Liputan6.com, Blora - Sebuah manuskrip kuno berbahan lontar masih tersimpan apik di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. naskah kuno itu merupakan peninggalan bersejarah abad ke-16 dari putera Sultan Pajang Hadi Widjaja (Jaka Tingkir) yang bernama Raden Djati Koesoema. Jumlahnya ada 53 lembar, dengan ukuran 19x3,5 cm.
Raden Nganten (R.Ngt) Widyasintha Himayanti menyampaikan, manuskrip tersebut adalah lontar peninggalan yang diwariskan kepada Bupati Blora tempo dulu.
Dia mengatakan, saat ini manuskrip kuno tersebut dimiliki oleh keluarga Raden Tedjonoto Koesoemaningrat yang diwariskan turun-temurun dan disimpan oleh keturunannya.
Advertisement
"Huruf yang tertulis dalam lontar peninggalan abad ke 16 ini aksara jawa kawi (jawa kuno). Belum bisa diartikan," kata Widyasintha kepada Liputan6.com, Kamis (12/12/2019).
Sebagai salah satu keturunan dari Bupati Blora tempo dulu, dia menceritakan, pihak keluarga seringkali didatangi beberapa orang yang ingin mencoba menerjemahkan manuskrip tersebut. Namun, kata dia, hingga kini belum ada yang bisa.
"Dulu sih banyak yang mencoba mengartikan lontar ini Mas. Ngomongnya sih bisa, tapi setelah tau lontarnya ya nggak bisa," kata sejarawan muda itu.
Sebagai salah satu alumni Universitas Negeri Solo, Widyasintha pun mengaku tidak bisa mengartikan aksara jawa kawi di naskah lontar yang dimiliki keluarganya.
Dari beberapa peninggalan pangeran Djati Koesoema, lanjut dia, hanya lontar ini yang diberikan kepada Raden Tedjonoto.
"Sesuai kondisi dan kemampuan leluhur pada masa itu menulis, menunjukkan Pangeran Djati Koesoema di abad itu mewariskan bentuk naskah manuskrip agar bisa diketahui sejarahnya," terangnya.
"Belum adanya kertas, zaman dulu menulisnya memakai lontar," kata Widyasintha menambahkan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Jaka Tingkir
Cerita tutur yang berkembang hingga saat ini, ratusan tahun silam pernah ada pangeran bersaudara yang sedang mengembara di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Kedua pangeran itu adalah putera dari Sultan Pajang Hadi Widjaja (Jaka Tingkir) yang bernama Raden Djati Koesoema dan Raden Djati Swara.
Di kisahkan, mereka mengembara untuk mencari pusaka Pajang yang hilang kemudian meninggal dan di makamkan di Blora. Makam mereka terkenal akan sebutan 'Punden Janjang' yang terletak di Desa Janjang, Kecamatan Jiken.
Untuk menuju lokasi makam tersebut cukup mudah, bisa dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Banyak masyarakat Blora yang mengetahui lokasi lokasi keberadaan makam.
Di ketahui, setiap tahunnya di makam tersebut diadakan upacara sedekah bumi yang dilaksanakan setiap habis panen, tepatnya pada hari Jumat Pon (hari jawa).
Di samping itu, di makam tersebut juga sering digunakan sebagai tempat ngalab berkah (mencari barokah). Ritual itu dilaksanakan dengan acara mementaskan pertunjukan 3 wayang Kroetjil (Krucil) peninggalan Raden Djati Koesoema.
Makam Raden Djati Koesoema dan Raden Djati Swara sering digunakan sebagai sarana melakukan peradilan tradisional yang dikenal dengan istilah 'Sumpah Janjang'. Acara tersebut biasanya dilakukan dalam rangka mencari kebenaran yang sudah tidak bisa dilakukan dengan jalan lain.
Dengan dilakukannya 'Sumpah Janjang' dalam waktu yang tidak terlalu lama, konon dipercaya kebenaran pasti akan segera terungkap, paling lama dalam jangka waktu tiga bulan. Hal ini sebagaimana pepatah jawa yang berbunyi "becik ketitik, ala ketara" (yang baik akan diketahui, yang jelek pun akan kelihatan).
Advertisement