Liputan6.com, Bandung - Sejak ditetapkan sebagai cagar alam pada 21 Februari 1919, kawasan konservasi Junghuhn kini menjelma jadi cagar alam tertua di Lembang, Jawa Barat. Cagar alam ini merupakan monumen untuk mengenang jasa-jasa dari Franz Wihelm Junghuhn.
Cagar Alam Junghuhn terletak di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Lokasinya, berada pada ketinggian 1.274 meter di bawah permukaan laut.
Untuk menuju ke lokasi cagar alam ini cukup mudah. Jika menggunakan roda dua atau empat dari Jalan Raya Lembang, ambil belokan ke kiri menuju Jalan Jayagiri.
Advertisement
Tepat di Jalan Jayagiri, tampak permukiman padat penduduk. Cagar Alam Junghuhn sendiri terlihat berada di tengah padatnya permukiman. Tidak ada pagar pembatas di sekitar lokasi.
Saat Liputan6.com menyusuri kawasan konservasi Junghuhn ini, suasana alam terasa cukup rimbun. Dari pintu gerbang bercat hijau terpampang plang cagar alam Junghuhn seluas 2,5 hektare.
Hariban Mugni (22), perawat cagar alam dan monumen Junghuhn mengatakan, luas area kawasan mengalami penurunan. Surat Keputusan Dirjen KSDAE No 21 Tahun 2019 pada 23 Januari 2019, bahkan menyebutkan luasan Cagar Alam Junghuhn saat ini hanya 7.510 meter persegi.
"SK-nya memang baru dikeluarkan. Nanti akan ada plang yang baru dengan keterangan luasan terbaru," kata pria yang akrab dipanggil Hari itu saat ditemui Kamis (7/11/2019).
Hari ialah generasi ketiga yang mendiami Cagar Alam Junghuhn. Ia bersama sang ibu tinggal di pos jaga sekaligus menjadi tempat kerjanya. Sebelumnya, juru rawat tempat ini dipegang oleh almarhum Labudin Suharto, kakek Hari sejak 1986-2008 dan almarhum Asep Suryana, ayah Hari yang purna tugas pada 2018 lalu.
Hari saat ini bekerja sebagai pegawai di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Selain menjaga di pos Junghuhn, sehari-hari ia juga bertugas memantau Gunung Tangkuban Parahu.
"Saya kebetulan hari ini libur dan menjaga di sini setelah gunung erupsi selama beberapa bulan. Setelah ada penurunan status, saya kembali bertugas di sini," ucapnya.
Soal berkurangnya luasan area Cagar Alam Junghuhn, Hari mengungkapkan hal itu sudah berlangsung sejak lama. Salah satu faktornya adalah meningkatnya pembangunan tempat tinggal.
Tak hanya itu. Sikap sebagian masyarakat sekitar pun kurang menyadari pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Alih-alih tak ada batas antara cagar alam dengan permukiman membuat warga membuang sampah secara sengaja.
Bahkan, ketika menyambangi lokasi cagar alam ini terlihat bongkaran bangunan yang tercecer di dalam kawasan.
Hari juga menceritakan, dulu masyarakat ingin menebang pohon di sekitar tugu Junghuhn. Di mana kayunya untuk dibuat bahan bangunan rumah. Namun berbagai upaya itu tak berhasil karena BBKSDA Jabar selaku pengelola, memberikan sikap tegas.
"Teguran sering kita sampaikan karena sudah ada Undang Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya yang mengatur soal cagar alam. Sekarang memang sudah tidak ada penebangan," ujar Hari.
Berdasarkan UU Konservasi SDA, cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Biasanya tumbuhan dan satwa dalam kawasan cagar merupakan asli daerah tersebut, tidak didatangkan dari luar. Perkembangannya pun dibiarkan alami apa adanya.
Anak Seorang Pemangkas Rambut
Franz Wilhelm Junghuhn berasal dari Jerman. Lahir di Mansfield, 26 Oktober 1809, ia adalah putra sulung seorang dokter dan pemangkas rambut bernama Wilhelm Friedrich Junghuhn dan istrinya Christine Marie Schiele.
Meskipun pernah menempuh pendidikan kedokteran di perguruan tinggi di Halle dan Berlin, Junghuhn sebenarnya lebih tertarik untuk mempelajari ilmu botani.
Saat masih muda Junghuhn pernah berduel dengan sesama rekan mahasiswa di perkuliahan, masuk tahanan hingga bergabung ketenteraan Belanda ke Jawa. Atas keinginan ayahnya ia kemudian menjadi dokter militer.
Minat besar Junghuhn terhadap penyelidikan ilmu alam tak pernah pudar. Petugas kesehatan ketenteraan Belanda itu sering keluar masuk hutan, mendaki gunung dan menuruni lembah untuk pemetaan dan pengembangan tanaman kina hingga akhirnya mendapatkan kewarganegaraan Belanda.
Junghuhn juga dijuluki sang Humboldt van Java karena kegemarannya akan ilmu pengetahuan. Dua catatannya ditulis dalam karya, "Perjalanan Topografis dan Ilmu Pengetahuan Alam Berkeliling Jawa” (1845) dan ”Tanah Batak di Sumatera” (1847).
Setelah melakukan perjalanan ke Eropa karena alasan kesehatan, Junghuhn kembali ke Jawa dan mempersembahkan metode penanaman pohon kina. Ia pun mengelola penanaman kina secara penuh, sehingga sejak 1858 menetap di Lembang.
Rumahnya berada dekat dengan hutan kecil saat ini yang menjadi cagar alam. Bangunan rumahnya pun sangat mewah.
Junghuhn wafat pada usia 54 tahun di kediamannya di Lembang. Istrinya, Johanna Louisa Federica, membuatkan sebuah prasasti yang diletakkan di atas makamnya, yang hingga kini masih ada di kawasan cagar alam.
Berbagai sumber menyebutkan kematian Junghuhn disebabkan disentri amuba. Di Jayagiri Lembang, Junghuhn minta untuk dihadapkan ke Gunung Tangkuban Parahu, tempat yang sangat dicintainya.
Awal 80-an, sempat dilakukan pemugaran oleh Konsul Republik Federal Jerman (Jerman Barat) ketika itu. Profesor Holz yang menjadikan tugu peringatan Junghuhn menjadi tampak seperti sekarang.
Di Jerman, nama Junghuhn mungkin sudah terlupakan sebagian besar orang. Namun demikian, di Indonesia namanya itu masih terus dikenang.
Antusias pengunjung ke Cagar Alam Junghuhn dapat dilihat dari buku catatan pengunjung. Tercatat sejak 1995 kawasan suaka alam ini dikunjungi orang dari berbagai profesi, usia dan asal negara.
"Kalau yang ingin tahu tentang Junghuhn memang banyak. Dari luar negeri juga ada datang ke sini," kata Hari.
Apresiasi terhadap Junghuhn juga pernah dilakukan komunitas pegiat sejarah Lembang. Mereka menamakan dirinya Balad Junghuhn yang kemudian diganti menjadi Lembang Heritage pada 2014.
Hari yang merupakan lulusan SMK Pertanian di Lembang mengagumi sosok Junghuhn. Menurutnya, Junghuhn orang yang penuh kasih sekalipun kehadirannya bersamaan dengan bangsa Eropa lain di masa kolonialisme.
"Kekaguman saya pada Junghuhn itu karena dia tidak pandang bulu. Dia seorang sekutu tapi ingin menyelamatkan masyarakat pribumi yang dihebohkan penyakit malaria. Selain itu dia juga menyukai hutan dan geografi, wawasannya cemerlang karena mampu menggambarkan lingkungan dengan sketsa," kata Hari.
Advertisement
Tanaman Kina
Gajah mati meninggalkan gading, Junghuhn pergi meninggalkan tanaman kina.
Selain ketertarikan pada gunung dan alam, Junghuhn adalah orang pertama yang menanam pohon kina di Indonesia. Lewat jasanya itu penyakit malaria yang dulu mewabah berhasil dikurangi secara drastis.
Kecintaannya pada kina membuat lokasi makam dan tugu peringatannya dikelilingi oleh tanaman kina baik dari spesies Cinchona succirubra maupun C. ledgeriana.
Menurut Hari, sang perawat tempat peristirahatan terakhir Junghuhn, ada sekurangnya 100 pohon kina yang berdiri kokoh di kawasan Cagar Alam Junghuhn.
"Di sini, ada dua jenis tanaman kina. Pertama, kina yang dibawa dari Peru yang sering disebut kikonia. Sedangkan kina yang merupakan tanaman asli Indonesia bernama Sulibra. Di sini, yang paling banyak sulibra karena lebih mudah dalam pembibitan," ujar Hari.
Selain kina, terdapat pula pohon-pohon besar seperti beringin, mahoni, sobsi dan pinus. Adapun satwa yang mendominasi di cagar alam ini adalah jenis aves seperti burung cangkurileung dan kacamata.
Hari berharap, kawasan Cagar Alam Junghuhn segera dipagari agar ekosistem di dalamnya tidak terganggu aktivitas di sekitarnya. Ia mengatakan, sejak tahun lalu sudah ada rencana pembentengan.
"Karena kawasan ini kan dekat dengan masyarakat, ada yang iseng bikin mural di tugu hingga buang sampah sembarangan. Kalau ada benteng jadi bisa meminimalisir," katanya.
Simak video pilihan di bawah ini: