Liputan6.com, Yogyakarta - Wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia menimbulkan pro dan kontra. Perlu atau tidaknya PLTN di Indonesia memancing sejumlah pakar mendiskusikan hal itu di Yogyakarta.
Guru Besar Fakultas Teknik UI, Rinaldy Dalimy, tidak menampik di dalam Kebijakan Energi Nasional Pasal 11 Ayat 2 dan 3 terdapat pernyataan energi nuklir menjadi pilihan terakhir. Penempatan energi nuklir menjadi pilihan terakhir tentu bukan tanpa alasan.
Empat kebijakan lainnya berbunyi, memaksimumkan pemanfaatan energi terbarukan, meminimumkan penggunaan minyak, mengoptimalkan penggunaan gas bumi, dan batubara sebagai andalan pasokan energi manusia.
Advertisement
“Pertimbangan energi nuklir menjadi pilihan terakhir, pertama, karena pembangunan PLTN di Indonesia berisiko tinggi, sebab negara ini berada di area ring of fire atau cincin api yang dikelilingi gunung api aktif,” ujar Rinaldy dalam seminar nasional ekonomi energi bertajuk Penguatan Ketahanan Energi untuk Mendukung Ketahanan Nasional di UPN “Veteran” Yogyakarta, Kamis (28/11/2019).
Alasan kedua, pembangunan PLTN di Indonesia mahal karena berada di daerah gempa. Selain itu, pembangunannya juga menggunakan teknologi asing dan mengimpor uranium. Hal ini bisa menyebabkan ketergantungan terhadap negara lain.
Baca Juga
Menurut Rinaldy, Batan sudah pernah membuat ginjal buatan dengan teknologi nuklir, akan tetapi teknologi itu belum pernah untuk menyalakan listrik satu watt pun. Indonesia memang punya UU Nuklir, yakni UU Nomor 10 Tahun 1997, tetapi Batan belum memproduksi bahan baku nuklir.
“Dalam proses pembuatan bahan bakar nuklir, uranium yang diperkaya bisa setara dengan bom nuklir,” ucapnya.
Ia mencontohkan, Jepang sebagai negara yang sudah menerapkan PLTN pernah mengalami kecelakaan nuklir. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Bencana Fukushima. Saat itu, Fukushima dikosongkan dalam radius 20 kilometer dan Jepang mematikan 54 PLTN miliknya. Sampai saat ini, hanya dua PLTN di Jepang yang masih beroperasi.
Jerman justru mematikan secara bertahap PLTN di negaranya. Targetnya, tidak ada lagi PLTN di Jerman pada 2022.
Potensi Energi Terbarukan yang Besar
Potensi energi terbarukan di Indonesia luar biasa menjadi alasan ketiga PLTN tidak dibutuhkan.
“Dengan potensi energi fosil dan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia, seharusnya tidak perlu impor dan pasokan 100 persen energi dipasok dari energi terbarukan, sehingga energi nuklir sebagai pilihan terakhir tidak akan pernah menjadi pilihan,” kata Randy.
Ia memaparkan beragam jenis energi terbarukan yang ada di Indonesia dan dunia, seperti, pembangkit listrik tenaga angin yang berada di Sulawesi, pembangkit listrik tenaga arus laut di Korea dan Jepang, pembangkit listrik pasang surut ombak seperti yang diterapkan di Perancis, dan sebagainya.
Mantan Menteri ESDM dan Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menilai dalam 100 tahun mendatang PLTN belum akan terealisasi.
“Pendirian PLTN harus dikaji ulang terutama yang menyangkut faktor keterjangkauan harga (affordability) dan penerimaan jenis energi tertentu (acceptability),” ujarnya.
Menurut Purnomo, langkah ini juga perlu dilakukan di Kalimantan Barat serta Bangka Belitung yang menyatakan bersedia menjadi daerah pertama di Indonesia yang memiliki PLTN.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement