Sukses

Solusi Ampuh Atasi Kekeringan Lewat Memanen Air Hujan

Hujan ditangkap, ditampung, dan digunakan saat kekeringan datang.

Liputan6.com, Yogyakarta - Musim kemarau tahun ini terasa lama. Air hujan tak kunjung datang, kekeringan di depan mata. Orang mulai kebingungan. Mereka berburu air bersih dengan berbagai cara, dari menunggu distribusi bantuan air bersih sampai merogoh kocek untuk mengebor sumur lebih dalam.

Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi, jika hujan yang turun ke bumi tidak pernah diloloskan begitu saja. Hujan ditangkap, ditampung, dan digunakan saat kekeringan datang.

Seperti yang dilakukan sebuah komunitas di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman ini. Mereka menggalakkan kampanye memanen air hujan. Bahkan, sebulan yang lalu, komunitas bernama Banyu Bening ini juga membuka meluncurkan Sekolah Air Hujan.

"Latar berlakangnya dari keprihatinan terhadap krisis air bersih," ujar Sri Wahyuningsih, pendiri Komunitas Banyu Bening, Sabtu (5/10/2019).

Kampanye memanen air hujan sudah dilakukan sejak 2012. Prinsipnya sederhana. Bagaimana caranya supaya air hujan yang turun tidak sia-sia terbuang dan meresap kembali ke tanah. Memanen air hujan bisa dilakukan dengan dua cara, yakni manual dan membangun instalasi penyaringan air.

Yu Ning, sapaan akrabnya, menuturkan menampung air hujan secara manual ada aturannya. Prosesnya bisa menggunakan panci, ember, atau wadah lainnya, tetapi air hujan yang turun tidak bisa langsung ditampung.

Setidaknya butuh waktu 15 sampai 20 menit setelah hujan turun, baru proses penampungan manual bisa dilakukan.

"Supaya polutan yang terbawa air hujan mengendap dan yang tertampung sudah bebas dari polusi," ucap Yu Ning.

Cara kedua dengan membangun instalasi berupa gama rain filter berupa tabung berukuran 1.000 liter. Di dalamnya terdapat penyangga berlapis. Jadi ketika air hujan mengalir dari talang air atau atap rumah bisa langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Untuk membangun instalasi penyaringan permanen air hujan ini membutuhkan biaya sekitar Rp6 juta.

 

2 dari 3 halaman

Bisa untuk Dikonsumsi

Air hujan yang ditampung tidak hanya untuk kebutuhan mandi cuci kakus (MCK) saja, melainkan juga untuk dikonsumsi. Yu Ning menyebutkan 90 persen warga sekitar rumahnya sudah menggunakan air hujan untuk konsumsi.

Ia mengungkapkan fakta kandungan dalam air hujan ternyata lebih baik ketimbang air sumur atau air mineral.

Ucapannya bukan sekadar omong kosong. Ia bisa membuktikan hal itu lewat sebuah eksperimen sederhana. Air minum yang berkualitas memiliki sejumlah syarat, antara lain Ph minimal 7 dan kandungan mineral tidak lebih dari 50 TDS.

Yu Ning memakai alat ukur kandungan mineral bernama TDS meter dan menyiapkan tiga gelas kecil, yang masing-masing berisi, air sumur, air mineral kemasan, dan air hujan.

Alat itu dicelupkan ke dalamnya. Hasilnya mengejutkan. Kandungan mineral air sumur 78 TDS, air mineral 124 TDS, dan air hujan hanya 4 TDS.

"Sebenarnya kualitas air hujan di setiap daerah berbeda-beda tergantung dari banyaknya tanaman dan tingkat polusi, akan tetapi air hujan tetap yang terbaik jika dibandingkan dengan jenis air lainnya dalam kondisi yang sama," kata Yu Ning.

Bagaimana soal rasa? Sepintas air hujan mirip dengan air putih kebanyakan. Perbedaan akan terasa pada tegukan pertama yang bisa habis dalam satu kali tegukan.

Penyebabnya, konsumsi air hujan tidak seperti air sumur atau mineral. Tidak ada rasa sama sekali, tidak berbau, dan tidak membuat perut kembung karena kekenyangan minum air putih.

Hasilnya, kebiasaan mengonsumsi air hujan akan membuat orang memilih untuk minum air putih saat dahaga ketimbang minum es teh, minuman bersoda, dan sejenisnya.

 

3 dari 3 halaman

Sekolah Air Hujan

Sekolah Air Hujan Banyu Bening menjadi sekolah informal pertama di Indonesia yang mempelajari seluk-beluk air hujan. Sekolah yang berlokasi di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman ini mengajak masyarakat umum dari berbagai usia dan lapisan masyarakat untuk mengenal air hujan lebih intim.

Sekolah Air Hujan membuka kelas regular setiap Sabtu dan Minggu. Tidak ada batasan usia untuk duduk di kelas yang menerapkan belajar sembari praktik ini. Siapa pun bisa bergabung dan tidak dikenakan biaya sepeser pun.

Kurikulum diterapkan sesuai dengan latar belakang pendidikan peserta, misal, untuk anak-anak bisa dilakukan sembari outbound.

"Tetapi tujuannya sama, kemandirian air untuk semua," ucapnya.

Saat ditanya soal seberapa penting air hujan, Yu Ning, demikian ia akrab disapa, mengungkapkan sebuah pernyataan. Air hujan tidak hanya untuk mengatasi kerentanan persediaan air selama musim kemarau, melainkan juga menyelamatkan generasi mendatang.

Ia menuturkan ada kajian yang mengatakan persediaan air bersih di Indonesia diperkirakan cukup sampai 2030. "Generasi di Indonesia kan tidak mungkin berhenti di 2030, jadi air hujan ini bisa jadi solusi," ucap Yu Ning.