Sukses

Perang Tomat di Lembang, Ungkapan Buang Sial Warga Cikareumbi

Sedikitnya dua ton tomat buruk dijadikan amunisi peluru untuk melempar lawan.

Liputan6.com, Bandung - Sedikitnya dua ton tomat buruk dijadikan amunisi peluru untuk melempar lawan. Sementara dua kelompok anak muda tampak saling olok. Suasana bertambah panas ketika warga berteriak mendukung salah satu kelompok. Perang pun pecah.

Untung saja, dua kubu pemuda mengenakan topeng anyaman bambu sehingga tubuh mereka terlindungi. Mereka terus saling beradu dengan melempar ribuan tomat ke arah lawannya.

Sontak jalan kampung berubah menjadi adu lempar tomat busuk. Ratusan orang pun akhirnya saling balas satu sama lain. Jalan desa menjadi lautan tomat.

Satu jam berselang, perang berakhir. Keranjang besar yang berisi sekitar dua ton tomat pun tandas.

Begitulah suasana ritual rempug tarung adu tomat atau Perang Tomat di Kampung Cikareumbi, Desa Cikidang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Minggu (13/10/2019).

Tidak ada korban luka dalam kegiatan tersebut. Alih-alih saling lempar, tradisi Perang Tomat justru dimaksudkan sebagai simbol pembuangan sifat buruk manusia.

Sebelum perang dimulai, warga menggelar syukuran. Makanan seperti nasi kuning beserta lauk pauk sudah disediakan untuk disantap.

Mereka juga menggelar helaran ngarak tumpeng atau arak-arakan tumpeng sebagai ungkapan rasa syukur terhadap hasil pertanian melimpah.

2 dari 2 halaman

Digelar Rutin Sejak 2011

Budayawan Sunda, Mas Nanu Muda atau Bah Nanu mengatakan, maksud dari ritual Perang Tomat adalah sebagai ungkapan membuang sial segala macam hal-hal buruk dalam diri masyarakat.

Hal ini, kata dia, juga berlaku dalam tanaman yang di mana telah terserang penyakit sehingga membusuk.

"Alasan dipakai tomat yang buruk ini berkaitan dengan makna ngaruat, membersihkan diri dari hal buruk atau membuang hal-hal yang busuk dalam diri. Bahasa Sunda-nya berarti miceun rereged, geugeuleuh keukeumeuh," kata Bah Nanu.

Dia menjelaskan, Perang Tomat dimulai pada 2011 silam. Ia melibatkan warga setempat yang mayoritas berprofesi sebagai petani.

"Dari kondisi petani yang menderita akibat panen tomat dengan harga yang jatuh serta dibiarkan berserakan di kebun, muncullah ide untuk membuat kegiatan ini," ujarnya.

Menurut warga yang terlibat Perang Tomat, Suhenda (42), ketimbang tomat membusuk, petani memilih untuk menggelar kesenian yang menghibur.

"Kegiatan ini juga bermaksud menyindir dan mengingatkan pemerintah bahwa petani tomat jangan disepelekan, tetapi harus diperhatikan jangan sampai jatuh harganya," kata Suhenda.

Dia mengungkapkan, pada tahun sebelumnya panen yang melimpah tetap saja membuat harga tomat tetap anjlok. Anjloknya harga tomat menurut Suhenda akibat dua faktor.

Pertama, kondisi cuaca ekstrem yang membuat tanaman tidak bisa bertahan lama. Kedua, tanaman rusak karena hama yang menyerang. "Penjualan di tingkat petani saat ini di kisaran Rp 2.000-Rp 3.000. Bulan lalu mencapai harga Rp 8.000," katanya.

Terlepas dari anjloknya harga, perang telah berakhir. Suhenda bersama warga lainnya mengumpulkan kembali seluruh tomat yang dilemparkan dan berserakan. Hal itu dilakukan untuk dijadikan pupuk kompos.

Simak video pilihan di bawah ini: