Liputan6.com, Pekanbaru - Hampir satu tahun satu bulan menjabat sebagai Kapolda Riau, akhirnya Irjen Widodo Eko Prihastopo digantikan Irjen Agung Setya Imam Effendi. Mutasi ini tertuang Surat Telegram Kapolri nomor ST/2569/IX/KEP/2019 tertanggal 27 September 2019.
Sebagian kalangan menilai peralihan tampuk pimpinan di Polda Riau karena kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) berujung bencana kabut asap. Namun hal ini dibantah, baik dari pihak Mabes Polri sendiri ataupun dari Polda Riau.
Menurut Kabid Humas Polda Riau Komisaris Besar Sunarto, mutasi dan promosi jabatan di Polri merupakan hal biasa dan dalam rangka pembinaan karir.
Advertisement
Baca Juga
"Mutasi itu hal yang biasa dan akan terus terjadi sesuai kebutuhan di organisasi Kepolisian yang memang sangat dinamis," tegas Sunarto.
Sebelumnya, ancaman pencopotan Kapolda hingga Kapolsek terus ditegaskan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam tiga kali kunjungannya ke Riau meninjau Karhutla. Terakhir diungkapkan Tito di Hotel Novotel Pekanbaru ketika mendampingi Presiden Joko Widodo melihat langsung penanganan Karhutla.
Kala itu, Tito menyebut sudah membentuk tim untuk menilai penanganan Karhutla yang dilakukan jajarannya di daerah.
"Kalau seandainya di Polda ada yang tidak terkendali dan tidak ada upaya maksimal apalagi penangkapan nggak ada, out. Mau Kapolda, Kapolres, Kapolsek, out. Tim sudah dibentuk dan bergerak mulai hari ini," kata Tito, Senin malam, 16 September 2019.
Terlepas pencopotannya karena Karhutla atau tidak, mantan Wakil Kapolda Jawa Timur ini datang ke Riau menggantikan Irjen Nandang yang ditugaskan ke Badan Intelijen Negara. Suhu politik di Riau, khususnya Pekanbaru kala itu cukup naik, salah satunya kedatangan Neno Warisman pada Agustus 2018.
Di sisi lain, Riau tengah "diserang" narkoba dari Malaysia karena barang haram itu hilir mudik di Pekanbaru untuk dibawa ke provinsi lain.
Berikutnya memasuki 2019, Pemerintah Provinsi Riau termasuk Polda yang masuk Satgas Karhutla diperingatkan BMKG tentang ancaman kekeringan gambut akibat El Nino.
Berikut 6 peristiwa yang mewarnai Irjen Widodo selama bertugas di Riau:
1. Dugaan Persekusi Neno Warisman
Beberapa hari dilantik menggantikan Irjen Nandang, Widodo dihadapkan untuk mengamankan situasi keamanan Pekanbaru karena kedatangan Neno Warisman pada 25 Agustus 2018. Agenda Neno sudah jelas yaitu menggaungkan gerakan #2019GantiPresiden.
Terkait kedatangan Neno ini, Widodo sudah memintanya pulang karena tidak memberi izin deklarasi dimaksud. Jika tetap dilakukan, Widodo menyatakan kegiatan itu ilegal dan bisa dibubarkan.
Neno tetap nekat datang hingga akhirnya berujung penghadangan di gerbang keluar Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II. Bukan oleh polisi, melainkan kelompok penolakan gerakan ganti presiden.
Penghadangan ini berujung bentrok fisik karena ada kelompok pendukung Neno datang. Akhirnya polisi dan TNI melarang Neno keluar dari mobil serta memintanya pulang lagi ke Jakarta.
Pemulangan ini disebut sebagai persekusi terhadap Neno. Mantan penyanyi cilik itu diminta masuk pesawat dan tidak boleh berhubungan dengan orang luar.
Atas tudingan ini, Widodo memerintahkan Kabid Humas Polda Riau Kombes Sunarto meladeni jurnalis.
"Tidak ada persekusi. Yang ada hanya kita mengamankan semua pihak dari potensi gangguan kamtibmas. Kemarin kita lihat ada lemparan, jadi kita mengamankan semua pihak," tegas Sunarto pada Minggu malam, 26 September 2019.
Menurut Sunarto, dua kubu massa yang pro dan kontra deklarasi #2019GantiPresiden harus dibatasi agar tidak terjadi keributan.
"Setelah kita melihat perkembangan situasi, Ibu Neno Warisman tidak bisa melanjutkan perjalanan," tegas Sunarto.
Dalam penghadangan ini, sejumlah orang terluka, baik itu dari kubu pro ataupun kontra kedatangan Neno.
Advertisement
2. Perusakan Bendera Demokrat
Sabtu, 15 Desember 2019, Presiden Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) datang ke Pekanbaru untuk pembekalan calon legislatif Partai Demokrat di Riau. Malam menjelang kedatangan SBY, ratusan bendera partai belambang mercy itu berserta baliho dirusak orang tak dikenal.
Perusakan ini dikaitkan dengan rencana kedatangan Presiden Joko Widodo untuk kampanye di Kota Dumai dan menerima gelar adat dari Lembaga Adat Melayu Riau. SBY meradang dan menangis melihat perusakan itu, termasuk istrinya, Ani Yudhoyono.
Dengan sigap, Irjen Widodo memerintahkan Kapolresta Pekanbaru Komisaris Besar Susanto SIK untuk mengungkapnya. Beberapa orang ditangkap dan sejumlah nama masuk daftar buruan polisi atau DPO.
Widodo lalu menggelar jumpa pers di Mapolda Riau, Senin pagi, 17 Desember. Dengan tegas, Widodo meminta semua pihak tidak membesarkan masalah ini dan menganggapnya sudah tuntas.
"Kasus ini sudah tuntas, sudah disikapi dengan cepat," kata Widodo.
Irjen Widodo Eko Prihastopo menyebut, tiga tersangka berinisial HS, KS dan MW. Penangkapan ketiganya berdasarkan dua laporan perusakan atribut partai yang diterima Polresta, satu di Jalan Jenderal Sudirman dan satu lagi di kawasan Tenayanraya.
"Penyidik sudah diperintahkan objektif dalam penindakan dan segera melimpahkannya ke penuntutan umum. Ketiganya ditahan karena ancamannya lima tahun penjara," kata Widodo.
Widodo menjelaskan, satu tersangka inisial HS merupakan pelaku perusakan bendera partai Demokrat dan baliho SBY di Jalan Jenderal Sudirman. Sementara tersangka KS dan MW merupakan pelaku perusakan bendera PDIP di kawasan Tenayanraya.
Widodo menyebutkan, para tersangka mengaku dibayar Rp 150 per orang. Pemberi perintah ini sudah masuk dalam daftar pencarian (DPO) dari Polresta Pekanbaru.
Kala itu beredar kabar ada 35 orang beraksi merusak bendera di sejumlah lokasi pada Sabtu dini hari, 15 Desember 2018 itu.
Widodo juga tidak menuding pembayar pelaku merupakan kader salah satu partai. Dia menyatakan pihaknya tidak mengusut berdasarkan asumsi yang berkembang di lapangan.
"Penyelidikan dilakukan berdasarkan laporan, bukan katanya katanya. Selama ada bukti dan laporan, dilakukan penyelidikan," tegas Widodo.
Widodo berharap kejadian serupa tidak terulang lagi. Dia berharap masyarakat tidak mudah terprovokasi isu atau pemberitaan yang berkembang tentang perusakan ini di media sosial karena bisa saja itu hoax.
"Hal ini juga dihimbau Widodo kepada para ketua partai dan calon legislatif," ucap Widodo.
3. Tantang Pendemo
Pada 11 Maret 2019, Irjen Widodo kembali menjadi perhatian ketika menghadapi demonstran di gedung DPRD Riau. Aksi ini terkait konflik lahan antara perusahaan dan warga Koto Aman, Kabupaten Kampar.
Saat itu, Widodo baru selesai mengikuti kegiatan di DPRD Riau. Dia langsung turun dari mobilnya karena ada isu penghadangan mobil dinas Gubernur Riau Syamsuar.
Dengan tenang, Widodo mengajak pendemo duduk dan membicarakan inti permasalahan. Namun ada sejumlah pendemo meninggalkan kerumunan dan tetap menggelar orasi.
Hal ini membuat Widodo meradang. Dia menyebut demo ratusan warga Desa Koto Aman ini ditunggai oleh sejumlah orang yang tidak bertanggungjawab.
"Kalau anda berdiri, berarti tidak menghargai saya. Ini kelihatan sekali bahwa demo ini bukan demo murni, pasti ada yang nyuruh," kata Kapolda dengan nada tinggi.
Namun saat itu pedemo tidak mengacuhkan arahan Kapolda dan tetap berdiri sambil berjalan ke pinggir jalan untuk melalakukan orasi.
"Saya sebagai Kapolda berbicara di depan sini, tidak anda hargai, kalau niatnya mau menyelesaikan masalah ini mudah, tunjuk perwakilan 10 sampai 15 orang menghadap Gubenur, kita dari Polda di panggil, karena kami sangat tau masalah di desa koto aman ini," ujarnya.
Tidak cukup sampai disitu, Kapolda juga menantang pendemo untuk melaporkan kasus sengketa lahan di desa koto aman ke pihak kepolisian.
"Ayo, saya tantang kalian, laporkan ke Polres atau ke Polda masalah koto aman ini. Saya tantang, ayo yang berani sekarang juga laporkan ke Polres atau ke Polda, saya tunggu kalau ada yang berani," katanya dengan suara keras.
"Yang lari dari barisan ini berarti kalian memang disuruh, anda tidak mengerti dengan permasalahan yang sebenarnya, tapi dimanfaatkan oleh seorang, atau pihak dan golongan," ujarnya.
Advertisement
4. Perangi Narkoba
Menjabat sebagai Kapolda Riau, Irjen Widodo punya tugas berat memberantas narkoba. Hal ini wajar karena Bumi Lancang Kuning disebut jalur sutra peredaran narkoba dengan garis pantai panjang serta berhadapan langsung dengan Selat Malaka.
Di berbagai titik, terdapat sejumlah pelabuhan tikus yang menghadap ke Malaysia. Sindikat internasional selalu menggunakan kurir menjemput narkoba, baik itu sabu ataupun ekstasi, di tengah laut lalu dibawa ke Pekanbaru sebagai tempat transit serta peredaran.
Dalam beberapa kesempatan, Widodo menyatakan tidak main-main dengan barang perusak generasi itu termasuk kepada bandar ataupun kurir. Dia memerintahkan anggotanya menindak tegas jika sudah membahayakan.
"Narkoba ini merupakan musuh kita semua, jadi bukan hanya Polri saja, tapi juga seluruhnya baik masyarakat atau penegak hukum lainnya," tegas Widodo.
Pernyataan ini dibuktika Widodo dengan kinerja. Sepanjang tahun 2018, di mana setengah tahun Polda Riau dipimpinnya, ada sebanyak 2.261 tersangka narkoba diproses. Adapun barang buktinya adalah 325 kilogram sabu-sabu dan ratusan ribu pil ekstasi.
Sementara pada tahun ini, penyelundupan narkoba tak kunjung surut meski pengungkapannya tak sebanyak tahun lalu. Direktorat Reserse Narkoba sebagai ujung tombak dan jajaran Polres sudah menyita 100 kilogram lebi sabu serta lebih dari ratusan ribu pil ekstasi.
Data terakhir, dari barang bukti itu ada 1.071 tersangka dijebloskan ke penjara dengan 783 kasus. Angka itu diprediksi meningkat karena pengungkapan terus terjadi.
5. Pecat Polisi
Selama bertugas di Riau, Irjen Widodo memecat enam anggotanya karena terbukti melanggar kode etik. Enam personel itu dipaksa melepas seragamnya oleh Widodo dan pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) itu dilakukan karena mereka dianggap mencoreng institusi Polri.
Menurut Widodo pada 19 Agustus 2019, usai memecat anggotanya, PTDH atau polisi dipecat tidak sekonyong-konyong dilakukan. Ada beberapa proses dilakukan, mulai dari peringatan, sidang disiplin hingga akhirnya dimajukan menjalani sidang etik kepolisian.
"Pertama kali tentu diperingati agar berubah, tapi langkah ini harus dilakukan karena tidak berubah juga," kata Widodo, usai memimpin apel PTDH itu di lapangan Mapolda Riau, Senin, 19 Agustus 2019.
Enam personel yang sudah dipecat ini terlibat berbagai tindakan pidana. Mulai dari tidak memelihara kehidupan keluarga secara santun hingga terlibat peredaran narkotika.
"Ada juga yang meninggalkan tugas 30 hari lebih secara berturut-turut," ucap mantan Wakil Kapolda Jawa Timur ini.
Widodo menjelaskan, kejadian ini menjadi koreksi bagi personel lainnya agar lebih waspada, lebih awas dan berhati-hati agar tidak terjerumus bertindak merugikan diri, institusi dan keluarga.
"Yang di PTDH sesungguhnya sudah diingatkan berkali kali, sudah disidang berkali kali tapi tidak ada itikad baik untuk berubah. Makanya saya sampaikan lebih baik berada di luar institusi Polri," tegas Widodo.
Widodo menyatakan, lebih baik Polda Riau membina orang yang mau berubah dan baik perilakunya. Hal ini juga menjadi pelajaran bagi anggota polisi yang baru dilantik agar menjaga diri.
"Karena yang muda sangat rentan dengan godaan, sering terpengaruh gegara gadget, lepas kendali dan akhirnya salah dalam menggunakan teknologi," sebut Widodo.
Dari enam polisi dipecat itu, Widodo menyatakan paling banyak terlibat narkoba. Hal ini tidak hanya mencoreng institusi tapi juga Provinsi Riau yang masuk dalam lima besar dalam penyalahgunaan narkoba.
"Jangan mengecewakan keluarga, apapun jenjang pendidikan saat masuk Polri, semua adalah yang terpilih dengan predikat terbaik dan mengalahkan pesaing lain. Jangan hanya gegara narkoba lalu terjerumus," jelas Widodo.
Advertisement
6. Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan
Terlepas dari benar atau tidaknya Irjen Widodo dicopot karena Karhutla, yang jelas pada tahun ini lebih dari 8 ribu hektar lahan di Riau terbakar. Kondisinya hampir sama dengan tahun 2015, di mana Pemerintah Riau menetapkan status darurat pendemaran udara karena berbahaya bagi kesehatan.
Sejatinya, Kapolda Riau dicopot karena Karhutla bukan pertama kali. Tahun 2016, tepatnya pada 23 September, Kapolda yang dijabat Brigjen Supriyanto ditarik ke Mabes karena memberhentikan penyidikan atau SP3 belasan perusahaan terduga biang kabut asap pada tahun 2015.
SP3 ini didahului dengan keributan di Polres Meranti karena ada warga tewas saat ditangkap penyidik setempat. Keributan pecah dan Mapolres diserang sehingga menyebabkan beberapa warga terluka parah dan di antaranya ada yang tewas.
Berikutnya disusul dengan dugaan kongkow-kongkow pejabat utama di Polda Riau dengan petinggi perusahaan yang lahannya terbakar.
Untuk Karhutla tahun 2019, BMKG sudah pernah mengingatkan rentannya Riau terbakar karena dilanda musim kemarau kering hingga pertengah Oktober ini.
Satgas Karhutla Riau sudah diminta mengantisipasi karena gambut mudah terbakar saat kering. Berulang kali Presiden Joko Widodo mengelar rapat di Istana Negara terkait peringatan BMKG ini.
Namun, apa yang ditakutan masyarakat Riau akhirnya terjadi. Bencana asap terjadi lagi sehingga melumpuhkan pendidikan dan sempat mengganggu aktivitas Bandara SSK II.
Irjen Widodo bukannya tidak bertindak. Ribuan personel Polri di jajarannya sudah dikerahkan. Begitu juga dengan penyidik untuk mengusut setiap kebakaran lahan.
Menjelang kepindahannya, Widodo sudah menetapkan satu tersangka dari korporasi di Pelalawan dan mengusut satu perusahaan lagi di Kabupaten Inragiri Hulu. Polda juga membantu Bareskrim Mabes Polri mengusut PT Adei Plantation karena 4,5 hektare lahannya terbakar di Pelalawan.
Di samping itu, jajaran Widodo juga sudah menyegel 1,500 hektare lahan di berbagai wilayah Riau disegel untuk penyidikan. Ribuan hektare lahan itu terdiri dari milik 64 perorangan yang ditangkap dan perusahaan.
Dari 64 tersangka tadi, 37 di antaranya masih penyidikan atau pengumpulan barang bukti. Kemudian 7 di antaranya sudah diserahkan ke jaksa untuk diteliti, apakah bisa dinyatakan lengkap atau masih ada kekurangan.
Kemudian ada 1 kasus P21 atau dinyatakan lengkap, dan 16 kasus sudah diserahkan ke jaksa untuk penuntutan atau tahap II.