Sukses

Umat Nasrani Dharmasraya Puluhan Tahun Tak Bisa Beribadah Bersama

Pelarangan beribadah umat Nasrani di Kabupaten Dharmasraya sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Tidak hanya ibadah rutin setiap hari Minggu, namun juga perayaan Natal

Liputan6.com, Padang - Indonesia dikenal sebagai salah satu bangsa yang begitu besar toleransinya. Beragam suku, ras dan agama hidup berdampingan di nusantara.

Meski begitu, di segelintir wilayah, cerita intoleransi masih tetap terjadi. Salah satunya di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.

Badan Pengawas Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), Sudarto mengatakan pelarangan beribadah umat Nasrani di Kabupaten Dharmasraya sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Tidak hanya ibadah rutin setiap hari Minggu, namun juga perayaan Natal.

Dihubungi Liputan6.com, Sabtu (12/12/2019), Sudarto bilang komunitas Katolik di Dharmasraya sudah ada sejak 1985. Namun karena belum memiliki tempat ibadah, maka mereka beribadah di rumah masing-masing.

Pada 1999, lanjut Sudarto umat Nasrani di Dharmasraya yang berdomisili di Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung sudah memiliki satu bangunan yang kemudian diajukan izin sebagai tempat ibadah.

Namun izin tersebut tidak mereka dapatkan dan tidak lama setelah itu terjadi konflik yang melibatkan orang di Nagari itu dengan umat Nasrani sampai terjadi pembakaran tempat ibadah mereka.

Kemudian mereka membuat kesepakatan antara umat Nasrani dengan perangkat Nagari (desa adat) beserta tokoh masyarakat bahwa umat Nasrani boleh melakukan ibadah di tempat yang berizin. Sejak saat itu tidak ada lagi ibadah secara bersama dan dilakukan di rumah.

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Harapan kepada Pemkab Dharmasraya

Sudarto menjelaskan hal tersebut berlangsung hingga 2010, ketika itu umat Nasrani mengajukan kembali izin pemakaian satu buah bangunan yang digunakan untuk beribadah bersama dan izin diberikan oleh Wali Nagari Sikabau kala itu.

Angin segar itu dinikmati umat Nasrani di Sikabau hingga 2017 Namun, pada 2017 pihak Nagari mengeluarkan surat bahwa tidak boleh melakukan ibadah di tempat tersebut karena bukan tempat resmi.

"Sejak 2017 hingga sekarang mereka tidak melakukan ibadah secara bersama lagi," kata Sudarto.

Ia menilai pelarangan beribadah itu sebuah bentuk intoleransi yang terjadi di tengah masyarakat. Jika dibiarkan, lama-kelamaan akan menjadi konflik antar umat beragama.

"Kami menyesali perlakuan tersebut karena sebagai warga negara sudah ada hukum yang menjamin masyarakat menjalankan kepercayaannya," dia menjelaskan.

Dia membenarkan Pemerintah Dharmasraya tidak melarang beribadah bersama. Tetapi, syaratnya, tempat itu harus berizin.

“Cuma dalam pernyataan mereka kan harus beribadah di tempat berizin, masalahnya tidak ada tempat berizin dan mereka harus ke Sawahlunto yang berjarak ratusan kilometer dari Dharmasraya, ujarnya,” Sudarto mengungkapkan.

Sudarto mengemukakan, Pemkab Dharmasraya bisa bermurah hati merangkul umat Nasrani di sana dengan menyediakan fasilitas dan rasa aman agar hal-hal seperti ini tidak terjadi.

"Pemkab kan bisa saja meminjamkan sebuah aula yang bisa dijadikan sebagai tempat perayaan Natal, ini hanya soal kemanusian," ucapnya.

Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Sijunjung, lanjutnya ratusan kepala keluarga di Sijunjung juga tidak bisa melaksanakan ibadah bersama di sebuah tempat karena tidak adanya izin.

"Hal ini menurut saya sudah melanggar HAM dan dibutuhkan perhatian dari pemerintah untuk menyelesaikannya," kata Sudarto.