Sukses

Liburan Keren Geng Motor Beken di Wakatobi, Lepas Tukik di Laut Banda

Geng motor pemerhati lingkungan di Wakatobi, melepas 30 ekor tukik di Laut Banda.

Liputan6.com, Wakatobi - Geng motor kerap dicap hobi touring, ugal-ugalan, hura-hura, bahkan terlibat kekerasan. Di Kecamatan Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi, mereka berani tampil berbeda.

Ratusan pengendara motor custom classic dan campuran, berkendara beriringan ke beberapa spot wisata pantai, Rabu (25/12/2019). Bukannya sekadar touring, ada misi tak biasa hari itu.

Deru knalpot bogar ala geng motor pada umumnya, sempat menarik perhatian warga. Apalagi, beberapa di antara mereka sempat melakukan atraksi.

Rombongan geng motor sempat beberapa kali berteduh dari hujan deras sebelum melanjutkan perjalanan. Tampaknya, kebanyakan peserta tidak membawa mantel hujan.

Sekitar satu setengah jam, rombongan geng motor parkir di salah satu spot wisata terkenal di Wakatobi. Cemara Beach, lokasinya berhadapan langsung dengan Laut Banda.

Tidak menunggu lama, mereka memunguti sampah plastik yang bertebaran di sekitar pesisir pantai. Meskipun terlihat cuek, semangat mereka tak kalah dengan vacum cleaner yang cepat 'melahap' sampah plastik di sekitar pantai.

Tidak sampai 10 menit, salah satu spot berenang di sana dibuat bersih. Tak sampai di situ, mereka berpindah di spot lainnya untuk memungut sampah yang tersisa.

"Ini sampah di tempat wisata di Wakatobi, kadang dianggap sepele saat jumlahnya sedikit. Padahal, mengganggu mata turis kalau sudah banyak dan tak terurus," kata Romeldin, Ketua Geng Custom Classic Wakatobi (CCW).

Dia melanjutkan, sampah plastik semacam momok bagi pelaku wisata bahari di Wakatobi. Muncul tiba-tiba di pesisir, kerap mengusik kenikmatan turis yang berpelesir.

"Pernah ada kasus ditemukan paus mati di Wakatobi dengan perut penuh sampah. Kami berharap itu tak terulang," ujarnya.

Romelin meyakini, dia dan anggota geng motor di Wakatobi dan Sulawesi Tenggara bisa bersatu meminimalisasi sampah plastik. Sebab, keberadaannya berbahaya bagi kelangsungan ekosistem laut andalan masyarakat Wakatobi.

2 dari 4 halaman

Ritual Pelepasan Tukik

Sebanyak 30 ekor tukik (Chelonia mydas), dilepas menuju Laut Banda oleh geng motor Wakatobi bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Balai Taman Nasional Wakatobi, Rabu (25/12/2019). Pelepasan tukik digelar di pesisir Pantai Cemara, Wangi-wangi.

Bayi penyu sebanyak ini, bertelur dan menetas di sekitar gugusan kepulauan Wakatobi. Beberapa pulau di Wakatobi, surga bagi penyu untuk bertelur dan menetaskan telur setiap tahun.

Ada cara unik saat melepas tukik ke laut. Tukik dipegang pada bagian punggung dan perut, menggunakan jempol dan telunjuk.

Sebelum dilepas, tukik tidak langsung dilepas menuju Laut Banda. Namun, lebih dulu dihadapkan ke arah daratan.

Tujuannya, agar bayi penyu bisa mengenali daerah sekitar. Harapannya, bila sudah dewasa, bisa kembali datang dan bertelur di sekitar pantai saat dia dilepas pertama kali.

Kepala Seksi Pengawasan Wilayah II Balai Taman Nasional Wakatobi, La Fasa mengatakan, saat ini banyak ancaman serius soal keberadaan penyu di sejumlah spot wisata Wakatobi. Di antaranya, pencurian telur secara ilegal oleh warga, biawak dan berubahnya ekosistem laut.

"Misalnya, abrasi pantai bisa mengikis pasir sehingga penyu enggan mampir bertelur," ujarnya.

Solusi yang bisa dilakukan, yakni memberikan edukasi pada masyarakat. Pihaknya mengakui sudah memberikan pemahaman kepada warga tentang pentingnya penyu. Tidak hanya itu, Balai Taman Nasional juga sudah berupaya membudidayakan penyu secara alami di Wakatobi.

Ketua CCW Wakatobi Romeldin menambahkan, ada masalah lain selain maraknya perburuan telur penyu. Masih ada sebagian kalangan yang menggunakan kulit penyu sebagai aksesoris.

"Kami berupaya kampanyekan penyu sebagai hewan langka dan peranannya penting bagi laut dan kelangsungan ekosistem. Sehingga harus dilindungi," ujar Romeldin.

3 dari 4 halaman

Penyu Terancam di Wakatobi

Kepala Seksi Pengawasan Wilayah II Balai Taman Nasional Wakatobi, La Fasa mengatakan, saat ini habitat penyu di Wakatobi terancam karena faktor alam dan manusia.

Faktor alam, di antaranya abrasi pantai dan hadirnya pemangsa alami penyu. Abrasi pantai karena terjangan ombak dan aktivitas penyedotan pasir ilegal di sekitar pantai.

"Juga karena biawak yang ada di sekitar pantai, kadang ikut memangsa telur yang ditanam induk penyu," ujar La Fasa.

La Fasa juga mengakui, ada kesalahpahaman sebagian orang melindungi pantai dari abrasi, yakni, mendirikan dinding beton di sekitar garis pantai.

"Maksud mereka untuk memecah ombak yang datang ke pantai. Tetapi ternyata hal ini berdampak pada penyu," ujarnya.

Dia menyatakan, induk penyu berpotensi tak akan bisa mencapai pantai jika terhalang tembok batu. Alasannya, jejak menuju lokasi bertelur terhalang.

"Makanya, mengantisipasi ini kami berupaya mengamankan sejumlah spot sarang penyu di beberapa gugusan pulau di Wakatobi," pungkasnya.

4 dari 4 halaman

Geng Motor Klasik

Geng motor Custom Classic Wakatobi (CCW) dan rider motor klasik lainnya asal Sulawesi Tenggara, bisa menjadi inspirator generasi muda dalam pelestarian lingkungan. Untuk aksi pelepasan tukik dan bersih pantai Wakatobi, mereka bahkan datang Makassar, Sulawesi Selatan.

Pria yang akrab disapa om Imin itu, menceritakan kisahnya sejak pertama kali tertarik dengan motor klasik. Berbekal motor Honda C-70 buatan tahun 1961, dia sudah menjelajahi seluruh kabupaten Sulawesi Tenggara bahkan hingga beberapa daerah di Sulawesi Selatan.

Pada masanya, motor jenis ini dikenal masyarakat dengan sebutan 'Si Pitung'. Selain bermesin tangguh, motor buatan Jepang itu bisa digunakan pada segala medan.

Dengan perawatan ala kadarnya, Si Pitung milik om Imin, mampu bertahan hingga 2019.

"Awalnya saya menemukan motor bekas, di tempat jual barang di rongsokan," pria kelahiran 1985 itu, memulai ceritanya.

Motor yang dibeli tahun 2017 di Kabupaten Muna, sudah rusak parah dan penuh karat. Saat menawar Rp 300 ribu, penjual langsung melepas tanpa berpikir panjang.

"Saya bersihkan kembali mesin dan rangkanya, ternyata masih bagus," ujarnya.

Hingga saat ini, dia sudah mengeluarkan anggaran perawatan sekitar Rp 5 juta untuk stamina Si Pitung. Jumlah ini, tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan rekannya pecinta motor klasik.

"Teman saya, memodifikasi motor hingga mengeluarkan puluhan juta rupiah dan itu wajar," ujar Om Imin.

Pria yang sudah menggemari motor klasik sejak 1995 itu, kini dikenal luas sebagai mekanik. Meskipun paham soal mesin, namun tak jarang menemui masalah saat berkendara.Dia mengakui, pengendara motor klasik bergaya retro, japstyle Honda C-70 kadang menemui masalah saat perjalanan. Namun, dengan persiapan matang, semua bisa diatasi.

"Namun, dengan komunitas yang ada, masalah-masalah yang ada bisa dipecahkan," ujarnya.Dia juga senang, selama memakai motor klasik buatannya sendiri, kerap menjadi pusat perhatian saat melintas. Sehingga, mudah dikenali orang dan tentunya banyak teman.

"Motor ini juga tidak menjadi incaran orang jahil, karena berpikir dua kali saat mereka akan mengambil, kondisinya mudah dikenali ," ujarnya Om Imin menutup ceritanya.

Saksikan juga video pilihan berikut ini: