Liputan6.com, Pekanbaru - Kematian gajah Dita otomatis mengurangi populasi gajah sumatra di Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, terutama Riau. Hal ini sangat disayangkan karena spesies satwa berbelalai itu terancam punah.
Menurut Kepala Balai Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Suharyono, gajah Dita termasuk dalam dua kelompok gajah di SM tersebut. Selama ini, gajah tanpa tapak kaki itu hidup dengan gajah bernama Seruni dan anaknya.
Advertisement
Baca Juga
"Mereka selalu bertiga, terkadang ada gajah jantan yang datang tapi tidak menetap," sebut Suharyono, Senin petang, 7 Oktober 2019.
Selain Seruni, ada kelompok lainnya yang tinggal cukup berjauhan dan berjumlah tiga ekor juga. Kelompok ini juga didominasi gajah betina dewasa.
"Perkiraannya ada tujuh gajah di sana, termasuk gajah jantan yang sifatnya soliter atau menyendiri," ucap Suharyono.
Gajah Dita mulai kehilangan tapak kakinya sejak tahun 2014. Ulah pihak tak bertanggungjawab karena memasang jerat babi di lokasi menjadi penyebab utama.
Terkena jerat ini, tapak kaki gajah Dita membusuk. Jalannya pincang dan selalu tertatih hingga akhirnya tim medis memutuskan membersihkan luka itu.
Sejak itu, gajah Dita dipantau terus menerus, baik oleh BBKSDA Riau ataupun Rimba Satwa Foundation, Balai Tesso Nilo hingga Himpunan Penggiat Alam atau Hipam.
Diobati Setiap Tahun
Pengobatan dilanjutkan lagi pada tahun 2017. Kala itu, tim pemantau melihat kondisi gajah Dita lemah kembali. Dia terlihat malas berjalan karena menahan sakit luar biasa pada kakinya.
BBKSDA bersama pihak lainnya terpaksa menembak bius gajah Dita. Hal ini sebagai antisipasi agar gajah tidak membahayakan petugas selama pengobatan berlangsung.
Tubuh gajah Dita dipasangi infus. Ada beberapa kali tubuhnya diberi suntikan obat agar luka di kaki kiri depannya kembali mengering.
Usai pengobatan itu, gajah Dita bisa berjalan lagi dan bergabung dengan gajah Seruni. Dia terpantau sering bermain dengan anak gajah Seruni yang masih kecil.
"Berikutnya tahun 2018, pengobatan kembali dilakukan karena kakinya infeksi lagi," terang Suharyono.
Beberapa kali pengobatan, gajah Dita kembali beraktivitas bersama kelompoknya. Keadannya masih terus dipantau oleh BBKSDA bersama Hipam dan RSF.
Petaka akhirnya datang lima hari menjelang tanggal 7 Oktober 2019. Kala itu, gajah Dita hanya berdiam diri di kawasan hijau atau green belt SM Balai Raja.
"Saat itu, gajah Seruni masih terlihat bersama Dita," tambah anggota RSF Solfarina kepada wartawan.
Advertisement
Bukan Pemburu Liar
Karena tak terlihat lagi sejak akhir pekan, tim pemantau masuk ke green belt. Gajah Dita ditemukan tapi sudah tak bernyawa lagi di kubangan berair.
Isi perutnya keluar diduga akibat pembusukan dan tekanan gas dari lambung. Tidak ada tanda kekerasan lain seperti tembakan atau luka jerat baru.
"Untuk penyebab pasti kematiannya, harus menunggu pemeriksaan mendalam tim medis," ungkap Solfarina.
Menurut Suharyono lagi, kematian gajah Dita diduga akibat penyakit di kaki yang sudah dideritanya sejak tahun 2014.
Suharyono juga membantah kematian Dita akibat ulah pemburu gading gajah. Pasalnya, gajah betina jarang sekali memiliki gading.
"Dita tidak punya gading, diduga kuat karena penyakit, bukan karena pemburu liar mengincar gading," tegas Suharyono.
Suharyono menjelaskan, petugas yakin yang mati itu adalah Dita melihat dari ciri fisik menonjol. Salah satunya kaki kiri Dita tidak punya tapak. "Dita saat ditemukan mati diperkirakan berusia 25 tahun," kata Suharyono.
Â
Simak video pilihan berikut ini: