Liputan6.com, Jambi - Wajah Nyai Fatimah (65) terlihat masih semangat, meski sudah sebulan lebih dia berkutat di antara perabot lawas di dapur pondok kopi dusun di Desa Muarajambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Di dapur pondok tempat Nyai Fatimah beraktivitas itu, didesain dengan perabot lawas. Mulai dari teko blirik, gelas seng jadul hingga radio lawas juga terpampang di etalase dapur. Perabot ini adalah perabot kampung yang hingga kini masih digunakan oleh sebagian warga.
Advertisement
Baca Juga
Tiga gentong kecil cokelat tua juga setia menemani Nyai Fatimah saban hari di pondok. Gentong kecil yang terbuat dari tanah liat kata dia, berfungsi untuk menyimpan air. Dulu sebelum mengenal kulkas, air minum disimpan di gentong kecil supaya air menjadi dingin.
"Gentong kecil di sini namanya takar, dulu berfungsi untuk menyimpan beras juga," kata Fatimah sembari menyeduh kopi di pojok kopi dusun, Jumat 20 Desember 2019.
Seketika aroma kopi langsung meruap saat Nyai Fatimah menuangkan air panas yang dimasak dari tungku kayu bakar ke dalam cangkir. Seduhan kopi yang telah ditaruh ke dalam nampan, kemudian disuguhkan kepada sejumlah pelancong candi Muarajambi yang singgah di pondok.
"Ini gulanya sudah dipisah. Boleh pakai gula pasir, ada juga gula aren. Diaduk sendiri," kata Fatimah.
Bubuk kopi yang digunakan adalah kopi robusta lokal. Sebelum dijadikan sajian minuman, biji-biji kopi itu disangrai dan ditumbuk sendiri di pondok. Ini semakin membawa nikmat setiap seruputan kopi yang diolah oleh tangan sepuh Nyai Fatimah.
Sajian kopi terasa lebih nikmat dengan tambahan pisang rebus atau pisang goreng. Semua sajian yang terdapat di pojok kopi dusun itu di masak dengan menggunakan tungku kayu bakar. Harganya pun cukup bersahabat, satu cangkir kopi dijual Rp10.000 dan seporsi pisang goreng juga dijual dengan harga yang sama.
Konsep Pondok di Ladang
Pegiat wisata sekaligus owner kopi dusun, Subrata mengatakan pojok kopi dusun merupakan salah satu destinasi wisata tematik di desa wisata Muarajambi. Konsepnya adalah berasal dari pondok masyarakat di ladang.
Umumnya pondok-pondok ladang milik masyarakat di pedesaan Muarajambi adalah bertingkat dan menggunakan bahan kayu alam. Konsep inilah yang dibawa untuk disajikan kepada wisatawan yang bertandang ke Muarajambi.
"Selama ini masyarakat datang ke Muarajambi yang dituju hanya komplek percandiannya. Sekarang ada pilihan lain, sambil menapaki jejak perdaban Candi Muarajambi, kita juga menikmati sajian pondok dusun," ujar Brata kepada Liputan6.com.
Konsep seperti ini menurut Brata, sapaan akrab Subrata, telah menciptakan market wisata yang memadukan wisata camping dan atraksi budaya lokal serta sajian masakan khas tradisional seperti nasi ibat, ikan senggung, pindang ikan, dan rebus jantung. Market wisata tersebut ditawarkan lewat paket wisata.
"Kami menawarkan paket, harga paket wisata tergantung ini dari jumlah orangnya dan kemasan kegiatan maunya seperti apa, semakin banyak atraksi tentu harganya juga berbeda," kata dia.
Dia mendorong konsep seperti ini bisa ditiru oleh masyarakat lainnya di desa, sehingga dapat memberikan nilai ekonomi. Jika masyarakat telah aktif menggali sumber pendapatan dari sektor wisata di sekitaran komplek percandian Muara Jambi, nantinya akan berdampak terhadap pelestarian situs sejarah tersebut.
"Jadi masyarakat tidak mesti jualan di dalam kawasan candi, tapi bisa menggali potensi sumber pendapatan ekonomi lewat keberadaan candi Muarajambi,"Â dia menjelaskan.
Di pojok kopi dusun yang terletak di Rt 05 Desa Muarajambi, kini terdapat tiga pondok yang berdiri di antara kebun karet. Waktu yang pas untuk menikmati sajian kopi dusun di Desa Wisata Muarajambi adalah pagi atau sore hari.
Di sini pelancong tak hanya bisa menikmati sajian kopi kampung, namun juga bisa bercengkrama di bawah pondok, atau hanya sekadar untuk santai menikmati suasana perkampungan masyarakat melayu di antara peradaban komplek percandian Muarajambi.
Pada waktu tertentu, dari pondok yang menyerupai rumah panggung ini pengunjung bisa melihat aktivitas penduduk berangkat dan pulang dari ladang. Umumnya petani yang melintas itu membawa ambung dan mengenakan tengkuluk atau kain penutup kepala. Aktivitas seperti ini adalah sesuatu yang khas para petani di desa tersebut.
Advertisement
Menyusuri Peradaban Candi Muarajambi
Hanya selemparan batu dari pojok kopi dusun itu, berdiri peradaban masa lampau. Susunan batu bata merah yang berbentuk punden berundak siap menyambut pengunjung.
Candi Muarajambi dulunya dikenal sebagai tempat pengajaran agama Buddha. Candi Muarajambi menurut, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada DS Nugrahani, adalah sebagai tetenger (penanda) yang pada masa itu membawa peristiwa besar.
Menurut DS Nugrahani, peradaban Buddhis yang ada di belahan dunia datangnya dari peradaban di Muarajambi melalui Maha Guru Atisha yang pernah belajar dengan Serlingpa Dharmakirti selama 11 tahun atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.
Atisha adalah seorang maha guru yang mempunyai peran dalam membangun gelombang kedua Buddhisme di Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhisme, yakni Serlingpa Dharmakirti.
Sementara itu, sejumlah arkeolog menyimpulkan percandian Muarajambi adalah sebuah komplek percandian Hindu-Buddha yang terluas di Asia Tenggara yang luasnya mencapai delapan kali luas candi Borobudur. Komplek candi Muarajambi total memiliki luas 3.981 hektare yang tersebar di delapan desa yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat melayu Jambi.
Data sejarah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi mengungkapkan, bahwa percandian Muarajambi pada masa lampau menjadi pusat pendidikan ajaran Buddha. Hal itu berdasarkan temuan-temuan artefak seperti reruntuhan Stupa, Arca Prajaniparmita.
Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) mencatat di komplek percandian Muarajambi terdapat 123 peninggalan sejarah, mulai dari kanal kuno, bangunan candi dan menapo (reruntuhan candi). Selain itu, di komplek percandian Muarajambi memiliki 82 reruntuhan candi (menapo).
Saat ini sudah ada sebelas bangunan candi yang telah dilakukan ekskavasi dan pemugaran. Bangunan candi yang telah dipugar itu diantaranya adalah, Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Tinggi I, Candi Kedaton, Candi Teluk dan Candi Koto Mahligai.
Saat acara keagamaan umat Buddha, komplek percandian Muarajambi menjadi pusat perayaan Waisak. Tak hanya itu, komplek percandian peninggalan abad 7-12 Masehi ini selalu ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai latar belakang.
Saat libur akhir tahun destinasi ini menjadi referensi untuk destinasi liburan, dengan menyusuri jejak perdaban masa lalu sambil menikmati sajian kopi dusun khas masyarakat desa Muarajambi.
Â
Simak video pilihan berikut ini: