Liputan6.com, Aceh - Sang narator mungkin hendak berkata; di sini tidak terdengar desing peluru, kecuali siponggang suara masa lalu dari hikayat, pigura, dan mural. Semuanya merupakan kisah liyan dari balik palagan.
Hari itu, Senin (9/12/2019), di kantor KontraS Aceh, sedang berlangsung acara menujuh hari atau Khauri Nujöh dalam Bahasa Aceh. Kepada para pelawat, dihidangkan jamuan a la carte, olahan tangan kolaborator yang terdiri dari sejumlah seniman dan seorang jurnalis kawakan.
Di samping spanduk besar itu ada Fuadi S Kelayu, sedang berhikayat dengan sayatan biolanya yang menyembilu, di dalam sebentuk kerangkeng berbentuk kerucut dari anyaman bambu. Hikayat 'Peng Griek Lam Peureudee Trieng' yang dibawakannya merujuk bagaimana Aceh pascadamai dengan dana otonomi khususnya yang melimpah ruah, namun, hanya jadi lahan garapan para penggawa, sementara, rakyat jauh dari kata 'sejahtera.'
Advertisement
"Ibarat Aceh nanggroe teuleubeh, yang sabee saheh bak abah gata. Nyo keuh contoh lagee lon peudaleh, bereh han bereh lagee baro sa (Aceh itu negeri yang kaya raya, itu yang selalu terucap di mulut Anda, Inilah contoh permisalannya, tidak pernah berubah, masih sama seperti kemarin —di saat Aceh masih terhembalang dalam konflik)."
Di atas paving block berjejer sejumlah pigura berisi foto-foto masa konflik. Hotli Simanjuntak memotret para serdadu yang pongah, mobil lapis baja yang bersisian dengan dua perempuan berkerudung, orang-orang berwajah pasrah seperti dalam lukisan Burlaki na Volge, para kombatan yang menenteng Kalashnikova, ibu yang lara bersama anaknya, dan banyak momen lain.
Sementara, sebuah tiruan sepatu lars yang seolah-olah menyembul dari balik tirai paranet jadi salah satu yang paling menarik perhatian di tempat itu. Sepatu raksasa tersebut berbentuk rerangka besi dan bambu, dengan tinggi 1 meter lebih serta sol penuh pecahan beling.
Di Aceh, sepatu lars identik dengan opresi, merupakan simbol kekerasan militer. Derap langkah para serdadu di malam hari yang membawa serta maut atau tendangan membabi buta yang tak beralasan, merupakan dua hal yang tak pernah lepas dari ingatan.
"Karena dulunya, orang Aceh, atau semuanya kita, merasa ketakutan pada saat mendengar suara lars-lars sepatu itu berada di sekitar kita," kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra 'Lawhan' Saputra, dalam sekapur sirihnya, Senin pagi.
Selain terdapat pigura, dan kursi listrik, di ruang ekshibisi terdapat pula mural 'Jembatan Arakundo' —Tragedi Arakundo salah satu dari tragedi pelanggaran HAM berat di Aceh, selain Tragedi Jambo Keupok, Simpang KKA, Rumoh Geudong, dan Bumi Flora. Suasana pun kian liris berkat lantunan suara latar serta karung goni yang bergelantungan, cerminan kedigdayaan militer yang manasuka, menculik dan menyiksa orang-orang.
Sedangkan di tingkat dua, terduduk sejumlah foto 'orang hilang' selama operasi militer di Aceh. Salah satunya Dharma Putra, hilang sejak 24 Februari 2000 —pada tahun tersebut berlaku Operasi Sadar Rencong II (Februari - Mei 2000); Operasi Cinta Meunasah I (Juni - September 2000); dan Operasi Cinta Meunasah II (September 2000 - Februari 2001).
Simak juga video pilihan berikut ini:
Korban DOM
"565 tewas selama Darurat Militer. Lantas tak ada yang bertangggun jawab, dan, para penggagasnya menjadi calon presiden." Kalimat itu tertulis dalam brosur pada salah satu pigura.
Angka tersebut masih berupa subtotal dari keseluruhan korban konflik di Aceh. Penelusuran Liputan6.com dari berbagai sumber, jumlah korban yang terbunuh selama penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh diperkirakan 3.800 - 5.000 orang, yang lain menyebutkan, selama kurun waktu 10 tahun, jumlah korban diperkirakan 7.000 orang.
Sementara, sebuah lembaga nonpemerintah yang bermarkas di Inggris, menyebutkan bahwa 3.000 orang terbunuh, 3.862 orang dilaporkan hilang, 4.663 orang mengalami penganiayaan, 186 wanita diperkosa, 16 ribu anak kehilangan orang tua, dan 90 ribu lainnya menjadi pelarian serta tidak memiliki tempat tinggal.
KontraS Aceh didukung Apotek Wareuna, Komunitas Kanot Bu, YLBHI-LBH Banda Aceh, dan AJAR, mengadakan selamatan tujuh harian sebagai bentuk perkabungan dan dukungan terhadap pemenuhan hak-hak para korban. Termasuk mewarnai peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang digelar setiap 10 Desember.
Advertisement
Aceh Pascadamai
Khauri Nujöh hari sejatinya bukan sekadar untuk merawat ingatan serta mendorong pemenuhan hak-hak para korban via gerakan kebudayaan belaka. Tidak dipungkiri, acara ini merupakan alternatif liyan saat institusi formal luput dalam mengingatkan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu.
Lebih sarat dari itu, menilik gelagat yang dicurah lewat hikayat 'Peng Griek Lam Peureudee Trieng' juga instalasi bambu bertema mujarad karya Idrus bin Harun, agaknya terdapat pesan yang jauh lebih dalam dari itu. Idrus bekeras tidak melepas merpati putih yang terkurung dalam anyaman bambu berkaki lars dengan ujung sebuah kentungan.
Perdamaian Aceh yang ditandai dengan nota kesepahaman antarpihak pada Agustus 2005 mestinya dapat disimbolkan dengan ritual melepas merpati. Namun, lelaki yang tergabung dalam komunitas seni Kanot Bu menilai rekonsiliasi di Aceh berlaku dengan tidak altruistis, jika tidak disebut nonsens karena toh, kesejahteraan pascadamai, baginya, hanya bisa dinikmati pihak tertentu saja.
"Perdamaian itu sudah jadi misi sendiri-sendiri, bukan makna kolektif," kata Idrus.