Sukses

Kaleidoskop 2019: Tahun Bencana Kabut Asap dan Konflik Satwa Liar di Riau

Tahun 2019 bisa dibilang sebagai tahun bencana dan konflik satwa liar dengan manusia di Riau. Bencana kabut asap terjadi lagi dan sejumlah harimau sumatra mati serta warga tewas diterkam.

Liputan6.com, Pekanbaru - Tahun 2019 segera berakhir. Tahun 2020 sudah di depan mata dan tinggal menghitung hari. Ratusan peristiwa silih berganti terjadi di Provinsi Riau, baik itu kriminal, hukum, dugaan terorisme, bencana alam hingga konflik manusia dengan satwa dilindungi seperti harimau sumatra dan gajah.

Dari beragam kejadian ini, yang paling banyak menyedot perhatian adalah kerusakan alam akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta konflik manusia dengan satwa yang menelan korban jiwa, baik itu dari satwa ataupun manusia.

Karhutla kerap terjadi di Riau karena pembukaan hutan untuk dikonversi jadi perkebunan atau hutan tanaman industri. Ada juga pembukaan lahan oleh beberapa warga dengan cara mudah dan murah, membakar.

Luasan lahan ataupun hutan terbakar tiap tahunnya selalu berbeda. Tak jarang menimbulkan bencana kabut asap seperti tahun 1997, 1999, berlanjut pada tahun 2014 dan 2015. Sempat rehat, bencana yang menimbulkan kerugian ekologis, ekosistem dan ekonomi ini terjadi lagi tahun 2019.

Di sisi lain, tahun 2019 juga bisa disebut sebagai tahunnya konflik manusia dengan harimau dan gajah. Tiga warga tewas diterkam harimau karena habitatnya dijadikan tempat mencari pundi-pundi uang.

Balasan dari manusia serakah juga terjadi pada harimau. Setidaknya ada tiga ekor harimau sumatra yang mati karena dijerat manusia. Satu di antaranya sempat diselamatkan meskipun akhirnya meregang nyawa karena bekas jerat di kaki.

Keganasan segelintir manusia karena merasa sebagai satu-satunya mahluk yang punya hak hidup di bumi juga menimpa gajah. Ada dua gajah mati, satunya ditemukan mengenaskan karena kepalanya hancur dan gadingnga hilang.

Tak sampai di situ, makin berkurangnya habitat akibat pembukaan hutan untuk berkebun juga membuat harimau sumatra dan gajah keluar dari sarangnya. Beda dengan gajah yang tak bisa menyembunyikan badannya, harimau sumatra jarang terlihat tapi hanya meninggalkan jejak.

Berikut enam peristiwa heboh dalam kaleidoskop 2019 dari Provinsi Riau:

2 dari 7 halaman

1. Karhutla dan Bencana Kabut Asap

Sejak awal tahun 2016 hingga 2018, Riau sebagai langganan karhutla bisa terbebas dari bencana asap. Kebakaran tetap ada tapi tidak sampai mengubah kualitas udara jadi berbahaya.

Memasuki awal tahun 2019, kebakaran secara masif terjadi di daerah pesisir Riau, seperti Kepulauan Meranti, Pulau Rupat, Bengkalis, dan Rokan Hilir. Kala itu kabut asap tipis mulai menyelimuti Kota Dumai karena jaraknya dekat dengan daerah tersebut.

Menjelang puasa hingga Lebaran Idul Fitri, turunnya hujan membantu pemadaman di lokasi kebakaran. Kekhawatiran terjadinya bencana asap mulai reda.

Namun, Pemerintah Provinsi Riau diduga lengah menghadapi kemarau panjang pada awal Juli meskipun sudah berulang kali diingatkan BMKG dan BNPB.

Apa yang ditakutkan terjadi. Pertengahan Juli, kabut asap hasil karhutla di Pelalawan dan Siak serta daerah pesisir lainnya mulai masuk ke Pekanbaru. Jarak pandang mulai terbatas dan masyarakat mulai meggunakan masker.

Pemerintah Riau menyikapi ini dengan membuat pernyataan yang membuat masyarakat, khususnya warganet berang. Gubernur Riau Syamsuar menyatakan kabut asap belum mengkhawatirkan dan masih bisa ditanggulangi dengan cepat.

Beberapa hari setelah ucapan gubernur itu, kabut asap makin pekat. Jarak pandang yang awalnya dari lima kilometer terus menurun hingga mencapai 200 meter pada pagi hari.

Satu persatu sekolah mulai diliburkan. Awalnya hanya satu hari dan kemudian berlangsung hampir sebulan. Perguruan tinggi juga meliburkan mahasiswa karena kualitas udara berdasarkan alat ISPU sudah berada di level berbahaya.

Puluhan ribu orang terjangkit inpeksi saluran pernapasan akut. Beberapa di antaranya bahkan pingsan dan sesak nafas ketika beraktivitas di sekolah.

Satu persatu organisasi dan partai politik mendirikan posko kesehatan. Begitu juga dengan pemerintah, meskipun agak telat, menjadi Puskesmas dan rumah sakit daerah serta swasta sebagai posko kesehatan.

Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru akhirnya terimbas. Setiap hari, ada saja kedatangan ataupun keberangkatan pesawat ditunda dari waktu semula karena kabut asap yang menghalangi pandangan pilot.

Beberapa maskapai akhirnya memutuskan meniadakan penerbangan selama kabut asap masih pekat. Maskapai lain masih beroperasi meskipun akhirnya terganggu karena cuaca dan kabut asap tak bersahabat.

Keadaan ini membuat Presiden Joko Widodo akhirnya ke Riau selama dua hari. Dalam rapat terbatas di Novotel, Jalan Riau, sejumlah pejabat kena semprot karena sudah berulang kali diingatkan agar tidak lengah.

Usai kunjungan Jokowi ini, sejumlah pejabat dari berbagai institusi berlomba-lomba menyatakan keadaan Riau sudah aman dan langitnya sudah biru.

Kala itu, tagar langitbiru berbondong-bondong dibuat warganet sebagai sindiran atas ucapan pejabat yang menyebut karhutla dan kabut asap di Riau sudah tuntas. Mereka marah karena keadaan sebenarnya tidak demikian.

Kondisi kabut asap di Riau ini juga membuat Kapolda Riau kala itu, Irjen Widodo Eko Prihastopo dicopot. Dia dinilai gagal mengantisipasi karhutla meskipun sejumlah perwira di Polda Riau membantah hal tersebut.

Penderitaan masyarakat Riau karena kabut asap ini berakhir menjelang akhir September 2019. Musim hujan datang dan membasahi semua areal kebakaran sehingga membantu kerja petugas. Kabut asap hilang.

Tahun depan, BMKG kembali memprediksi Riau diterpa kemarau lebih panjang dari tahun ini. Musim kemarau kering disebut berlangsung tujuh bulan. Akankan Pemerintah Provinsi Riau di bawah kepemimpinan Syamsuar dan instutisi lainnya kembali lengah?

3 dari 7 halaman

2. Tiga Warga Mati Diterkam Harimau

Memasuki akhir 2017, sejumlah harimau, baik itu di Indragiri Hilir, Indragiri Hulu Pelalawan, Kampar hingga Bengkalis, mulai rajin menampakkan belangnya kepada manusia.

Kita tentu tidak pernah lupa dengan teror Bonita di Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir hingga berujung kematian dua warga.

Ditangkapnya Bonita ternyata tak membuat teror harimau di desa itu berakhir. Harimau lain kian mengganas karena sejumlah wilayah operasi perusahaan hutan tanaman industri ada di "rumahnya".

Tiga orang tewas diterkam ketika bekerja ataupun lagi mandi. Penyerangan terjadi ketika korban terpisah dari pekerja lainnya.

Korban pertama adalah M Amri pada 23 Mei 2019. Dia diserang hingga tewas oleh satwa belang itu di Kanal Sekunder 41 PT Ria di Desa Tanjung Simpang.

Teror masih berlanjut pada Agustus 2019. Seorang warga asal Sumatera Selatan bernama Darwaman alias Nang (36) tewas akibat diterkam harimau sumatera liar di konsesi PT Bhara Induk, kabupaten yang sama.

Berikutnya pada 24 Oktober 2019. Seorang pekerja bernama Wahyu Kurniadi asal Provinsi Aceh, tewas dalam kondisi mengenaskan setelah diterkam harimau. Kaki dan tangannya tinggal tulang karena keganasan satwa belang ini.

Korban terakhir ini diserang di konsesi PT Ria Indo Agropalma.

Kejadian tersebut membuat BBKSDA Riau turun ke lokasi. Tidak seperti kasus Bonita, petugas tidak bisa memutuskan menangkap harimau penerkam tiga warga itu karena lokasinya berada di habitat, bukan pemukiman.

Hingga kini, BBKSDA Riau masih dihadapkan dua pilihan. Apakah mengevakuasi harimau atau menghentikan aktivitas perusahaan di sekitar habitatnya.

4 dari 7 halaman

3. Harimau Mati Diburu

Selain manusia, harimau sumatra tak luput jadi korban. Jika biasanya harimau menyerang karena merasa terusik dan kekurangan mangsa, perburuan datuk belang ini terjadi karena kulitnya bernilai jual tinggi.

Harimau bernama Inung Rio menjadi korban perburuan di kawasan restorasi ekosistem Pelalawan pada akhir Februari 2019. Satwa jantan ini awalnya bisa diselamatkan dan dievakuasi ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatra Dhramasraya, Sumatra Barat.

Beberapa pekan di sana, Inung Rio tak kuasa menahan luka jerat baja yang membusuk di kaki depannya. Dia juga terjangkit sejumlah penyakit hingga akhirnya mati pada akhir Maret 2019.

Selain Inung, ada dua juga harimau mati karena perburuan di Pelalawan. Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka dengan barang bukti satu lembar kulit harimau betina.

Pengakuan tersangka, perburuan pertama kali dilakukan pada pertengahan tahun 2019. Saat itu, harimau betina mati tersengat jerat dialiri listrik.

Harimau ini tengah bunting. Ada empat janin yang ada di rahimmnya dan diambil oleh pelaku untuk diawetkan dengan harapan ada pembeli pada lain hari.

Kulit induk harimau itu sudah terjual dengan harga puluhan juta. Namun pelaku merasa tertipu karena bayaran belum diterima dan pembeli sudah tak bisa dihubungi lagi.

Satu harimau lainnya juga mati tersengat aliran listrik jerat. Kulitnya belum sempat dijual dan kini menjadi barang bukti kejahatan mereka.

5 dari 7 halaman

4. Harimau Keluar Sarang

Selama tahun 2019, masyarakat di beberapa kabupaten dibuat ketakutan karena harimau sumatra keluar dari habitatnya. Tak jarang, harimau melintasi jalan tanah yang ada pemukiman penduduk meskipun tidak mengganggu.

Sejatinya, harimau itu tidak keluar dari sarangnya. Namun justru manusialah yang megurangi habitatnya karena perkebunan dan membangun pemukiman.

Tidak hanya Indragiri Hilir dan Pelalawan sebagai daerah kantong harimau, satwa belang di Rokan Hilir mulai meninggalkan jejak sebagai tanda keberadaannya.

Dari Rokan Hilir, satu persatu satwa ini muncul menunjukkan bahwa mereka masih ada meski terancam punah. Baik itu di Indragiri Hulu, kemudian berlanjut di kawasan PT Chevron Pasifik Indonesia di Siak.

Awal Agustus lalu, harimau berkeliaran di dekat lokasi pengobaran minyak asal Amerika itu. Dia kemudian menghilang setelah melompati pagar dan masuk ke semak-semak. Aktivitas perusahaan sempat berhenti.

Berikutnya, menyusul harimau berjalan lalu duduk santai di bawah pipa minyak di Taman Nasional Zamrud, Siak. Kejadian ini sudah berulang kali terjadi.

Tak ingin ketinggalan, harimau yang mendiami taman hutan raya Sultan Syarif Kasim II, Minas, Siak, juga memberi tanda keberadaannya.

Sejumlah jejak sejak awal Desember 2019 ditemukan di Desa karya Indah, Tapung, berlanjut ke Desa Kualu Nanas, Tambang dan terakhir mendekati derah Beringin, perbatasan Kampar dengan Kota Pekanbaru.

Menurut Kepala BBKSDA Riau Suharyono, harimau yang meninggalkan jejak di sejumlah desa di Kabupaten Kampar itu merupakan individu yang sama.

Hingga kini, tak ada satupun warga desa tersebut melihat secara jelas belang harimau yang meninggalkan jejak. Kecuali soerang bocah yang mengaku melihat harimau ketika dibonceng ayahnya pergi ke sekolah.

6 dari 7 halaman

5. Gajah Mati

Tanggal 7 Oktober 2019, gajah buntung karena jerat pemburu liar pada tahun 2016, ditemukan mati di kubangan Suaka Margasatwa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis. Gajah ini bernama Dita berjenis kelamin betina.

Sebelum mati, jalan gajah berumur 30 tahun ini gontai seolah tak sanggup membawa badan bongsornya berjalan. Dia tak mau keluar dari green belt atau kawasan hijau di kawasan itu.

Sebelumnya, gajah Dita sering terlihat bersama Seruni dan anaknya. Dita merupakan kawanan dari Seruni dan sering bermain bertiga, meskipun sesekali ada gajah jantan meghampiri.

Kematian Dita membuat populasi gajah sumatra makin berkurang. Ditambah lagi dengan temuan seekor gajah jantan yang mati pada 18 November 2019 di konsesi PT Arara Abadi, tepatnya di petak SBAD 401 B-01, Distrik Duri II, Desa Tasik Serai Kecamatan Talang Mandau, Kabupaten Bengkalis.

Kondisi bangkai gajah berumur 40 tahun ini mengenaskan. Sebagian kepalanya hilang dan belalainya putus karena gadingnya diambil pemburu liar.

Hingga kini pelakunya belum terungkap. BBKSDA Riau, Balai Gakkum KLHK Sumatra dan Polda Riau masih mengusut pihak bertanggung jawab.

Banyak gajah menjadi korban jerat pada tahun ini. Sebelumnya, ada tiga gajah terjerat sehingga kaki depannya nyaris putus dan terpaksa divekuasi ke Pusat Latihan Gajah Minas.

Evakuasi terpaksa dilakukan karena BBKSDA Riau menilai ketiganya tak mampu bertahan hidup di alam liar jika dibiarkan. Apalagi, ketiga gajah ini masih anakan.

Ketiganya menjadi penghuni baru PLG Minas dan punya nama masing-masing, yaitu Togar, Intan, dan Puan. Semuanya terjerat di kawasan konsesi perusahaan.

BBKSDA Riau meminta pihak perusahaan ikut menjaga areal kerjanya dari jerat agar tidak ada gajah lain jadi korban lagi.

7 dari 7 halaman

6. Gajah Keluar Habitat

Konflik gajah dengan manusia pada tahun 2019 dinyatakan BBKSDA Riau kian meningkat. Paling banyak terjadi di Indragiri Hulu, menyusul Kampar, lalu Bengkalis dan Siak. Daerah ini dikenal sebagai kantong gajah yang tersisa di Sumatra.

Indragiri Hulu merupakan daerah berkonflik paling lama dan melahkan yang ditangani BBKSDA Riau. Selain memakan waktu, tenaga petugas juga terkuras sehingga mengerahkan dua gajah jinak dari PLG Minas.

Tidak hanya berkelompok, terkadang ada satu gajah yang mendekati pemukiman di Peranap, Indragiri Hulu, karena memasuki musim kawin. Dia disebut BBKSDA Riau tengah mencari pasangan.

Konflik gajah di Indragiri Hulu ini sudah selesai menjelang akhir tahun. Namun, diprediksi terulang lagi tahun depan karena gajah punya siklus berpindah tempat dan ada jalur perlintasannya.

Meskipun perlintasan itu sudah ada kebun atau pemukiman, gajah punya kebiasaan tidak mengubah jalur.

Selanjutnya, gajah yang paling menyita perhatian karena mendekati pemukiman adalah Seruni dan anaknya. Beberapa bulan lalu, induk dan anaknya ini terlihat melintas di lapangan golf milik PT Chevron.

Tak lama kemudian, Seruni juga terlihat bermain di belakang Mapolsek Mandau, Bengkalis. Pagar pembatas perusahaan asal Amerika itu juga diterobos hingga roboh ketika berpindah tempat.

Seruni dan anaknya sering terlihat sejak kematian gajah Dita. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di green belt PT Chevron dari pada di kawasan suaka margasatwa Balai Raja.