Sukses

Kinjeng-Kinjeng Kenes, Kisah Getir Prostitusi Jalanan Semarang

Nginjeng adalah istilah bagi proses memilih profesi sebagai pekerja seks komersial di jalanan dengan bersepeda motor.

 

Liputan6.com, Semarang - Namanya Sakura. Tentu bukan nama sebenarnya. Masih berusia 22 tahun. Sehari-hari ia mengendarai sepeda motor matic sebagai alat mencari makan. Ojek online? Bukan, ia mencari makan dengan bertransformasi menjadi kinjeng saat senja mulai datang.

Kinjeng? Ya, kinjeng adalah sebutan lain dari capung. Bermata faset dengan miliaran lensa agar bisa mengawasi keadaan sekitar tanpa perlu menoleh. Seperti dalam lirik lagu Capung yang digubah kelompok musik Kornea.

Beraneka ragam bentuk dan warnanya

terbang cepat melesat memburu mangsamu

Di Semarang, kinjeng selain serangga adalah sebutan untuk gadis-gadis muda bersepeda motor, beroperasi mencari laki-laki hidung belang. Ya, inilah prostitusi jalanan yang aman dari sergapan Satpol PP.

Sakura sehari-hari tinggal di sebuah bilik sederhana di wilayah Gayamsari. Di bilik berukuran 3x3 meter itu, ia huni bersama suaminya. Biasanya pulang ke rumah kos pagi hari.

"Kami kawin muda. Dari kampung ke Semarang, bermodal niat bekerja memperbaiki kondisi keuangan," kata Sakura membuka obrolan, Kamis (31/10/2019).

Menurut Sakura, saat ini ia yang harus bekerja. Suaminya tak kunjung mendapatkan pekerjaan hingga tahun keempat perantauannya. Namun sang suami setia menemani dan mengawasi keselamatannya.

Azan Magrib adalah penanda bahwa ia harus segera bekerja. Satu set bedak merk pasaran dan disebut memberi perlindungan untuk panasnya kota Semarang beserta lipstik berwarna norak namun tak mudah menempel, serta beberapa sachet kondom menjadi alat kerjanya.

"Saya nginjeng baru enam bulan. Suami tenaganya tak dipakai jadi kuli bangunan. Saya juga sudah tak lagi kerja di salon," kata Sakura.

Nginjeng adalah istilah bagi proses memilih profesi sebagai pekerja seks komersial. Fenomena kinjeng ini muncul bersamaan dengan kemudahan pembelian sepeda motor dengan cara dicicil. Juga akibat gencarnya Satpol PP menggelar razia prostitusi jalanan.

 

2 dari 3 halaman

Restu Suami

Sakura bercerita, awal memilih profesi sebagai kinjeng karena godaan media sosial Facebook. Saat bekerja sebagai kapster, Sakura menjalin asmara maya dengan laki-laki.

Suaminya tahu, dan memanfaatkan situasi itu. Pacar maya Sakura diperas. Ia dimintai uang sebagai kompensasinya.

"Suami saya dikasih Rp 500 ribu. Suami saya mengancam akan menyebar foto-foto saat bersama saya jika tak diberi uang. Kami tiap bertemu memang berfoto bersama," kata Sakura.

Suaminya ketagihan mendapatkan uang dengan mudah. Sakura diancam akan diceraikan dan diceritakan aibnya di kampungnya, daerah Purwodadi jika tak bersedia diajak kerjasama. Mulailah Sakura menikmati petualangannya.

"Saya mulai berganti-ganti pasangan. Tapi suami tetap satu," kata Sakura.

Sakura dan suaminya tidak sendirian. Ada puluhan atau ratusan kinjeng yang bertebaran di sudut-sudut kota. Tak seluruhnya dijual suami seperti Sakura, namun mayoritas memang sepengetahuan suaminya dan bahkan diantar jemput.

Miryam, kinjeng lain mengaku diantar pasangan tetapnya setiap berangkat mangkal. Pasangannya itu bukan suami sah, tetapi mereka menyebut sebagai suami dan istri. Pacarnya itu sehari-hari berprofesi sebagai juru parkir liar.

"Kami saling sayang, saling percaya. suami saya tahu hati saya tetap untuknya meski tubuh saya dinikmati pria lain," kata Miryam.

Miryan tak pernah baper atau terbawa perasaan saat bekerja. Mengaku lebih suka melayani laki-laki tua karena cepat orgasme dan ia tak terangsang.

"Makin cepat keluar, makin baik. Beda kalau saya main dengan bojo, sama-sama menikmati," katanya.

 Simak video pilihan berikut:

3 dari 3 halaman

Mahal

Kinjeng-kinjeng bersepeda motor ini memasang tarif cukup tinggi. Antara Rp 250 ribu-Rp 500 ribu untuk sekali orgasme. Kamar hotel menjadi tanggungan pemakai. Orgasme lebih dari sekali tentu saja berarti tarifnya menjadi berlipat.

"Dari angka penawaran segitu, biasanya deal di angka Rp 150 ribu-Rp 200 ribu. Suami yang memastikan ketersediaan kamar," katanya.

Kinjeng-kinjeng malam hari ini semuanya bersepeda motor. Mayoritas berjenis matic. Selain mudah dikendarai, juga berfungsi menaikkan harga pasaran.

"Yang jelas kami akan mudah kabur saat ada razia Satpol PP. Kalau mangkal biasa, rata-rata hanya ditawar Rp 50 ribuan. Belum lagi resiko tertangkap Satpol PP," katanya.

Satpol PP Kota Semarang juga tak memiliki solusi sistemik. Mereka bereaksi jika masyarakat sudah banyak mengeluh. Razia sering dilakukan, namun kinjeng-kinjeng ini tetap ada.

Jumlahnya membengkak setelah Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menutup lokalisasi Argorejo atau dikenal dengan Sunan Kuning. Belum ada riset atau petunjuk bahwa kinjeng-kinjeng ini berasal dari penghuni lokalisasi.

"Nggak ada anak baru kok. Masih lama semua. Mungkin di tempat lain saya nggak tahu," kata Miryam.

Jika Sakura senantiasa nongkrong di kawasan Jalan Tanjung, Miryam memilih di jalan Imam Bonjol, sekitar stasiun Poncol. Kinjeng-kinjeng ini juga mudah dilihat di sekitar Jalan Pemuda, Jalan Tanjung, dan Jalan Piere Tendean.

Ketika Satpol PP menggelar razia, kabar cepat menyebar di gawai-gawai mereka atau suaminya. Kesibukan pertama adalah mengoperasikan gawai, berikutnya kinjeng-kinjeng tancap gas berterbangan menyelamatkan diri.

Kemana suami atau pasangannya?

Mereka memastikan bahwa razia itu tak mengancam pasangannya dengan cara berkeliling dengan sepeda motornya.