempatnya bertugas mayoritas beragama Kristen.
Selama ini, peribadatannya tak terganggu sama sekali. Warga setempat bahkan memberi lokasi ibadah yang layak hingga menyediakan air wudu.
"Warga di sini paham dengan keyakinan agama saya. Ada saat saya meminta waktu beristirahat sebentar di sela pelayanan kesehatan agar saya bisa menunaikan salat," akunya.
Penerimaan inilah yang bikin Fajri kerasan. Ia merasa dirinya bagian dari Papua, begitu pun sebaliknya.
"Berat meninggalkan mereka. Saya sudah menganggap mereka seperti saudara saya sendiri, begitu juga sebaliknya," kata Fajri.
Rindu yang Terabaikan
Rindu kepada orang-orang terkasih tentu bukan kepalang beratnya. Antara Aceh-Papua terbentang jarak yang sangatlah jauh.
Fajri meninggalkan istri dan dua orang putri di Serambi Makkah. Apa daya, demi keleluasaan tugas di provinsi paling timur Indonesia, Fajri tak bisa membawa mereka bersamanya.
Hanya sesekali ia menyambangi keluarganya. Lebih banyak berhubungan melalui seluler, itu pun harus mencari waktu dan tempat yang tepat karena sinyal susah didapat.
"Yang sangat berat bagi saya, hanya rasa rindu untuk kedua putri saya, istri dan keluarga saya di Aceh," ungkap suami Syafrina Ibrahim ini.
Putri bungsunya bernama Fathia Hanifa Al Koroway baru berumur satu tahun 9 bulan. Anak pertamanya bernama Faqia Shadira Al Safan menginjak enam tahun.
"Terkadang di kala rasa rindu berat melanda, malaria saya kambuh," ucapnya dengan agak nada berat.
Soal malaria, Fajri mengaku sudah jadi langganan. Sedikitnya, ia terserang malaria 14 kali dalam tujuh tahun tugasnya.
"Sebanyak 3 kali dalam keadaan tidak sadar, dan 11 kali masih mengenal siapa-siapa," sebutnya.
Tentu saja hal itu tidak bikin Fajri kapok. Ia kukuh mengabdikan diri menjadi dokter di provinsi yang tengah terhembalang dalam konflik itu.
"Saya hanya ingin berbakti. Tidak semua dokter punya kesempatan bersentuhan dan mengobati warga di pedalaman Papua," dia memungkasi.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement