Sukses

Letnan Komarudin, Pahlawan Kebal Peluru Juga Suntikan

Komarudin adalah mantan prajurit PETA. Ia memang dikenal kebal peluru.

Liputan6.com, Semarang - Peperangan selalu memunculkan pahlawan dan pecundang. Termasuk dalam penggambaran suasana Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dalam film Janur Koening. Peristiwa itu memunculkan sosok kontroversial. Komarudin namanya, diperankan dengan keren oleh Amak Baljun.

Komarudin adalah seorang prajurit ganteng nan selebor berbaret hitam. Ia digambarkan sangat pemberani menembus hujan peluru, memburu para tentara Belanda. Bahkan ketika bergerak mundur sekalipun tetap saja menembakkan senjatanya menembus hujan peluru.

Dalam catatan sejarah Serangan Oemoem, Komarudin ditulis berpangkat letnan. Ia adalah komandan peleton di SWK 101, Brigade X pimpinan Mayor Sardjono (anak buah Letnan Kolonel Soeharto).

Komarudin adalah mantan prajurit PETA. Ia memang dikenal kebal peluru. Ditembak model apa pun tak akan tembus. Itulah sebabnya ia mampu melindungi seluruh anak buahnya dalam radius 10 meter di sekitarnya.

Buku Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya yang ditulis oleh Daud Sinjal, menuliskan bahwa pasca-PETA, Komaruddin memang bergabung dengan Laskar Hizbullah setempat. Kawan-kawannya mengenal Komarudin sebagai sosok yang jenaka, selebor, pemberani namun sedikit agak sentimentil jika disentuh sisi-sisi kemanusiaannya.

Kesaktian Letnan Komarudin konon karena ia masih memiliki hubungan darah (sebagai cicit) dengan Kyai Abdur Rahman yang dikenal sebagai Mbah Tanjung. Kyai ngetop yang hidup di Ploso Kuning, Minomartani, Sleman pada zaman Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792) berkuasa.

Komarudin diyakini sebagai keturunan langsung Bantengwareng, salah seorang panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro. Kesaktian Komarudin merupakan warisan keturunan orang-orang sakti itu. Ia kebal terhadap senjata apapun. Nama Komarudin pun legendaris. Di wilayah Sleman, ada sebuah masjid yang disemati namanya: Masjid Al Komarudin.

 

2 dari 4 halaman

Pribadi Lembut Melankolis

Kekonyolan Letnan Komarudin dalam serangan umum 1 Maret 1949 terlihat saat ia silap melihat tanggal. Akibatnya ia menyerbu kota bersama peletonnya sendirian. Untung saja serangan itu didengar Sri Sultan Hamengkubowo IX dan Kolonel Suharto. Ia pun disuruh mundur.

Berbagai makian keluar dari mulut Letnan nyentrik ini. Seorang diri ia melindungi seluruh anak buahnya saat menarik mundur pasukannya. Selebor, kebal, gagah berani, dan patriotik. Itu yang digambarkan pada sosok Letnan Komarudin.

Komarudin dikenal sportif dan sentimental. Utamanya saat disentuh hal-hal pribadi yang berpengaruh ke hidup orang lain. Pasca-Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu, Panglima Besar Soedirman turun gunung dan berkesempatan memeriksa pasukan.

Khusus kepada Letnan Komarudin, panglima mengkritik dan menyindir mengenai serangan salah tanggal itu. Apa reaksi Letnan Komarudin mendengar kritik, nasihat, dan sindiran Jenderal Soedirman?

Tentara yang gagah berani dan konyol ini malah menangis sesenggukan. Napasnya berat sekali. Apalagi ketika diingatkan bahwa hal itu berkait dengan keselamatan perjuangan dan masa depan bangsa.

"Siap… Siap Panglima! Saya tidak akan mengulanginya!" kata Letnan Komaruddin sambil berlinang air mata.

Peleton yang dipimpin Letnan Komarudin memang dikenal sangat berani dan sering mengacak-acak pertahanan militer Belanda di dalam kota Yogyakarta. Begitu disegani namanya hingga intelijen militer Belanda (NEFIS) pernah menjadikannya buronan.

Konon, penyerangan militer Belanda ke dukuh Plataran pada 24 Februari 1949 (yang menimbulkan korban tewas beberapa kadet Akademi Militer Yogyakarta) ditujukan untuk mencari Komarudin ini. Saat itu letnan konyol yang gemar mengumpat ini memang berada di dekat dukuh tersebut.

Simak video pilihan berikut:

 

3 dari 4 halaman

Dituduh Jadi Pemberontak

Bagaimana nasib Komarudin usai perang? Dalam bukunya, Daud Sinjal menulis bahwa Letnan Komarudin dituduh terlibat dalam pemberontakan DI / TII yang dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo.

Dijelaskan, tuduhan itu muncul ketika kompi Komarudin (saat itu berpangkat kapten) pada tahun 1950-an, dikirim ke Malangbong, Garut. Tujuannya menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Namun Kapten Komarudin bukannya berperang, ia malah asyik memilih "ngopi-ngopi bareng" pasukan DI/TII.

Komarudin barangkali jengah berperang dengan para gerilyawan DI/TII yang sebagian merupakan rekannya saat aktif di Laskar Hizbullah. Malah di antaranya ada juga yang pernah satu perguruan dengannya saat belajar agama dan kanuragan (ilmu kekebalan tubuh).

"Mbah Komar dan pasukannya ditarik kembali ke Yogya. Sampai di markasnya Mbah Komar dan kompinya langsung dipecat secara massal," kata Prianto dalam buku itu.

Prianto adalah salah satu narasumber dalam buku Daud Sinjal yang masih memiliki garis keturunan sebagai cucu dari Komaruddin.

Hasil penyelidikan lanjutan menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Komarudin ternyata tidak benar. Namanya kemudian direhabilitasi.

Karakter rehabilitasi yang tak instan dan butuh proses lebih lama, membuat kariernya sebagai tentara tak mulus. Bahkan setelah namanya direhabilitasi, Komarudin malah mengundurkan diri dari ketentaraan secara resmi. Terjadi tahun 1960-an.

Komarudin kemudian memilih dunia jalanan sebagai jalur hidupnya. Di Kotagede, namanya terkenal sekaligus disegani. Ia dikenal sebagai "preman" baik hati dan suka menolong.

"Tempat tongkrongan favoritnya di samping pabrik susu SGM," kata Priyanto.

Priyanto bercerita bahwa ketika dirinya masih muda selalu ngobrol dengan Komaruddin yang dalam kesehariannya doyan memakai topi koboi itu.

 

4 dari 4 halaman

Dokter Tak Bisa Menyuntik

Bukan Komarudin jika tak menelurkan kejutan. Sekitar tahun 1969, Komarudin secara misterius tiba-tiba menghilang dari Kotagede.

Soetojo alias Boyo (buaya), teman seperjuangannya waktu melawan Belanda, mencarinya hingga ke Jakarta. Boyo menemukan Komaruddin di wilayah Cempaka Putih, tinggal di sebuah gubuk kecil yang terletak di tengah-tengah rawa.

Untuk hidup, ia menjadi preman yang ditakuti di wilayah Pasar Senen. Boyo atau Toyo Boyo terus membujuk agar Komarudin kembali ke Kotagede. Tak betah dibujuk, jiwa melankolisnya muncul, tahun 1972 Komarudin kembali ke Kotagede. Tak lama sampai di kota tersebut, ia kemudian jatuh sakit hingga mengalami koma. Komaruddin kemudian dirawat di Pusat Kesehatan Umat (PKU) milik Muhammadiyyah.

Dokter Barid adalah nama salah seorang yang menanganinya. Selain usia yang menua, pola hidup yang tidak teratur memperburuk kesehatannya. Beruntunglah ia pernah belajar kanuragan sejak masih lajang. Sisa-sisa kekebalannya diceritakan Priyanto dengan cukup konyol.

"Waktu kami rame-rame menengok Mbah Komar, Dokter Barid mengeluh. Zaman dulu dokter sendiri yang menyuntik dan Dokter Barid bilang selalu gagal menyuntik Mbah Komar karena kulitnya atos (keras) sekali," kata Priyanto.

Tahun 1973, Mbah Komar mengembuskan napasnya yang terakhir di Kotagede. Jenazahnya dikebumikan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.

Selamat beristirahat pahlawan, prajurit ganteng, konyol, dan gagah berani, Letnan Komarudin.