Liputan6.com, Purbalingga - Pagi, 19 Desember, Kota Yogyakarta begitu damai. Gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda lewat perjanjian Renville membuat warga begitu tenang. Pun dengan Panglima Jenderal Besar Soedirman.
Jenderal Soedirman terbaring lemah di kamar rumah dinas di Jalan Bintaran Timur 8. Ia divonis terserang penyakit paru alias TBC, yang saat itu begitu menakutkan.
Ia dikawal oleh Kompi 1 Mobile Batalyon Polisi Militer, pasukan elit pertama cikal bakal pasukan-pasukan pilihan di periode berikutnya. Keluarganya pun setia menemaninya.
Advertisement
Mendadak, suasana tenang itu berubah ramai oleh deru pesawat dan rentetan senjata. Warga dan tentara pun masih tetap tenang. Sebelumnya, banyak beredar informasi di kalangan tentara bahwa TNI akan menggelar latihan perang.
Baca Juga
Namun, suasana berubah menjadi kacau ketika Kapten Cokropranolo, Komandan Kompi 1 Mobile Batalyon Polisi Militer, pengawal Jenderal Soedirman, datang tergesa-gesa dan melaporkan bahwa Lapangan Udara Maguwo diserang dan dikuasai Belanda.
Yang mengkhawatirkan, tentara Belanda terus merangsek maju ke Kota Yogyakarta. Apalagi tujuannya jika bukan untuk melumpuhkan Republik Indonesia dengan menangkap presiden, serta Jenderal kharismatiknya, Jenderal Soedirman.
“Mata-mata Belanda telah menyebar informasi palsu bahwa TNI akan menggelar latihan perang. Ternyata Belanda mengkhianati perjanjian. Pengawal Maguwo tidak imbang dengan pasukan Belanda yang menyerbu, makanya bisa dilumpuhkan dalam waktu relatif singkat,” kata Mantan Ajudan Jenderal Soedirman, Mayor (Purn) Abu Arifin, 14 September 2019.
Jenderal Soedirman yang sebelumnya lemah tak berdaya, mendadak seperti mendapat tiupan energi. Ia terbangun dan berdiri. Jenderal yang lembut ini marah. Ia marah lantaran Belanda berkhianat.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pertemuan Jenderal Soedirman dengan Presiden Soekarno
Kemarahan telah memacu adrenalinnya sehingga punya energi untuk melupakan bahwa tubuhnya begitu lemah. Ia pun langsung mengelurkan perintah-perintah. Terpenting, adalah memastikan keselamatan Presiden Soekarno, atasannya langsung.
Sebagai Jenderal TNI, ia pun telah siap berperang. Tetapi, bagaimana pun, sebagai panglima ia harus menunggu perintah presiden.
Lantas, ia pun memerintahkan pengawal setianya, Suparjo Rustam, untuk menuju menghadap presiden. Tetapi, ia gagal lantaran tertahan di gerbang. Kompi III, pengawal presiden tak percaya dengan Parjo.
“Dalam kondisi perang, kami memang sudah didoktrin untuk tidak mempercayai siapapun. Termasuk pasukan TNI sendiri,” ujar Arifin, mengenang.
Mendapat laporan itu, Jenderal Soedirman berang. Ia, dengan pengawalan Cokropranolo alias Nolly, berangkat menuju istana untuk menemui Presiden langsung.
Tak mudah untuk mencapai istana dari kediaman Jenderal Soedirman. Terlebih, mereka menggunakan mobil dinas, yang saat itu sangat mencolok. Bisa saja, pesawat tempur cocor merah Belanda membombardir iring-iringan sang jenderal dengan pengawalnya ini.
Jenderal Soedirman masuk istana dengan dipapah. Dokter Asikin, yang sebelumnya mengoperasi paru-paru Jenderal Sodirman marah. Ia menyalahkan pengawal-pengawal serta dokter pribadi Soedirman yang membolehkan sang jenderal bepergian dalam keadaan sakit parah.
Singkat kata, panglima Jenderal Soedirman mendapat izin untuk perang gerilya. Ia kembali ke rumah dinas dan membakar seluruh dokumen penting.
Advertisement
Memulai Perang Gerilya
Untuk mengeluarkan Jenderal Soedirman dari Yogyakarta pun bukan soal mudah. Ia pasti menjadi incaran Belanda. Bahkan, perintah Belanda adalah tangkap hidup atau mati.
“Kita tinggalkan Bintaran, kita lakukan perang gerilya,” Jenderal Soedirman memerintahkan dengan tegas, ditirukan Arifin.
Untuk mengelabui pasukan dan mata-mata Belanda, sebagian besar pasukan pergi ke arah berlainan. Sedangkan Jenderal Sodirman pergi ke arah sebaliknya, menuju ke pantai selatan dengan mobil dan sebagian kecil pasukan.
Sesaat, pasukan yang menyamar berhasil mengelabui Belanda. Mereka terus dibuntuti oleh pasukan Belanda. Namun, beberapa waktu kemudian, informasi itu bocor, Belanda tahu bahwa mereka dikibuli.
Belanda, dengan pasukan berkekuatan besar dan bersenjata lengkap dengan cepat mengejar pasukan Jenderal Soedirman. Dalam beberapa kesempatan, jarak mereka tak lebih dari enam jam perjalanan.
“Tidak lebih dari satu seksi, ya orang-orang yang biasa mengawal di rumah dinasnya saja, sekitar 40 orang,” dia mengungkapkan.
Berhari-hari mereka menyusur hingga Kediri. Satu per satu pecahan-pecahan pasukan di Jawa Timur bergabung. Di satu sisi, penambahan personel membuat pasukan Jenderal Soedirman kuat.
Namun, di sisi lain, tak terutup kemungkinan ada mata-mata Belanda yang masuk dalam pasukan yang baru bergabung ini. Diduga, sepasukan Belanda tengah memburu dalam jarak tak terlalu jauh. Karenanya, lantas pasukan sengaja dipecah.
Jenderal Soedirman Palsu di Kediri
Sebagian besar pasukan mengawal sebuah tandu dengan sesosok tentara mirip Jenderal Soedirman. Adapun Jenderal Soedirman digendong oleh Kapten Cokropranolo alias Nolly, dengan pengawalan inti.
“Yang menyamar menjadi Jenderal Soedirman adalah Letnan Muda Laut Heru Kesser, dari Akademi Militer Angkatan Laut Surabaya,” kata Abu Arifin.
Tetapi, nyatanya, sang jenderal tak pernah tertangkap oleh Belanda. Belanda selalu kesulitan menangkap atau membunuh Jenderal Soedirman.
“Di mana Jenderal Soedirman ada, pasti selalu dikerumuni oleh masyarakat. Ini menyulitkan Belanda untuk menangkap Jenderal Soedirman. Karena beliau dilindungi oleh rakyat,” katanya.
Adalah keajaiban Jenderal Soedirman yang dalam kondisi sakit bisa memimpin perang gerilya dan bergerak begitu cepat. Bahkan, banyak yang menyangka sang Jendera Besar memiliki azimat yang membuatnya sakti.
Tetapi, rupanya ada rahasia kenapa Jenderal Soedirman bisa bergerak dengan cepat. Jawabannya adalah dukungan rakyat di tiap wilayah yang dilalui.
“Di setiap desa yang dilalui, sudah ada tandu untuk Jenderal Soedirman. Yang menandu adalah warga setempat. Jadi tenaga pengangkut tandu selalu terjaga,” dia menerangkan.
Dukunga rakyat tak sekadar tenaga. Mereka pun kerap menyediakan makanan untuk logistik pasukan Jenderal Soedirman. Tetapi, sering kali pula pasukan tak makan berhari-hari.
Advertisement
Rahasia Kesaktian Jenderal Soedirman
“Kami sering tidak makan selama dua atau tiga hari. Tapi kami sudah bertekad, Belanda bisa menangkap Jenderal Soedirman tapi harus menghadapi kami dulu sampai mati,” Arifin menegaskan.
Soal kesaktian Jenderal Soedirman ini, Abu Arifin bilang di dunia tidak ada orang yang sakti. Rahasia kenapa Jenderal Soedirman tak pernah tertangkap, selain karena dukungan rakyat dan pengawal setia adalah ketaatannya kepada Tuhan.
Seingat Abu Arifin, yang Nasrani dan pendeta, Jenderal Soedirman selalu salat lima waktu. Ia tak pernah sekali pun meninggalkan kewajiban muslim ini.
Menurut Arifin, ini lah yang membuat Jenderal Soedirman dilindungi oleh Tuhan. Ia dicintai rakyat dan begitu disayangi oleh pasukannya.
“Pak Dirman adalah simbol. Ia adalah tumpuan harapan rakyat Indonesia. Karena itu harus dilindungi dengan taruhan nyawa,” ucapnya.