Sukses

Suka Duka di Balik Aksi Buka Tenda Mahasiswa Kendari

Di tengah hiruk-pikuk pemilihan menteri, mahasiswa Kendari masih setia menggelar aksi buka tenda di Polda Sultra, demi mengusut tuntas kasus tewasnya 2 rekan mereka.

Liputan6.com, Kendari - Kasus tewasnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), La Randi (21) dan Muhammad Yusuf Kaldawi (19), yang tertembak saat menggelar aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu, hingga kini belum mendapatkan kepastian hukum.

Bahkan puluhan mahasiswa dari UHO, Unsultra, dan universitas Muhammmadiyah Kendari sejak 2 Oktober 2019 masih tetap berkemah di depan Polda Sulawesi Tenggara demi menuntut penyelesaian kasus tersebut. 

Lokasi tenda didirikan di depan pintu keluar Polda. Di dalam tenda, ada tikar kecil, tas kuliah mahasiswa dan pakaian. Di sisinya, ada kompor gas kecil dan panci yang digunakan untuk sekadar membuat kopi.

Sekitar beberapa meter dari tenda, ada sebuah keranda dan dua boneka serupa pocong yang diletakkan berdampingan dalam posisi berbaring. Posisinya, berhadapan langsung dengan gerbang keluar Polda Sulawesi Tenggara.

Tidak hanya itu, di samping keranda ada bentangan spanduk bertuliskan aspirasi mahasiswa. Salah satunya, tuntutan agar pelaku pembunuhan ditangkap dan dikenai sanksi tegas.

Setiap pagi hingga siang hari, tidak kurang dari tiga orang mahasiswa ada di lokasi. Jumlah mereka berganti-gantian sesuai jadwal kuliah di kampus.

Sore adalah waktu kumpul mereka. Rata-rata, mereka yang datang di kemah, baru saja menyelesaikan kuliah di kampus.

Salah satu koordinator lapangan Koalisi Mahasiswa September Berdarah (Sedarah), Rahman Paramai mengatakan, puluhan mahasiswa ini memilih tetap berada di depan Polda Sultra dan tak pulang ke rumah karena alasan kemanusiaan. Mereka komitmen menuntut 2 orang mahasiswa tewas bisa ditemukan penembaknya.

"Kebanyakan yang berada disini, tak mengenal Randi dan Yusuf, namun mereka sepakat mengawal kasus ini dengan cara menginap di dalam tenda depan Polda Sulawesi Tenggara," ujarnya.

Rahman menyatakan, mahasiswa akan tetap berada di depan gerbang Polda Sulawesi Tenggara hingga ada tersangka dan dihukum setimpal. Sebelum mereka ditemukan, mereka tak akan angkat kaki.

Soal makan dan biaya hidup sehari-hari, mahasiswa tak mengandalkan donatur dan kerap merogoh kocek sendiri. Namun, diakui Rahman Paramai, dukungan warga makin banyak sejak mendengar kabar Randi dan Yusuf tewas tertembak saat demonstrasi di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara.

"Alhamdulillah, warga di Kota Kendari masih simpatik kepada kami. Setiap hari, ada saja warga yang memberikan bantuan baik kopi, air minum, dan makanan bahkan uang tunai meskipun tak seberapa jumlahnya," ujar Rahman Paramai.

Namun demikian, peserta aksi mengakui makin berkurangnya dukungan BEM Universitas Halu Oleo (UHO) terhadap aksi menuntut pengusutan secara tuntas tewas dua rekan mereka tersebut.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

2 dari 4 halaman

Simpati Pemulung dan Tukang Galon

Ada kisah menarik dari mahasiswa yang sudah 21 hari membangun kemah di depan Polda Sultra. Ternyata, ada simpati dari pemulung dan tukang galon yang selalu memberikan mereka dukungan.

Pemulung di Kota Kendari, penghasilannya tak seberapa dalam sehari. Mungkin tak mencukupi Rp50 ribu saat semua barang bekas plastik yang mereka kumpulkan, ditimbang dan dihargai pengepul barang bekas.

Namun, ternyata setiap hari ada pemulung yang masih bersimpati kepada para mahasiswa. Sehabis membersihkan botol bekas di jalan, pemulung tersebut kerap menghampiri tenda mahasiswa.

"Kadang dia kasih kami uang, Rp20 ribu saja, tapi sangat berarti. Kami selalu tolak, tapi dia bilang ikhlas dan sudah niat," ujar Ikhsan, salah seorang mahasiswa.

Ikhsan mengatakan, bukan soal jumlahnya tapi ternyata masih ada yang peduli kepada kami yang menuntut kasus tewasnya rekan kami diselesaikan, bahkan dari seorang pemulung.

Salah seorang rekan ikhsan mengatakan, bukan saja pemulung namun dukungan juga berasal dari tukang galon dan petugas kebersihan. Bahkan, tukang galon setiap hari memberikan air minum gratis bagi mahasiswa yang menghuni tenda.

Menurut Ikhsan, tanpa diminta mereka, tukang galon kadang datang mengendarai mobil bak terbuka. Pengantar galon itu, kerap turun menukar sendiri galon kosong dan diganti dengan galon baru yang berisi air.

"Kalau petugas kebersihan, dia rela memberikan kami uang meskipun kecil. Padahal, honornya tak seberapa bahkan kadang honor mereka sering terlambat dibayarkan kalau kami dengar-dengar," ujar Sofyan (19), seorang mahasiswa.

Untuk kepedulian warga, sejak 2 Oktober hingga Minggu (20/10/2019), sudah tak terhitung yang datang. Bahkan, warga kadang datang dengan kendaraan, sambil menutup wajah karena takut difoto.

"Kami hanya mau mengabadikan kebaikan hati mereka, tapi mereka menolak difoto dan pergi dengan cepat," ujar Rahman Paramai.

Rahman melanjutkan, warga kebanyakan datang membawa mi instan, kopi, makanan jadi dan uang. Bantuan ini, kemudian digunakan untuk membiayai mahasiswa yang menginap.

"Namun, yang pasti kami tak lupakan kuliah. Tetapi, tenda ini harius setiap hari berisi mahasiswa dan warga," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Pernah Diusir Polisi

Sejak tenda berdiri 2 Oktober 2019, pernah satu hari kelompok mahasiswa sempat diusir seorang oknum polisi di Polda Sulawesi Tenggara. Oknum polisi itu, muncul arah gedung penjagaan yang menuju pintu keluar.

"Kami didatangi, disuruh pergi oleh polisi. Sebelum itu, dia sempat marah-marah dan merobek spanduk kami," ujar Alim.

Saat itu, Alim sempat hendak merekam aksi oknum polisi berseragam, namun tak berani. Sebab, meskipun sendiri, rekan-rekannya di pos penjagaan ada banyak.

"Kami hanya bertiga waktu mendapat giliran jaga di tenda, yang lain sedang pergi kuliah," ujarnya.

Aksi pengusiran dan upaya, hanya sekali dilakukan. Namun, Alim dan rekan-rekannya mengakui, aksi simpati makin banyak berdatangan.

"Kita tidak lagi diusir. Kami berjanji, sampai kasus ini tuntas, sampai saat itu kawan-kawan kami akan berada di depan Polda," ujarnya.

Dia menegaskan, tuntutan mereka hingga nekat bermalam di depan Polda Sultra, sudah jelas. Selain meminta pelaku penembakan diadili, juga meminta agar kasus kekerasan terhadap mahasiswa tak diulang lagi. 

4 dari 4 halaman

Keluarga Tunggu Kepastian Hukum

Sementara itu, pihak keluarga Randi dan Yusuf, setelah 21 hari keduanya tewas tertembak, masih menanti kepastian hukum. Meskipun, keduanya kerap dikabari polisi soal perkembangan penyidikan kasus anak mereka.

Polisi, kerap mengabari via telepon seluler atau berkunjung langsung ke rumah Randi dan Yusuf. Terkait kasus satu perwira dan lima bintara polisi yang disidang disiplin, polisi mengunjungi kedua orang tua Yusuf dan Randi.

"Kami dikabari dari Propam, ada dua orang mengaku dari Mabes Polri datang ke rumah memberitahu kami soal sidang enam orang polisi," ujar ayah Yusuf, Ramlan, Minggu malam (20/10/2019).

Dia meminta, kasus perkembangan kematian Yusuf bisa diperjelas. Sehingga, semua tak ada yang ditutupi.

"Kalau bisa ada tenggat waktu kapan ada kejelasan soal kematian anak saya. Tapi sampai sekarang, belum ada," ujarnya.

Dia meminta kepada mahasiswa, agar terus menyuarakan penuntasan kasus hingga selesai dan tak ada yang ditutupi. Meskipun, dia mengakui mahasiswa memiliki tugas kampus yang banyak dan sibuk.

"Tapi kalau bisa, tolong rekan-rekan Yusuf dan semua rekan-rekannya mahasiswa, kepastian hukum kasus anak saya bisa terus disuarakan hingga pembunuhnya bisa diungkap," ujar Ramlan.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini: