Sukses

Bos Ditahan, Ini Bukti PT SSS Sengaja Membakar Lahan di Riau

Dua bos PT SSS ditetapkan sebagai tersangka kebakaran lahan penyebab kabut asap di Pekanbaru. Penyidik menemukan sejumlah kelalaian perusahaan sehingga ratusan hektare lahan terbakar.

Liputan6.com, Pekanbaru - Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau menetapkan dua petinggi PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS), inisial EH dan AOH, sebagai tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan. Keduanya dinilai bertanggung jawab terhadap kebakaran lahan perusahaan seluas 155 hektare.

Satu di antara tersangka kebakaran lahan, AOH (pejabat sementara manajer operasional) langsung dijebloskan ke penjara. Sementara tersangka lainnya tidak bisa dipidana badan karena statusnya mewakili korporasi di Desa Kuala Panduk, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan itu.

Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Ajun Komisaris Besar Andri Sudarmadi SIK, EH menjadi perwakilan perusahaan berdasarkan akta keputusan rapat direksi. Surat ini ditandatangani oleh notaris bernama Rosalina.

"Jabatannya dalam perusahaan adalah direktur utama. Tidak bisa dipidanakan badan karena mewakili korporasi, kecuali denda hingga penutupan perusahaan," kata Andri di Pekanbaru, didampingi Kabid Humas Polda Riau Komisaris Besar Sunarto, Selasa petang, 8 Oktober 2019.

Dalam menangani kebakaran lahan di PT SSS ini, penyidik menggunakan dua pola. Pertama menjerat perusahaan agar tidak lolos dari sanksi hukum, kedua secara perorangan agar ada dari perusahaan yang dipenjara.

AOH sendiri ditahan pada Senin malam, 7 Oktober 2019. Tidak ada satu patah kata keluar dari mulutnya ketika ditanyai sejumlah wartawan. Dia hanya menundukkan kepala yang dipakaikan penutup.

Andri menyebutkan, kebakaran lahan di PT SSS terpantau sejak 23 Februari 2019. Pemadaman dilakukan Satgas Karhutla Riau hingga 22 Maret, selanjutnya penyelidik Subdit IV Reserse Kriminal Khusus Polda Riau ke lokasi melakukan olah tempat kejadian perkara.

Hingga awal Oktober 2019, sudah puluhan saksi diperiksa. Sebanyak 11 di antaranya merupakan ahli lingkungan hingga pidana, 23 dari petinggi serta pegawai biasa perusahaan dan 13 saksi dari masyarakat.

2 dari 3 halaman

Sita Banyak Dokumen

Selama itu, penyidik sudah menyita beragam dokumen. Mulai dari NPWP, surat keputusan pemberian izin dari pemerintah daerah, rencana kerja lapangan, analisis dampak lingkungan hingga rencana pengelolaan dan perencanaan lingkungan hidup.

Hasil gelar perkara, Polda Riau menduga perusahaan sengaja atau lalai sehingga terjadi kebakaran lahan cukup luas. Hal ini dilihat dari tidak memadainya sarana serta prasarana, dana memadai pemadam kebakaran, dan SOP pemadaman.

"Begitu juga dengan sumber daya manusia untuk mencegah karhutla," terang Andri, didampingi Kasubdit IV Reskrimsus Komisaris Andi Yul.

Menurut Andri, titik api yang pertama muncul pada 23 Februari 2019 tidak dipadamkan secara maksimal oleh perusahaan. Akibatnya, api membakar cepat lahan berstruktur gambut hingga menyebar ke blok lainnya.

Atas perbuatannya, baik EH yang mewakili korporasi dan AOH sebagai tersangka perseorangan dari perusahaan dijerat dengan pasal berlapis. Penyidik memakai Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pertama, jelas Andri, adalah Pasal 98 ayat 1. Ada dua pidana, di antaranya ancaman penjara paling singkat 3 tahun dan maksimal 10 tahun. Selanjutnya pidana denda paling ringan Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.

"Kemudian Pasal 99 ayat 1. Penjara paling singkat 1 tahun dan maksimal 3 tahun, serta denda Rp 1 miliar hingga paling banyak Rp 3 miliar," terang Andri.

3 dari 3 halaman

Bukti Sengaja Dibakar

Lebih jauh, Andri menjelaskan panjang lebar terkait unsur kesengajaan dan kelalaian perusahaan terduga biang kabut asap itu. Di antaranya, penyidik menemukan kayu bekas tebangan dan terkesan dibiarkan berserakan di lokasi kebakaran.

Dari sini, penyidik menduga adanya persiapan penanaman kebun sawit atau land clearing. Selanjutnya, titik api yang pertama kali muncul tidak ditanggulangi secara dini dan maksimal.

"Perusahaan tidak memiliki alat memadai untuk pemadam kebakaran," tegas Andri.

Berikutnya, sambung Andri, lahan terbakar ada di areal perusahaan, bukan di luar ataupun berasal dari lahan masyarakat. Di lokasi juga terdapat sekat kanal sebagai pembatas diduga untuk api.

Selanjutnya, di areal terbakar juga ada pos sekuriti diduga sebagai pemantau api selama kebakaran terjadi. Penyelidik juga menemukan adanya stok bibit sawit diduga akan ditanam setelah lahan bersih usai dibakar.

"Perusahaan juga tidak berpedoman pada dokumen analisis dampak lingkungan atau Amdal. Kemudian ada juga ahli menemukan tanaman sawit tidak tertanam baik di lokasi," terang Andri.

Di beberapa titik kebakaran perusahaan itu, lanjut Andri, juga ditemukan indikasi tidak ada upaya pemadaman. Early warning kebakaran lahan tidak dilakukan secara benar dan personel pemadaman dari perusahaan juga tidak sebanding dengan luasan areal terbakar.

"Kemudian akses jalan tidak memadai. Terakhir berdasarkan hasil uji laboratorium, telah terjadi kerusakan tanah dan lingkungan yang bisa berakibat pada flora dan fauna," ulas Andri.

 

Simak video pilihan berikut ini: