Sukses

Sejumput Asa Petani Menunggu Lahirnya Perda Reforma Agraria

DPRD Cilacap mendorong percepatan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Reforma Agraria. Raperda tengah digodok dan kini hampir tahapan naskah akademik

Liputan6.com, Cilacap - Konflik lahan di Cilacap bukan cerita baru. Puluhan tahun sudah, petani bersengketa dengan pihak lain memperebutkan lahan hidup. Butuh reforma agraria secepatnya.

Angin sejuk berembus dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Namun, Perpres itu tak cepat direspon oleh pemerintah daerah yang di wilayahnya terdapat lahan yang berpotensi menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Itu makanya, Perpres Reforma Agraria bak macan ompong. Regulasi ini berpotensi melahirkan gebrakan, tetapi tak kunjung terealisasi di lapangan.

Musababnya, untuk menerjemahkan Perpres di lapangan, butuh regulasi-regulasi tingkat pemerintah daerah sebagai payung hukum pelaksanaan reforma agraria.

Cilacap barangkali salah satu daerah tingkat 2 yang paling cepat merespon Perpres ini. Bupati membuat Surat Keputusan (SK) pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) seperti diamanatkan Perpres. SK bupati itu tertanggal 22 April 2019.

Namun, hingga November 2019, kerja-kerja yang dilakukan tak kunjung tampak. Setengah tahun terbentuk, GTRA melaui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Cilacap, baru mendata lahan yang berpotensi menjadi objek reforma agraria.

"Kalau data lahan, pemetaan, data pemohon, itu sudah lama kita lakukan. Sudah terlalu lama kita berkutat dengan data dan data," ucap Petrus Sugeng, Ketua Presidium LSM STAM, dalam Dialog Publik Mendorong Kerjasama Mempercepat Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, di Majenang, Cilacap, Selasa (5/11/2019).

Dialog publik soal reforma agraria dan perhutanan sosial ini digelar oleh LSM STAM, Epsitema Institute, Koalisi Keadilan Tenurial dan Lembaga Studi Pengembangan Perdesaan (LSPP) di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Perda Reforma Agraria Cilacap

Namun, angin segar kembali berembus. Kali ini, dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Cilacap.

Rupanya, para wakil rakyat itu tengah mendorong lahirnya peraturan daerah (perda) Reforma Agraria. Tanpa perda, muskil rasanya kerja-kerja panjang nan melelahkan dalam reforma agraria bakal terwujud.

"Pemerintah punya kewajiban untuk memfasilitasi hingga mengalokasikan anggaran untuk reforma agraria," ucap Syaiful Mustain, Wakil Ketua DPRD Cilacap.

Karenanya, DPRD Cilacap mendorong percepatan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Reforma Agraria. Raperda tengah digodok dan kini hampir tahapan naskah akademik. Lantaran saat ini sudah akhir 2019, dia memperkirakan raperda ini bisa diketok palu menjadi perda Reforma Agraria pada 2020.

"Bahwa sampai Desember 2019 ini, ada dua Raperda yang akan didorong dibuat naskah akademiknya. Satu adalah raperda tentang reforma agraria," katanya.

Dia mengakui, di beberapa wilayah Kabupaten Cilacap ada tanah-tanah yang berpotensi menjadi TORA. Akan tetapi, sesuai dengan prosedur yang berlaku, dibutuhkan proses yang panjang untuk menjadikan tanah tersebut bisa dijadikan TORA, baik dengan redistribusi kepemilikan tanah maupun dengan program Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).

"Saya berharap agar semua pihak bekerja sama agar tidak timbul riak dalam proses reforma agraria yang dilakukan di Cilacap," dia menerangkan.

Anggota Komisi D DPRD Cilacap, Romelan mengemukakan, Raperda Reforma Agraria adalah bentuk respon DPRD atas usulan petani Cilacap. Perda Reforma Agraria diterbitkan sebagai payung hukum pelaksanaan reforma agraria di daerah.

Romelan berharap setelah Perda Reforma Agraria terbit, percepatan reforma agraria di Kabupaten Cilacap bisa dilakukan. Dan itu akan mengurangi potensi konflik lahan yang kerap terjadi di Cilacap.

3 dari 3 halaman

Percepatan Reforma Agraria

GTRA Kabupaten Cilacap, melalui BPN Cilacap mulai mendata calon lahan reforma agraria atau TORA.

Petugas Pendata BPN Cilacap, Haris mengatakan hingga November 2019 ini ia sudah mendata sebanyak enam desa di tiga kecamatan. Enam desa tersebut yakni, Desa Mentasan dan Desa Sarwodadi Kecamatan Kawunganten, Desa Bantarsari Kecamatan Bantarsari, Desa Gintungreja Kecamatan gandrungmangu, dan Desa Bantar Kecamatan Wanareja.

"Sudah enam desa sih. Desa Bantar sama Bantarsari sudah didata. Ya, itu kecamatan Bantarsari sama yang Kecamatan Wanareja," kata Haris.

Pendataan meliputi luasan dan peta lahan, jumlah dan nama-nama pemohon, serta dokumen-dokumen lain dari desa setempat. Namun, untuk menjadi TORA, data fisik tanah bukan satu-satunya syarat.

Masih banyak prasyarat lain yang mesti terpenuhi. Misalnya, kesesuaian sesuai dengan tata ruang dan peruntukannya. Terpenting lagi, tanah tersebut clear and clean.

"Karena itu kan untuk menjadi TORA masih banyak prosedurnya. Karena itu harus sesuai tata ruang dan lain-lainnya. Pada intinya, tanah yang akan diusulkan itu harus dalam kondisi clean and clear. Tidak ada konflik," Haris mengungkapkan.

M Hasbi, Koalisi Keadilan Tenurial, mengatakan dialog publik reforma agraria dan perhutanan sosial ini diadakan untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria di daerah. Harapannya, dialog ini mampu memotret persoalan pelaksanaan reforma agraria di daerah sekaligus alternatif solusinya.

Salah satunya adalah mendorong agar pemerintah proaktif memfasilitasi reforma agraria di daerah. Fungsi mediasi hingga alokasi anggaran adalah tugas pemerintah.

"Clean and clear yang dimaksud itu jika ada masalah pemerintah dalam hal ini bertugas memfasilitasi dan memediasi jika memang ada permasalahan di lapangan," Hasbi mengungkapkan.