Sukses

Mengenal Siti Manggopoh, Singa Betina dari Ranah Minang

Siti Manggopoh, namanya memang tak seharum RA Kartini, tapi keberaniannya melawan tentara kolonial Belanda patut diapresiasi.

Liputan6.com, Padang - Siti Menggopoh, namanya memang tak seharum RA Kartini, namun perjuangannya melawan Belanda cukup fenomenal semasa zaman penjajahan. Lahir di Nagari Manggopoh Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Siti tak pernah mau takluk di tangan kolonial.

Wanita yang akrab dipanggil Mande Siti ini diperkirakan lahir pada 1885, tetapi tak ada rujukan yang tepat mengenai tanggal kelahirannya. Meski begitu hingga kini jika memperbincangkan masalah pahlawan, Siti Manggopoh tak pernah lupa disebut namanya oleh masyarakat Sumbar.

Ia dijuluki "Singa Betina" dari Ranah Minang, betapa tidak ia tak pernah diam ketika daerahnya diperlakukan semena-mena oleh kolonial.

Dalam buku Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah, Mulyono Atmosiswartoputra diceritakan awal mula kemarahan Mande Siti, ketika ia tahu Peraturan Pajak di tanah Minangkabau pada awal Maret 1908, diganti menjadi Peraturan Tanam Paksa terhadap rakyat.

Mande Siti tersulut amarah sebab merasa harga dirinya diinjak-injak, mengingat peraturan belasting ini mengenakan pajak tanah yang dimiliki secara turun-temurun.

Alhasil, pemberontakan rakyat yang dimulai dari Kamang hingga akhirnya merambah ke Manggopoh, membuat Siti bersama dengan pemuda militan dari Manggopoh, membentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang.

Mereka adalah Rasyid (suami Siti), Siti, Majo Ali, St. Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana.

Akhirnya pada 16 Juni 1908 meletuslah Perang Manggopoh bersamaan dengan Perang Kamang yang dikenal juga dengan Perang Belasting.

Setidaknya, tercatat dalam sejarah, kalau Mande Siti berperang dua kali dengan Belanda. Pertama, Kamis malam, 15 Juni 1908, titik inilah perjuangan dimulai.

Siti disebut menjadikan dirinya sebagai umpan, dan menyusup ke markas Belanda yang saat itu bikin perjamuan.

Setelah berhasil menyusup, Siti memadamkan lampu dan memberi tanda kepada para pejuang yang sudah siaga di luar. Mereka pun langsung menyerbu sesudah diperintah dari dalam.

Pertarungan para pejuang dan Belanda pun terjadi dalam kegelapan. Siti membunuh puluhan tentara Belanda. Sementara pejuang lain juga.

Dalam serangan gelap itu, para pejuang, yang tidak satupun gugur, berhasil membunuh 53 dari 55 serdadu Belanda. Dua yang selamat berhasil kabur ke Lubuk Basung walaupun dengan luka serius di sekujur tubuhnya.

Perang kedua terjadi saat dua antek Belanda yang berhasil kabur itu, meminta bantuan tentara dari Bukittinggi dan Padang Pariaman. Insiden itu terjadi pada 16 Juni 1908. Mereka sengaja memporak-porandakan Manggopoh untuk balas dendam. Tak sedikit warga yang menjadi korban kemurkaannya.

Peperangan ini menewaskan seluruh pejuang yang melawan pada saat itu. Ada yang mengatakan pejuang saat itu hanya 5 orang (Tuanku Cik Padang, Tabat, Sidi Marah Khalik, Muhammad, dan Kana), namun ada juga yang mengatakan 3 orang (Tuanku Cik Padang, Kana, dan Unik).

Siti Manggopoh yang mendengar daerahnya diobrak-abrik Belanda, akhirnya mengambil keputusan untuk tetap ikut berperang. Padahal, ia punya anak, yang terpaksa harus ditinggal. Namanya Dalima.

Setelah melakukan penyerangan, Siti Manggopoh pulang ke rumah dan membawa kabur Dalima ke hutan. Di dalam hutan, Siti Manggopoh merawat anaknya. Namun malang, tentara Belanda kemudian menangkapnya dan membawanya ke Lubuk Basung, Agam.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Dari Penjara ke Penjara

Tahun 1963, panitia peringatan Hari Kartini di Kota Padang mengundang Mande Siti untuk bercerita. Saat itu umurnya 78 tahun. Dia sudah rabun, namun tak pikun. Dia mengurai detail saat-saat setelah penyerbuan benteng Belanda.

"Dalam keadaan terluka saya langsung pulang ke rumah orangtua. Kedua anak, saya titipkan di sana. Dalima yang masih bayi langsung saya susui. Si Yaman, anak laki-laki saya langsung merebahkan kepalanya di paha saya. Dia minta dibelai," kenangnya.

Lebih lanjut, Siti bercerita datang seorang nelayan yang mengaku bernama Saibun. "Saya diminta Rasyid untuk menjemput Mande Siti," bisik nelayan itu. Siti membawa Dalima. Mereka naik perahu ke sebuah tempat di mana Rasyid sedang menunggu.

"Dalam keadaan diburu tak baik berlama-lama di sebuah tempat. Kami memutuskan berjalan kemanapun tanpa tujuan, yang penting selamat," urai Mande Siti di hadapan hadirin peringatan Hari Kartini. Penuturan Mande Siti ini dikutip beberapa surat kabar saat itu. Ada juga yang menuliskannya hanya untuk sekadar dokumentasi.

Perjalanan terhenti ketika mereka jumpa seorang peladang tua. Pak Tua itu baik sekali. Selain tumpangan untuk sembunyi, dia memberi makan dan minum untuk Siti, Rasyid dan Dalima. Tidak hanya itu, Pak Tua juga mengobati luka tembak Siti dan Rasyid.

"Dari Pak Tua itu kami mendapat cerita bahwa kami berdua orang yang paling dicari. Karena tak jua ditemukan Belanda murka dan Manggopoh dibumihanguskan. Rakyat tak bersalah ditangkapi, disiksa dan dibunuh. Tak tega melihat rakyat Manggopoh menderita, kami memutuskan keluar dari persembunyian. Menyerahkan diri dengan syarat tak ada lagi rakyat yang disakiti," Siti memutar kembali ingatannya.

Siti saat itu ditangkap lalu dipenjarakan secara terpisah. Adapun suaminya Rasyid, dibuang ke Manado.

Saat ditangkap, di Lubuk Basung, Siti Manggopoh dipenjara selama 14 bulan, lalu dibawa ke penjara di Pariaman. Di sini, Siti mendekam selama 16 bulan.

Ia kemudian dipindahkan ke penjara Kota Padang selama 12 bulan, dan akhirnya dibebaskan oleh Belanda dengan alasan anaknya masih kecil.

Mande Siti meninggal 20 Agustus 1965 dan dimakamkan di Makam Pejuang Manggopoh.