Sukses

7 Kali Bolak-balik, Berkas Korupsi Bandara Mangkendek Toraja Tak Kunjung Rampung

Meski ditangani sejak tahun 2012, kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja belum juga tuntas.

Liputan6.com, Toraja - Sejak ditangani pada tahun 2012, penanganan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan negara Bandara Mangkendek, Tana Toraja tak kunjung selesai.

Terakhir ini dikabarkan berkas tersangka kasus Bandara Mangkendek Tana Toraja tersebut sudah tujuh kali bolak-balik antara jaksa ke penyidik.

"Tanya dong ke jaksanya. Jaksa penuntut umumnya belum sepakat dengan kita sehingga berkas tujuh kali bolak-balik," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel yang baru, Kombes Pol Augustinus Berlianto saat ditemui di Markas Polrestabes Makassar, Senin (30/12/2019)

Ia mengatakan hal itu jika mengacu kepada Peraturan Kapolri (Perkap), maka penyidikan kasus tersebut sudah seharusnya dihentikan.

"Kalau bolak-balik begitu, perkap kita itu yah kasus Bandara Toraja ini sudah harus dihentikan," jelas Augustinus.

 

2 dari 4 halaman

Pelaku Lama Kembali Terjerat

Pasca dibuka kembali sejak bulan April 2019, penyidik subdit tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel telah memeriksa sejumlah saksi masing-masing mantan Bupati Tana Toraja, Theofelus Allorerung, mantan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten TanaToraja yang juga bertindak selaku ketua panitia pengadaan tanah, Enos Karoma, mantan Kepala Bappeda Kabupaten Tana Toraja selaku anggota panitia pengadaan tanah, Yunus Sirante dan mantan Camat Mangkendek selaku anggota panitia pengadaan tanah, Ruben Rombe Randa.

Kemudian, saksi lainnya yakni mantan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja yang juga bertindak selaku Pengguna Anggaran (PA), Meyer Dengen dan mantan Bendahara Pengeluaran pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja, Aspa Astri Rumpa.

Serta turut juga memeriksa Ketua DPRD Kabupaten Tana Toraja yang saat itu bertindak sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Welem Sambolangi dan mantan Ketua Komisi 3 DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Yohannes Lintin Paembongan.

Usai memeriksa para saksi, penyidik lalu lakukan gelar perkara dan menetapkan kembali delapan orang tersangka yang jauh sebelumnya sudah pernah berstatus tersangka namun bebas demi hukum karena masa penahanannya di tahap penyidikan kala itu usai.

"Tersangka masih yang dulu," singkat Kombes Pol Yudhiawan Wibisono yang saat itu menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Minggu 22 September 2019.

Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun berharap penyidik punya kemauan besar dalam mengungkap keterlibatan semua pihak dalam kegiatan yang jelas-jelas telah merugikan negara tersebut.

"Kasus Bandara Mangkendek ini merupakan salah satu kasus korupsi yang sangat parah penanganannya. Bayangkan saja para tersangka sudah kedua kalinya bebas demi hukum lantaran berkasnya tak kunjung rampung (P21). Kasusnya pun ditangani sejak tahun 2012," terang Kadir.

Anehnya lagi, beber Kadir, meski kasus Bandara Mangkendek tersebut telah melalui proses supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun kasusnya tak juga berhasil sampai ke Pengadilan Tipikor.

"Semoga kali ini berhasil sampai ke Persidangan. Kami harap Kepolisian maupun Kejaksaan memiliki visi-misi yang sama dalam pemberantasan korupsi sehingga berkas tersangka tak lagi bolak-balik nantinya," tutur Kadir.

 

3 dari 4 halaman

Tanggapan Akademisi

Akademisi Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina mengatakan apa pun alasannya, penyidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek tak dapat dihentikan.

Malah kata dia, justru sebaliknya. Jika penyidikan kasus tersebut berani dihentikan, maka disitulah terjadi perbuatan penyalahgunaan kewenangan.

Penyidik, lanjut dia, harusnya tidak mengabaikan keberadaan putusan perdata yang telah menegaskan adanya dugaan kesalahan pembayaran pada kegiatan pembebasan lahan Bandara Mangkendek.

Dalam putusan perdata tersebut telah menegaskan ada atau terdapat hak pihak penggugat selaku pemegang hak atas tanah yang terkena pembebasan lahan Bandara Mangkendek karena dia selaku pemilik secara turun-temurun.

"Putusan itu telah menegaskan bahwa secara hak perdata melekat hak atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Bandara Mangkendek," terang Jermias.

Putusan perdata tersebut, kata Jermias, telah mengandung tiga sifat dari kekuatan putusan dalam perkara hukum, yaitu sebagai kekuatan sah dan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial.

Putusan perdata tersebut bila telah berkekuatan hukum tetap (In kracht van gewisdje) di tingkat kasasi, maka pada saat itulah telah sah dan mengikat putusannya.

Sehingga, lanjut dia, segala hal ikwal yang mengenai substansi kepemilikan atau keberhakan atas tanah sengketa menjadi melekat haknya pada penggugat selaku pemenang perkara perdata tersebut.

"Dengan demikian menurut hukum hak perdata atas tanah sengketa menjadi kepemilikan penggugat atau sebagai pihak yang berhak sesuai amar isi putusannya," jelas Jermias.

Hal itu jika dihubungkan dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, tepatnya pada pasal 17 ayat (2) ditegaskan bahwa sebagai perbuatan penyalagunaan kewenangan bilamana putusan pengadilan tidak dilaksanakan.

"Maka untuk menghindari persepsi hukum yang negatif, sebaiknya penyidik tipikor Polda Sulsel segera menindaklanjuti kasus korupsi Bandara Mangkendek dengan jalan merujuk pada putusan perdata yang telah menyatakan sebagian tanah yang dijadikan obyek ganti rugi lahan Bandara adalah milik pihak penggugat sebagai pemilik/pemegang hak atas tanah," tutur Jermias.

Karena lahan Bandara Mengkendek sebagai obyek pengadaan tanah masuk dalam gugatan sebagai tanah sengketa dan telah dimenangkan oleh salah seorang warga yang bertindak sebagai penggugat, sementara ia tidak menerima uang pembayaran ganti rugi atau dengan kata lain uang ganti rugi telah diterima oleh orang atau pihak lain, maka disitulah terjadi salah bayar ganti rugi dalam proyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Kasus hukum tersebut, kata Jermias, justru semakin memperjelas dugaan tindak pidana korupsi dan Penyidik tipikor Polda Sulsel harus segera menindaklanjutinya hingga kasus yang dimaksud bisa berlabuh ke persidangan.

Jermias mengaku bingung, ketika mendengar kabar penyidikan kasus Bandara Mangkendek susah bahkan penyidikannya seolah-olah banyak kendala.

Padahal menurut dia, justru sebaliknya. Malah penyidikannya makin gampang dan penyidik tidak susah membuktikan unsur melawan hukumnya. Karena, lanjut Jermias, ada hak atas tanah pihak/orang lain yang diambil oleh yang bukan pemilik atau yang bukan berhak.

"Itulah yang dimaksud telah terjadi perbuatan menyalagunakan kewenangan dalam delik korupsi untuk menguntungkan orang lain yang secara hukum tidak berhak memperoleh pembayaran ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Bandara Mangkendek," ungkap Jermias.

Dengan adanya putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (In kracht van gewisdje) dan telah mengandung tiga kekuatan hukumnya sebagaimana telah diuraikan diatas, maka secara hukum hal ini yang tepat harusnya sudah dipergunakan oleh penyidik tipikor Polda Sulsel untuk menjerat para pelakunya dalam dugaan tindak pidana korupsi sehubungan dengan proyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum berupa Bandara Mangkendek.

"Penyidik tipikor Polda Sulsel jangan berlama-lama dalam membawa perkara korupsi Bandara Mangkendek untuk segera disidangkan. Jika masih berlama-lama, publik akan menilai ada apa?, perkara semakin gampang kok jadi lamban bergerak?" Jermias menandaskan.

 

4 dari 4 halaman

Perjalanan Panjang Kasus Bandara Mangkendek Toraja

Diketahui penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Toraja dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya.

Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy dan Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang.

Selanjutnya ada juga mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla.

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.

Dari hasil penyidikan kala itu, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp 38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum disepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.

Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 Miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 M lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Propinsi Sulsel. Kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan tersebut dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: