Liputan6.com, Aceh - Sri Hariyati dan Maulina Imelda duduk selonjoran di kursi kayu pernisan berwarna natural, di samping sebuah lemari berisi buku-buku. Ia mengenakan daster hijau lemon bermotif floral dibalut jilbab sebahu berwarna kuning menyala, kontras dengan warna biru navy dari baju yang dikenakan putri sulungnya.
Keduanya baru saja pulang dari acara temu perempuan penjaga sumber daya alam di Kota Banda Aceh. Ia beranjangsana sesaat ke kantor YLBHI-LBH Banda Aceh sebelum kembali ke Aceh Tamiang.
Sementara itu, seorang lelaki berambut gondrong berdiri selangkah dari ibu dan anak itu, menyandarkan punggungnya di panel lemari dengan tangan mengepit sebatang rokok putih sambil mendengarkan cerita dari Yati. Begitu juga dengan tiga lelaki dan seorang perempuan yang ada di ruangan itu.
Advertisement
Topikalisasi yang dibahas pada malam itu berkutat seputar tempat tinggal Yati yang tengah dirongrong sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Hal ini pula yang membawanya ke Banda Aceh, menjadi pembicara dalam acara yang diselenggarakan sebuah organisasi nonpemerintah.
Yati tinggal di Desa Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang. Desa berisi 68 Kepala Keluarga (KK) ini merupakan kawasan permukiman penduduk seperti termuat dalam lampiran Permendagri No. 56 Tahun 2015 dan SK Gubernur Aceh, No. 140/911/2013 serta terdaftar dengan kode 11.16.02.04.2013, dan memiliki luas wilayah administrasi 10.07 hektare.
Desa Perkebunan Sungai Iyu berdiri sejak 1953. Awalnya desa ini merupakan perkebunan kolonial lantas menjadi kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT Parasawita pada 1973, diperpanjang pada 1990, sebelum beralih menjadi HGU PT Rapala pada 2012.
"Kala itu, kan, dikembalikan dengan menggarap, masyarakat yang zaman-zaman dulunya bekerja dengan Belanda, itu enggak pernah diungkit, enggak pernah diusir," tutur Yati, kepada Liputan6.com, Senin malam (16/12/2019).
Sebelum dikuasai PT Rapala, warga masih leluasa bercocok tanam, mengelola sumber daya alam untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Jenis sayuran yang ditanam seperti jagung, labu, serta bermacam jenis palawija lain.
Pada saat itu, kelompok perempuan Desa Perkebunan Sungai Iyu memiliki peran dan kedudukan penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Belakangan, hal tersebut tidak bisa lagi dilakukan semenjak HGU PT Parasawita bersulih ke PT Rapala.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Yati dan Clara Zetkin
Perempuan-perempuan di Desa Perkebunan Sungai Iyu telah kehilangan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam serta kedaulatan atas sumber-sumber pangan termasuk pengelolaan mata rantai pangan. Sejak saat itu pula, perusahaan mulai merisak warga dengan beragam cara serta muslihat agar warga angkat kaki.
"Kami sebagai masyarakat perlu lahan untuk tempat tinggal, untuk bercocok tanam, untuk makan, tempat kandang ternak yang sekarang tidak bisa dilepasliarkan seperti dulu, tapi, itu, enggak kami dapatkan," keluhnya.
Kondisi ini pada akhirnya juga membatasi akses pendapatan warga. Yati dan suaminya, Abdullah, harus bekerja pontang-panting untuk membiayai sekolah anak mereka sebab sumber daya yang selama ini dimanfaatkan telah hilang.
Cerita Yati beranjak ke sebuah sekolah dasar (SD) yang pernah ada di desanya. SD Yayasan Harapan Gani Mutiari itu kini bersulih jadi kantor perusahaan usai sebuah peristiwa kebakaran misterius pada Agustus 2017.
SD tersebut semula berupa sekolah sederhana berdinding kayu beralaskan tanah yang dibangun secara gugur gunung atas inisiasi sesama. Sekitar 1970, PT Parasawita, di bawah Gani Mutiara sebagai pemegang mandat pengelolaan lahan, merehab bangunan sekolah tersebut menjadi sekolah permanen.
Hingga medio 2016, anak-anak di Desa Perkebunan Sungai Iyu masih bersekolah di SD tersebut sebelum beberapa pria berbadan kekar datang dan meminta agar sekolah segera dikosongkan. Pria-pria yang mengaku suruhan dari perusahaan mengklaim bahwa sekolah tersebut berada di dalam areal HGU PT Rapala.
Saat itu, murid-murid diangkut ke atas truk, dipindahkan ke SD Marlempang, Kecamatan Bendahara. Hingga saat ini anak-anak di Desa Perkebunan Sungai Iyu bersekolah di desa tersebut.
Menurut Yati, kebanyakan ibu-ibu di Desa Perkebunan Sungai Iyu harus mengantarkan anak-anaknya ke sekolah di desa tetangga dengan jarak sekitar 1 kilometer. Hal ini sedikit banyak mengganggu jika tidak disebut menambah beban aktivitas para ibu di pagi hari.
Seperti diketahui, kiprah perempuan di dalam masyarakat patriarki berkutat seputar lokus domestik. Para ibu di Desa Perkebunan Sungai Iyu kini harus berpacu dengan waktu antara mencuci, memasak, dan mempersiapkan keperluan suami, di samping mengantar anak agar tidak kasip ke sekolah —keadaannya tentu berbeda ketika SD Yayasan Harapan Gani Mutiari masih ada.
Konflik penguasaan lahan antara warga Desa Perkebunan Sungai Iyu versus PT Rapala juga berimbas ditetapkannya 22 orang warga sebagai tersangka. Atas laporan perusahaan dengan tuduhan menguasai lahan dan aset dalam HGU, 22 orang tersebut dipersangkakan dengan pasal 5 juncto pasal 6 Perpu No. 51 Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Ijin atau yang Berhak.
Di satu sisi, Yati tak ubah Clara Zetkin, perempuan yang menjadi salah satu tokoh utama sayap revolusioner partai di Jerman. Ibu kelahiran 1971 itu berada di garda terdepan, terutama dalam memberi pencerahan kepada kaum ibu di desanya, agar bertahan dan mempertahankan, satu-satunya tanah tempat tinggal mereka.
"Dulu ibu-ibunya berpikir, begitu ada perusahaan, artinya ada kehidupan. Padahal, kalau bekerja sama perusahaan, itu sifatnya sementara, kalau masih kuat masih sehat, dipakai sama perusahaan, tapi, kalau tanah itu seumur hidup dan bisa untuk anak cucu," ujar Yati.
Konflik agraria antara Desa Perkebunan Sungai Iyu dengan PT Rapala sejatinya bisa ditilik lewat beberapa instrumen hukum. Antara lain, pasal 28H UUD 1945, pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia, pasal 11 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya, dan instrumen lain yang terkait.
Advertisement