Liputan6.com, Purbalingga - Tragedi 1965, atau G30S PKI pecah dan mengoyak Indonesia. Suasana mencekam tak berkesudahan terjadi selanjutnya, dengan dalih pembersihan pelaku atau anggota PKI.
Operasi militer yang ditopang kekuatan milisi terjadi di berbagai kota. Ribuan orang dibunuh, baik anggota PKI, underbow maupun orang yang hanya dicurigai simpatisan PKI.
Belakangan, operasi semakin masif. Kaki tangan rezim Soeharto yang hendak mengambil kekuasaan mulai membersihkan orang-orang yang berbau Sukarno.
Advertisement
Tentu saja, tak ada yang menyatakan secara resmi bahwa orang-orang presiden pertama itu menjadi target. Mereka disingkirkan dengan dalih terlibat atau simpatisan PKI.
Baca Juga
Salah satu keluarga yang terkena imbasnya adalah keluarga Pendeta Dr Abu Arifin. Pria kelahiran Klampok, Banjarnegara ini dulunya adalah pengawal Presiden Soekarno, pada awal kemerdekaan, meski hanya empat bulan.
Empat bulan itu begitu membekas di hatinya. Terlebih, istrinya, Sutari begitu mengidolakan sang Putra Fajar. Pendek kata, ia dan keluarganya adalah Soekarnois sejati, dan bukan anggota maupun simpatisan PKI.
Abu Arifin lebih dikenal sebagai anggota pasukan pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ia memang sempat berpindah kompi, dari Kompi 3 ke Kompi 1, pengawal istana dan Presiden dan kemudian menjadi pengawal Jenderal Soedirman.
Ia adalah anggota pasukan Batalyon Mobile Polisi Tentara, cikal bakal Kesatuan Provost, sekaligus pasukan elite pertama RI. Batalion ini setingkat divisi, dengan komandan pasukan berpangkat Mayor Jenderal, meski hanya berkekuatan sekitar 200 personel.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Melahirkan di Penjara Bulu, Semarang
Abu Arifin meniti karir di TNI hingga berpangkat mayor. Pada 1964, ia memilih pensiun dini demi keluarganya di Semarang.
Namun, tak lama kemudian, petaka G30SPKI, terjadi. Tanpa dinyana, keluarga ini menjadi sasaran. Abu Arifin menjadi buronan orde baru (Orba).
"Semua yang berbau Sukarno dibersihkan," ucapnya, pada siang yang terik di sebuah desa di Purbalingga, pertengahan September 2019.
Ia menunjukkan foto istrinya, Sutari, yang bergelung dan berkebaya. Istrinya tampak ayu di usia tuanya. Sang istri, telah meninggal dunia beberapa tahun lampau.
Ia begitu menghargai pengorbanan istrinya yang juga terkena getah pascaperistiwa 1965. Tak berhasil menemukan Abu Arifin, intel tentara mendatangi Sutari di kantornya di Semarang.
Ia ditempeleng berkali-kali. "Ditanya di mana saya, tidak tahu, ditampar sebelah kiri. Istri bilang sudah berpisah dengan saya, ditampar sebelah kanan," Abu mengenang.
Abu Arifin tak bisa menyembunyikan kesedihannya ketika menceritakan tragedi itu. Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Dengan dalih pemeriksaan, istrinya digelandang ke penjara. Padahal, saat itu ia tengah hamil tua. Benar saja, akhirnya Sutari melahirkan di penjara Bulu, Semarang.
"Nama anak saya, panggilannya saja, ya, Tari," dia mengungkapkan.
Â
Advertisement
Menjadi Pendeta
Belakangan, situasi semakin membaik. Soeharto naik tahta. Orang-orang kepercayaanya ditempatkan di posisi strategis.
Kurang lebih setahun Sutari tinggal di penjara. Sebagian waktu dihabiskan dengan bayi yang dilahirkannya di penjara.
"Begitu keji. Semua yang berbau Sukarno dibersihkan. Saya adalah pengawal Sukarno. Dan istri saya begitu mengidolakan Sukarno," ucapnya.
Abu Arifin akhirnya bisa menyudahi pelariannya di Tanjungkarang, Jambi, dan seantero Sumatera. Ia tak tahu pasti kapan waktunya. Yang jelas, saat itu Soedomo sudah menjadi menteri.
Bebas dari buruan, tak berarti Abu Arifin menghirup udara bebas. Ia tetap diawasi.
Abu lantas memperdalam ilmu agama. Ia memutuskan untuk menjadi pendeta. Dan kini, ia membaktikan ilmunya di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Bandung.
Secara rutin, ia juga menjadi pembimbing rohani di sejumlah lembaga pemasyarakatan (lapas), di Purbalingga dan sekitarnya. Tatkala mengadakan kebaktian dengan anak bimbingannya, ia kerap menyelipkan cerita-cerita kepahlawanan dan perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Presiden Sukarno.
Ketulusan itu juga telah menjadi nadi hidupnya. Kini, ia bisa hidup tenteram pada usia senjanya. Tiga tahun lagi, usia Abu Arifin mencapai 100 tahun.
"Kawan saya sudah meninggal semua. Terakhir, sopir Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang juga bernama Dirman," dia mengungkapkan.
Abu Arifin kini tinggal dengan anak bungsunya di sebuah desa di Padamara, Purbalingga, Jawa Tengah. Rumah mungil itu adalah hadiah dari pemerintah, pada tahun 2013.