Sukses

Nasib Sungai Musi, Air Kehidupan yang Terkepung Pencemaran Parah

Kebiasaan membuang sampah di sungai berakibat tercemarnya Sungai Musi oleh berbagai bakteri dan zat kimia.

Liputan6.com, Palembang - Bersantai di kursi kayu panjang di depan rumah, menjadi keseharian Tina (66) nyaris tiap sore. Warga Jalan Sungai Tawar 1 Palembang ini, seakan tidak menghiraukan aroma busuk yang meruap dari anak Sungai Musi Palembang, yang membentang di depan rumahnya.

Dia sangat paham dengan bau tidak sedap dari genangan sampah, yang mengapung di Sungai Tawar di depan rumahnya itu. Nenek 17 cucu ini seakan enggan melempar tatapannya ke arah genangan sampah, karena sudah menjadi pemandangan sehari-harinya.

Alasannya cukup sederhana. Tak ada yang berubah dari hari ke hari, meskipun setiap hari para petugas kebersihan mengambil sampah di pangkal sungai. Namun ditumpuk lagi di bawah jembatan Sungai Tawar 1 Palembang

Meskipun nyaman tinggal selama enam tahun di rumah kontrakannya, Tina kerap merasa gelisah. Jika anak cucunya mengalami sakit, akibat tumpukan sampah yang sudah lama menggenang dan mengendap itu.

“Saya sering ribut dengan petugas kebersihan, karena mereka sering meletakkan sampah berbau busuk di depan rumah saya, bukannya mengangkutnya ke mobil sampah. Seperti pampers bayi yang masih ada kotorannya hingga bangkai hewan. Saya takut cucu saya yang masih kecil-kecil ini terserang penyakit, akibat bakteri dari tumpukan sampah yang tidak diangkut ini,” ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (6/12/2019).

Tidak adanya tindak lanjut dari petugas kebersihan untuk mengangkat genangan sampah ini, membuat Tina bersama para warga kebingungan. Meski pun mereka juga turut membuang sampah di aliran anak Sungai Musi ini, namun banyak juga sampah yang terseret dari anak sungai lainnya lalu bermuara ke tempat tinggalnya.

Hampir setiap sore juga, warga dari pasar tradisional terdekat juga, sering membuang sampah dari atas jembatan ke arah sungai. Kondisi diperparah dengan tidak adanya fasilitas bak sampah di sekitar kawasannya.

Meski tahu kondisi air di Sungai Tawar sangat tercemar dengan genangan sampah, namum anak-anak kecil di kawasan tersebut sering bermain air di sungai ini. Bahkan, mereka dengan girang berenang bersama teman sebayanya, ketika air mulai pasang dan hujan deras turun.

“Kalau musim kemarau memang banyak sampahnya dan mengendap. Tapi kalau musim hujan, banyak sampahnya mengalir ke arah Sungai Musi dan airnya tidak keruh lagi. Makanya anak-anak sering berenang di sini,” ucapnya.

Kendati dia dan keluarganya tidak pernah mengalami sakit parah, namun Tina mengakui, cucu-cucunya sering mengidap gatal di sekujur tubuh hingga diare. Penyakit yang diduga berasal dari sentuhan air tercemar itu, diakuinya tidak bisa lagi terelakkan.

Tak hanya ancaman penyakit dan aroma bau busuk yang setiap hari mengganggu aktivitas warga sekitar, tiap malam mereka harus berselimut kelambu. Sebab, serangan nyamuk sangat banyak dan bisa membawa beragam jenis penyakit.

Pemandangan genangan sampah menahun juga terjadi di Lorong Masjid Jami Kecamatan Plaju Palembang. Setiap sore, di ujung deretan rumah panggung ini, anak-anak kecil hingga orang dewasa beraktifitas di pinggir Sungai Musi.

Ada yang berenang, menggosok gigi, mencuci pakaian dan piring hingga mengguyur tubuhnya dengan air sungai. Mereka seakan lupa akan genangan sampah berbau busuk, yang berada tak jauh dari tempat mereka mandi.

Emi (37), salah satu warga sekitar mengatakan, aktifitas mandi di pinggir Sungai Musi menjadi keseharian warga sekitar. Air Sungai Musi sangat berbeda dengan air yang mengalir di bawah rumahnya, yang terkontaminasi dengan genangan sampah.

“Kalau genangan sampah di bawah rumah panggung kami ini, sudah lama dan berbau busuk. Tapi tidak bisa dialiri ke Sungai Musi, karena terhalang enceng gondok di tepian Sungai Musi. Mau diapain lagi, karena sulit untuk mengangkut sampah-sampah ini,” ucapnya.

 

2 dari 4 halaman

Kadar Pencemaran Sungai

Dia menceritakan kecemasannya karena kondisi air keruh di bawah rumah panggungnya, bisa mengancam kesehatannya dan anak-anaknya. Namun hingga saat ini, tidak ada kontribusi dari pihak pemerintah, untuk mengangkut sampah dari bawah rumahnya.

Dua lokasi di Jalan Sungai Tawar 1 dan Jalan Masjid Jami Plaju Palembang tersebut, ternyata masuk dalam sampling Nilai Status Mutu Air Pemantauan Sungai Skala Nasional Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Selatan (Sumsel). Kondisi air sungai di dua lokasi warga tersebut, masuk dalam kategori air sungai yang tercemar berat.

Kepala Seksi (Kasi) Pengendalian Pencemaran Lingkungan BLH Sumsel Rezawahya mengatakan, ada 21 sungai di Sumsel yang menjadi sampel nilai status mutu air yang mereka teliti tahun 2018. Dari puluhan sungai yang diteliti, 13 sungai masuk kategori tercemar berat (kelas 4), lima sungai tercemar sedang (kelas 3) dan tiga sungai tercemar ringan (kelas 2).

Dari 13 sungai tercemar berat, sungai terbanyak yang tercemar berasal dari Kota Palembang Sumsel. Sedangkan tujuh sungai lainnya menyebar di berbagai kabupaten di Sumsel.

Rekap Nilai Status Mutu Air Pemantauan Sungai Skala Nasional Tahun 2018 - Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumsel

Dimana, klasifikasi status mutu air dibagi dalam empat kelas. Yaitu Kelas 1 berstatus baik karena memenuhi Baku Mutu Lingkungan (BML), Kelas 2 berstatus baik atau tercemar ringan, Kelas 3 berstatus sedang atau tercemar sedang dan Kelas 4 berstatus buruk atau tercemar berat.

Untuk di kawasan Palembang sendiri, ada enam sungai yang diteliti dan semuanya masuk dalam kategori tercemar berat. Yaitu Sungai Musi di kawasan Gandus, Sungai Keramasan dan Sungai Ogan Kertapati, Sungai Musi di kawasan Jembatan Ampera, Sungai Komering di Plaju dan Sungai Musi di kawasan Borang Palembang.

“Dua lokasi warga tersebut masuk dalam enam sungai kita teliti dan airnya sudah tercemar berat. Pencemaran didominasi dari Escherichia Coli (E Coli)manusia, yaitu dari pembuangan tinja, air pembuangan, kotoran hewan peliharaan dan lainnya yang berasal dari rumah warga,” ujarnya.

Kadar pencemaran dilihat dari hasil pengambilan sampling air selama musim hujan, musim kemarau, pasang surut dan pasang naik dalam satu tahunnya. Ada 28 parameter yang digunakan untuk menentukan pencemaran air sungai di Sumsel, diantaranya Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Fecal Coli dan Total Coli.

3 dari 4 halaman

Ancaman Berbagai Penyakit

Seperti di Sungai Musi di kawasan Plaju, hasil dan evaluasi parameter Coliform Tinja dari total tahap 1 dan 2 yaitu di angka 600 jlh/100ml, sedangkan baku mutu Coliform Tinja hanya 100jlh/100ml.

Ada juga hasil dan evaluasi parameter Total Coliform, yang berasal dari limbah rumah selain tinja. Dari tahap 1 dan tahap 2 sampling yang ditotalkan, berjumlah 10.150 jlh/100 ml. Sedangkan standar baku mutu Total Coliform hanya di angka 1.000 jlh/100ml.

“Biasanya kualitas air yang sebenarnya terlihat saat musim kemarau, karena tidak tercampur dengan air hujan. Kita mengambil sampel air dari sungai yang luas, kemungkinan total Coliform akan lebih tinggi, jika kami melakukan sampling di anak sungai yang penuh genangan sampah,” ucapnya.

Dari hasil sampling di tahun 2018 ini, dia menyimpulkan bahwa hampir 80 persen air sungai di Kota Palembang sudah tercemar bakteri E Coli yang parah. Ini juga menjadi tugas berat bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Palembang, yang mengambil pasokan air dari aliran Sungai Musi di kawasan Gandus Palembang.

Dari data Dinas Kesehatan (Dinkes) Palembang, jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang berasal dari kawasan kumuh dan tercemar, memang tidak sebanyak penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Diare. Namun, permasalahan tumpukan sampah bisa juga memicu beragam penyakit.

Data Penderita DBD dan Diare di Palembang - Dinkes Palembang Tahun 2019

Kepala Dinkes Palembang Letizia mengatakan, tumpukan sampah bisa menjadi sarang kuman, yang akan disebarkan ke manusia melalui lalat dan kecoa. Apalagi tidak membiasakan hidup sehat dan terkontaminasi dengan air yang tercemar.

Jika warga tinggal di lingkungan penuh sampah dan kumuh, berbagai penyakit bisa menyerang, seperti diare, gatal-gatal, DBD dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

“Kalau DBD ini melonjak saat musim hujan saja, namun jika terkontaminasi dengan air yang tercemar atau tidak mencuci tangan saat makan, bisa terjangkit Diare dan gatal-gatal. Kalau ISPA memang sedang tinggi, tidak hanya saat kabut asap saja, tapi bisa dari banyaknya kuman di udara dari lingkungan sekitar,” ucapnya.

Buruknya pola hidup di lingkungan kumuh juga, berdampak pada penyebaran virus DBD. Terlebih memasuki musim penghujan. DBD paling banyak di bulan Januari dan Febuari, ketika curah hujan tinggi.

Seperti di bulan Januari 2019 sebanyak 152 orang penderita DBD, menurun di bulan Febuari 125 pasien dan terus menurun ke angka 20 pasien di Bulan Agustus dan hanya ada peningkatan sedikit di bulan September-Oktober 2019.

Berbeda halnya dengan Diare yang dari awal Januari 2019 hanya 3.003 pasien, meningkat di bulan Mei sebanyak 3.278 pasien dan terus melonjak hingga bulan Agustus 2019 sebanyak 4.053 pasien. Di bulan September-Oktober 2019 hanya mengalami sedikit penurunan.

4 dari 4 halaman

Buruknya Kualitas Air

Daerah yang banyak menampung air dan tidak dibersihkan, bisa memicu bintik nyamuk DBD. Nyamuk DBD biasanya berkembang biak di air yang tergenang. Seperti tempat penampungan atau sampah yang tidak dibuang, seperti ban bekas atau plastik-plastik.

“Dinkes Palembang terus mengantisipasi penyebaran bintik-bintik nyamuk DBD. Salah satunya dengan menyosialisasikan program 3M. Yaitu Menguras bak mandi secara, Menutup tempat penampungan air dan Menyingkirkan barang bekas,” katanya.

Persoalan sampah yang mencemari Sungai Musi, juga diamini oleh Ketua Komisi Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII Kamlan Jamseri.

Pencemaran Sungai Musi paling besar berasal dari kebiasaan manusia membuang sampah ke sungai. Karena masyarakat Indonesia menganggap, tempat pembuangan sampah terpanjang dan terbesar adalah sungai. Bahkan, Indonesia masuk urutan ke-2 sebagai negara pembuang sampah plastik terbanyak di dunia.

Terutama masyarakat yang tinggal dan hidup di pinggiran Sungai Musi, menjadi penyumbang besar pencemaran air sungai. Mereka juga langsung bersentuhan dengan air sungai yang banyak terkontaminasi E Coli.

“Padahal, di negara maju, seluruh kotoran manusia dan air buangan rumah tangga diolah di IPAL Komunal. Sehingga, air hasil prosesnya yang sudah bersih dari kuman, kembali ke sungai dan tidak mencemari lingkungan,” ucapnya.

Salah satu aspek pencemaran air di Sungai Musi adalah, banyaknya biota laut yang langka ditemukan. Lalu, tidak ada kupu-kupu dan capung yang beterbangan di pinggiran Sungai Musi untuk meletakkan telurnya, karena airnya sudah tercemar.