Sukses

Ziarah ke Makam Jeihan, Sapardi: Dia Sahabat Sampai Kiamat

Penyair "Hujan Bulan Juni" itu untuk pertama kalinya "bertemu" dengan Jeihan Sukmantoro, sahabatnya yang meninggal pada Jumat (29/11/2019) lalu.

Liputan6.com, Bandung - Kehilangan seseorang yang sangat dicintai adalah salah satu perasaan paling menyedihkan, yang juga dirasakan Sapardi Djoko Damono. Penyair "Hujan Bulan Juni" itu untuk pertama kalinya "bertemu" dengan Jeihan Sukmantoro, sahabatnya yang meninggal pada Jumat (29/11/2019) lalu.

Selasa (10/12/2019) siang itu, Liputan6.com sengaja bertandang ke Studio Jeihan di kawasan Padasuka, Kota Bandung. Kedatangan tim untuk menunggu Sapardi yang dikabarkan akan datang ke studio milik mendiang Jeihan itu.

Waktu menunjukkan pukul 12.00. Pria yang dinantikan akhirnya datang. Mengenakan jaket jins biru dan topi cokelat, Sapardi turun dari mobil. Dia menggunakan tongkat untuk mendukung derap langkahnya memasuki studio.

"Saya sering ke sini dulu. Bahkan sebelum gedungnya setinggi sekarang ini," ucap Sapardi.

Duduk di kursi rumah, Sapardi memandangi sekeliling ruangan. Sejurus kemudian dia bercerita tentang pertemuan terakhirnya dengan Jeihan dalam acara pameran di Museum MACAN, Mei 2019. Di pameran itu, Sapardi bertemu dengan para sahabatnya yang lain, seperti Remy Sylado dan Bambang Bujono.

"Saya, Jeihan, Remy, dan Bambang banyak ngobrol. Setelah itu kita tidak bertemu lagi," ujarnya.

Sapardi memutuskan berkunjung ke Studio Jeihan sekaligus berziarah ke makam sobat karibnya siang itu. Ia berhalangan ketika Jeihan dimakamkan karena kondisi kesehatan.

"Kami punya hobi yang sama, keluar masuk rumah sakit. Jadi waktu hari pemakaman itu saya tak bisa ke sini. Kalau naik mobil susah banget, bisa sampai 7 jam dari Jakarta," ujar penyair 79 tahun itu.

Jeihan Sukmantoro mengembuskan nafas terakhirnya pada usia 81 tahu. Pelukis yang dikenal kerap melukis potret manusia bermata hitam itu meninggal setelah mengidap penyakit komplikasi yang menggerogoti tubuhnya.

2 dari 4 halaman

Janji Tak Menangis

Saking dalamnya rasa persahabatan itu, Sapardi menuliskan obituari di majalah Tempo terbitan 9-15 Desember 2019. Obituari kepada Jeihan diberi judul, 'Sahabat Sampai Kiamat'.

"Han (panggilan akrab Jeihan), sosok luar biasa. Saya tulis di situ (majalah Tempo). Saya itu bersahabat sama dia itu kaya bagaimana ya rasanya memang saya mau nangis. Saya nulis itu menangis loh, tapi saya takut menangis di sini. Susah menjelaskannya. Kami seperti biasa tapi kalau bertemu ya ngobrol apa saja," ujarnya.

Pak Sapardi bangkit dari kursi di sebelah kursi panjang yang tim Liputan6.com duduki. Dia bersama keluarga dan kerabat beranjak keluar rumah. Rombongan melangkah ke lokasi makam Jeihan yang berada di belakang studio.

Lokasi makam Jeihan tidak terlalu jauh dari tempat mengobrol. Tepat di hadapan kami sebuah pendopo. Di lokasi itulah makam Jeihan berada.

Ketika berkunjung ke tempat peristirahatan kawannya sejak SMA itu, Sapardi tampak terdiam. Dia berdiri tepat di depan makam. Seakan ada perbincangan dalam batin diri sang penyair di depan makam sahabatnya itu. Kemudian tangannya menyentuh tanah kubur.

Kunjungan selama hampir setengah jam itu tidak ada derai air mata. Yang ada hanya suasana hening diiringi "orkestra" khas tonggeret.

Sebelum meninggalkan makam, Sapardi sempat mengabadikan rumah peristirahatan Jeihan menggunakan ponselnya. Rombongan pun kembali ke rumah yang masih berada di kompleks studio.

Setelah bertandang ke pemakaman Jeihan, Sapardi mengaku lega. Baginya, Jeihan adalah sahabat luar biasa yang ada di masa sulit dan senang.

3 dari 4 halaman

Sahabat Sejak Usia Belasan

Persahabatan Jeihan dengan Sapardi terjalin sejak usia keduanya masih belasan tahun. Pada waktu masih muda, keduanya berikrar janji yang terus dipegang hingga usia senja.

Jeihan bersekolah di SMA Margoyudan Solo (1956-1959). Keduanya bertemu pada 1957, ketika Jeihan menjadi redaktur majalah dinding sekolah.

Sambil memimpin majalah dinding di almamaternya tersebut, Jeihan mengajar melukis kepada teman-temannya. Selain sesekali ikut belajar melukis, Sapardi termasuk orang yang paling sering menulis puisi untuk majalah dinding di sekolah tersebut.

Hampir tiap pulang sekolah keduanya suka ke pemakaman Belanda. Keduanya bahkan kerap keluyuran sampai larut malam. Selain baca-baca buku, Jeihan dan Sapardi terus membangun mimpi.

"Aku senang pas dia bilang mau pelukis. Nanti jadi orang kaya toh. Kalau aku jadi penyair saja. Tapi nanti terbitkan kumpulan puisiku ya," kata Sapardi mengenang obrolan dengan Jeihan.

Lalu keduanya terpisah karena punya ketekunan bidang yang berbeda. Jeihan melanjutkan kuliah jurusan seni rupa ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan Sapardi memilih berkuliah di jurusan sastra Universitas Gajah Mada (UGM).

"Kalau libur kuliah, kami masih ketemu di Solo. Antara Juni-Juli pasti ketemu dan keluyuran malam lagi," ujar Sapardi.

Keduanya kemudian tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Namun Jeihan membuktikan ucapannya kepada sahabatnya itu. Jeihan yang sudah berhasil menjual lukisannya, membidani penerbitan buku pertama Sapardi berjudul DukaMu Abadi.

"Setelah jadi orang, dia orang yang menerbitkan buku pertama saya DukaMu Abadi. Bukunya masih dibuat manual, bukan pakai mesin offset seperti sekarang," ujar Sapardi.

Buku itu bahkan sangat berkesan bagi Sapardi. Karena pada waktu menjadi pembicara di Taman Ismail Marzuki pada akhir 1969, Sapardi sempat tak mau mengisi ceramah jika buku yang dijanjikan Jeihan tidak diterbitkan.

"Saya waktu itu masih di Semarang kemudian diminta jadi pembicara di TIM. Saya bilang tidak mau ceramah kalau buku belum terbit. Karena Jeihan janji mau menerbitkan dan saya tunggu terus. Begitu saya mau ceramah dia bawa buku itu," kenang Sapardi.

Cerita lucu dari persahabatan keduanya adalah saat Jeihan membuat patung Sapardi dalam keadaan telanjang. Patung lelaki telanjang itu ditutupi dengan kain pada bagian bawahnya dan masih tersimpan di Studio Jeihan sampai saat ini.

4 dari 4 halaman

Menunggu di Sana

Satu hal yang paling dikenang Sapardi adalah foto bersamanya dengan Jeihan. Foto hitam-putih itu diambil selepas SMA. Foto tersebut bahkan selalu terpampang di Studio Jeihan.

Sedangkan di akun instagramnya, Sapardi sempat mengunggah foto tersebut.

"Ini foto kami tahun 1959, saya sudah menjadi mahasiswa di UGM, Jeihan akan menyusul ke ITB. Kami berjanji menjadi Sahabat Sampai Kiamat, dan dialah yang menerbitkan buku pertama saya “duka-Mu abadi” 1969. Saya tidak boleh cengeng bersedih, dia menunggu saya di Sana. Moga-moha jalannya dilapangkan-Nya. Amin," tulis Sapardi memberikan keterangan dalam foto tersebut.

Hingga saat ini Sapardi masih mengenang sosok Jeihan, laki-laki tinggi dan ramping yang masa mudanya disenangi cewek-cewek dan bersahabat dengan cowok-cowok pengagumnya. Dan seperti kata Sapardi, Jeihan sudah menunggunya di Sana.

Simak video pilihan di bawah ini: