Sragen - Mitos soal kesakralan kampung anti sinden (penyanyi perempuan) di Dukuh Singomodo RT 5, Desa Kandangsapi, Jenar, Sragen memang menyimpan banyak cerita mencengangkan.
Joglosemarnews.com melansir bahwa sejumlah sesepuh di dukuh dan desa itu membeber banyak kisah soal beberapa pelanggar aturan yang kemudian langsung mendapat petaka.
Selain kisah warga yang konon disebut langsung meninggal setelah nekat membunyikan lagu sinden atau nanggap sinden, kisah serupa konon disebut juga pernah menimpa beberapa pengunjung yang pernah berada di Kampung Singomodo.
Advertisement
Baca Juga
Sang juru kunci makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo, Mbah Slamet (65) menuturkan para pelanggar atau yang berbuat mencoba berniat jahat di wilayah Kampung Singomodo pun juga konon tak luput dari ganjaran petaka.
"Zaman penjajahan, londo (Belanda) masuk ke sini. Tanah kan dikapling-kapling. Nah ada warga yang nekat nggarap kaplingan dan nrabas wilayah areal batas larangan itu. Langsung mecicil (sekarat). Marine ya dijalukne apuro lan donga ke makam syekh nasher itu (sembuhnya ya dimintakan maaf dan doa ke makam syekh nasher)," kata Mbah Slamet kepada Joglosemarnews.com.
Tak hanya itu, juru kunci yang juga perangkat di Desa Kandangsapi itu menuturkan cerita soal petaka juga pernah menimpa pengunjung Makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo yang tak menaati aturan.
Suatu ketika ada yang tidak berwudhu dan membatin hal-hal jelek saat berziarah di areal makam Syekh Nasher, maka tak jarang akan langsung mendapat balasan mengerikan.
"Yang sering itu kadang kalau menyepelekan nggak wudhu, tahu-tahu nanti kalau duduk pasti nggak betah karena tiba-tiba ada semut di bawahnya. Padahal peziarah lain yang wudhu juga nyaman-nyaman saja. Nggak tahu datangnya (semut) dari mana. Itu sering terjadi. Makanya yang ziarah disarankan memang wudhu dulu dan nggak boleh mbatin yang enggak-enggak," tuturnya.
Mbah Slamet kemudian menguraikan cerita soal petaka bagi pengunjung yang melanggar aturan pernah menimpa sopir travel pengantar rombongan ziarah ke makam Syekh Nasher asal Jatim beberapa tahun lalu.
Ia menuturkan sopir itu disewa untuk mengantar kyai pengasuh sebuah Ponpes yang kala itu mengajak santrinya berziarah ke makam Syekh Nasher.
"Sang sopir itu nggak turun. Dia nunggu di mobil sambil nyetel musik klenengan di mobil. Tak tahu kalau kampungini kampung anti sinden atau penyanyi. Saat itu nggak terjadi apa-apa. Tapi saat perjalanan pulang sampai Mantingan, tiba-tiba 4 ban mobilnya langsung kempes dan kecelakaan," kata Mbah Slamet.
Hanya Berlaku Satu RT
Untungnya tak ada korban. Pak kyai itu bercerita dan kaget kok bisa-bisanya semua roda tiba-tiba kempes. Ia sangat bersyukur masih dilindungi. Bisa saja mobil masuk jurang dan jatuh banyak korban. Setelah kejadian itu, ia sering ziarah dan berdoa ke makam Syekh Nasher.
"Malah akhirnya makin dipercaya oleh kyai itu untuk membawa rombongan-rombongan ziarah ke sini. Sekarang mobil sewanya sudah empat," kata Mbah Slamet.
Sesepuh di Dukuh Singomodo yang juga Kadus Kandangsapi, Bopo Hartono (61) menuturkan kisah kesakralan Makam Syekh Nasher dan Kampung Singomodo memang tak masuk akal. Namun hal itu benar-benar terjadi dan hanya berlaku di satu RT yakni RT 5 Singomodo atau wilayah yang masuk batas areal sekitar Makam Syekh Nasher.
"Yang dianggap wingit (sakral) ya cuma satu RT yaitu di RT 5 atau RT Mbah Modo (Syekh Nasher atau Eyang Singomodo) itu saja. Kalau di RT lain juga kehidupannya biasa. Boleh nanggap klenengan, tayub dan sinden. Yang jelas sampai sekarang warga masih menolak sinden atau penyanyi dan mitos itu memang masih diyakini warga di RT Mbah Modo," kata Bopo Hartono.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement