Liputan6.com, Medan Kematian ribuan babi di berbagai daerah di Sumatera Utara (Sumut) menjadi perhatian serius berbagai pihak. Mulai dari Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan hingga Gubernur Sumatera Utara (Sumut).
Untuk mencari tahu penyebab kematian ribuan ekor babi tersebut, Balai Veteriner Medan melakukan penyelidikan dengan mengumpulkan sampel bangkai babi. Hasilnya, selain disebabkan virus hog cholera, kematian babi juga terindikasi terkena virus African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika.
Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia mengatakan, sejak September hingga Oktober 2019 telah mengambil sampel terhadap babi yang mati di beberapa daerah di Sumut. Sampel difokuskan pada daerah yang terjadi peningkatan ekskalasi kematian babi.
Advertisement
"Hasilnya seperti yang kita duga sebelumnya, hog cholera. Wabah ini pernah terjadi di tahun 1993 sampai 1996," kata Agustia, Minggu (10/11/2019).
Baca Juga
Hog cholera pada saat itu sudah ditangani. Tetapi dari segi ilmu kedokteran, virus tersebut tetap ada dan tidak menyerang jika ketahanan tubuh babi kuat. Ketika ketahanan tubuh babi kuat dan masih muncul, hal itu disebut dengan daerah endemis.
"Serta merta bisa muncul. Nah, agar tidak muncul, harus vaksinasi," ujarnya.
Mengingat penyakit babi tidak hanya hog cholera, dan kematian terus terjadi, Balai Veteriner Medan kembali melakukan uji laboratorium. Hasilnya, ditemukan indikasi suspect ASF atau Demam Babi Afrika.
Agustia menjelaskan, alasan penyebutan indikasi karena selama ini tidak pernah ada disebutkan secara pasti serangan virus Demam Babi Afrika. Sebab, beda antara terserang virus dengan indikasi.
Untuk membuktikan adanya Deman Babi Afrika harus dlakukan uji laboratorium berkali-kali, dan hasilnya disampaikan oleh atasan. Dalam hal ini, Balai Veteriner Medan melaporkan hasil uji laboratorium ke Direktur Jenderal Penyakit dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
"Virus ini (Demam Babi Afrika) belum pernah ada di Indonesia, serangannya cepat dan sistemik," jelasnya.
Ciri-Ciri Terkena Demam Babi Afrika
Babi yang diserang Demam Babi Afrika tidak kelihatan sakit, namun bisa tiba-tiba mati. Virus ini masuk ke dalam tubuh dan mematikan organ-organ. Contohnya, pada hari pertama hingga satu minggu serangan, babi tidak terlihat sakit. Selanjutnya mati.
“Ada juga yang dalam seminggu serangan, babi tidak langsung mati. Babi tersebut menjadi sumber penyebar virus,” Agustia menerangkan.
Virus Demam Babi Afrika belum ada obatnya sapai saat ini. Demikian pula dengan vaksinasinya. Sedangkan hog cholera, vaksinnya sudah ada. Meski demikian, babi yang terserang Demam Babi Afrika masih bisa dikonsumsi, namun setelah dimasak dengan suhu 100 derajat celcius.
“Kenapa masih bisa dikonsumsi? Karena tidak zoonosis, tidak menular kepada manusia, tapi babi ke babi,” ujarnya.
Untuk menghindari penyebaran lebih luas, perlakuan di lapangan harus mengikuti standar Demam Babi Afrika. Pertama, masyarakat tidak membeli ternak babi yang harganya murah.
Kedua, masyarakat harus menerapkan bio sekuriti, yakni tidak saling menjenguk ternak yang sakit. Ketiga, bangkai babi tidak dibuang ke sungai atau ke hutan, melainkan dikubur. Keempat, perlu dilakukan pengetatan lalu lintas ternak dan menjaga sanitasi kandang.
“Kandang juga harus sering dicuci. Manajemen kandang untuk memastikan kebersihan, dan cukup membantu,” Agustia menandaskan.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement