Liputan6.com, Maros - Upacara adat "Appalili" yang dilakukan pihak Kerajaan Adat Marusu menandai musim tanam di Kabupaten Maros menjelang akhir tahun.
"Prosesi 'Appalili' dengan menurunkan benda-benda pusaka kerajaan, khususnya 'pajjeko' (bajak) ke sawah adat menjadi tanda memasuki musim tanam padi," kata Raja Adat Marusu Andi Abd Waris Tadjuddin KaraEng Sioja di Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Minggu (17/11/2019), dilansir Antara.
Advertisement
Baca Juga
Upacara adat "Appalili" yang sarat dengan kearifan lokal yang mengedepankan gotong royong dan musyawarah mufakat, hingga kini tetap menjadi pedoman bagi masyarakat sebelum turun sawah.
Menurut KaraEng Sioja, prosesi "Appalili" ini sudah dilakukan sejak abad XV oleh Raja Marusu, I Pake Daeng Masiga (Sultan Jamaluddin) dan tetap dilestarikan hingga saat ini.
Appalili merupakan serangkaian upacara adat khas KaraEng Marusu yang intinya adalah turunnya alat-alat kerajaan menuju sawah kerajaan yang bergelar 'Turannua' untuk membajak areal sawah pusaka Kerajaan Marusu.
Benda pusaka yang digunakan pada prosesi Appalili itu adalah "pajjeko" (bajak) milik Raja Marusu yang digunakan secara adat dan dilaksanakan setiap tahun setiap tanggal 17 November.
Hanya saja, lanjut KaraEng Sioja, jika bertepatan dengan bulan suci Ramadhan ataupun hari keagamaan dialihkan ke tanggal lain sesuai kondisi lapangan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Prosesi Upacara Adat
Prosesi upacara adat "Appalili" ini diawali dengan "tudang sipulung" atau silaturrahim dengan duduk bersama para dewan adat, pemangku adat, keluarga besar Kerajaan Marusu, pemerintah dan masyarakat setempat pada Sabtu (16/11) malam.
Sementara pada keesokan harinya, seusai salat Subuh, benda pusaka yakni "Pajjeko" (bajak) diarak ke sawah adat Kerajaan Marusu oleh puluhan keluarga kerajaan yang menggunakan pakaian adat. Selain itu, juga diiringi penabuh gendang dan musik tradisional diantaranya pui-pui dan anak baccing.
Khusus prosesi membajak sawah dengan benda pusaka "pajjeko" yang ditarik dengan dua ekor sapi ini dipimpin oleh seorang pinati atau pelaksana adat.
Dengan selesainya prosesi membajak sawah adat itu, maka masyarakat setempat pun siap turun sawah, meski dengan menggunakan mekanisasi pertanian yang mengikuti perkembangan teknologi pertanian.
Hal itu diakui salah seorang petani Muh Anwar di Kabupaten Maros. Dia mengatakan, meskipun sudah menggunakan alat traktor untuk membajak sawah, namun adat budaya tetap dilestarikan karena memiliki nilai kearifan lokal yang tak lekang oleh zaman.
Advertisement