Liputan6.com, Dharmasraya - Alkisah, pada 1980, seorang nelayan di Siguntur dibuat kaget saat mengangkat jaring yang tiba-tiba terasa berat. Jaring diangkat, bukan ikan besar didapat, justru sebuah kaki arca yang menyangkut di jaringnya.
Setelah jaring diangkat, temuan nelayan dari aliran hulu sungai Batanghari itu dilaporkan kepada Ninik mamak di Siguntur. Sebagaimana dikisahkan salah satu keturunan Kerajaan Siguntur, Tuan Acik Putri Marhasnidar, sejak arca tersebut ditemukan, kemudian ahli waris kerajaan sepakat untuk merawatnya.
Kini fragmen kaki arca dan sebuah batu penanda berdiri di sisi kanan tangga utama Istana Kerajaan Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat. Kaki arca Fatma itu seperti menyambut tamu-tamu yang datang ke istana.
Advertisement
Meski kaki arca itu merupakan tinggalan kerajaan Hindu-Buddha, dan ditaruh di istana kerajaan Islam, namun keduanya hidup berdampingan. Tak ada penolakan atau dirugikan dengan kehadiran arca tersebut, meski di sekitaran istana kerajaan terdapat komplek makam raja-raja dan Masjid Tuo.
"Tidak masalah, bukan untuk disembah, tapi ini punya nilai-nilai sejarah yang sangat penting, arca ini diduga berasal dari peninggalan Kerajaan Dharmasraya," kata Tuan Acik Putri Marhasnidar kepada Liputan6.com, Jumat 27 Desember 2019.
Baca Juga
Tak jauh dari seberang Istana Siguntur, yang hanya dibatasi aliran DAS Batanghari menyimpan tapak-tapak tua dan bangunan candi peninggalan masa lampau Kerajaan Dharmasraya. Hingga kini kompleks bangunan candi itu masih berdiri kokoh di hulu Batanghari.
Bukti kejayaan Kerajaan Malayu Dharmasraya yang berdiri sekitar abad ke-11 Masehi itu meninggalkan sejumlah peninggalan sejarah. Masa kejayaan Kerajaan Melayu sewaktu bertakhta di Dharmasraya masih bisa dilihat bangunan candi di tepi aliran Batanghari. Candi itu antaralain Candi Pulau Sawah, Candi Padangroco, Candi Rambahan dan Candi Awang Maombiak.
Berada di daerah yang memiliki banyak peninggalan tua, membuat masyarakat memanfaatkannya untuk memburu benda-benda peninggalan bersejarah itu. Bahkan tak jarang masyarakat juga ada yang abai terhadap peninggalan masa lampau itu.
Tuan Acik Putri Marhasnidar memperlihatkan sejumlah benda pusaka yang merupakan warisan kerajaan dan yang ditemukan di situs bersejarah. Diantaranya ada pedang, tongkat raja dan keris. Benda-benda tinggalan sejarah itu tidak bisa ditengok oleh sembarang orang.
Pada era tahun 1970-an, seperti yang dikisahkan Tuan Acik Putri Marhasnidar, adalah masa yang ironis untuk peninggalan sejarah. Waktu itu, tak sedikit masyarakat memburu benda-benda bersejarah itu secara ilegal. Tak kenal siang atau malam mereka terus berupaya menggali di situs-situs percandian. Sebagian batu bata candi ada yang dipakai untuk membangun rumah penduduk.
Bahkan pada tahun itu pula, penadah atau kolektor sering datang ke Siguntur untuk mencari benda-benda sejarah. Sehingga, tak jarang pula masyarakat yang tergiur untuk mencari tinggalan yang masih tersisa.
"Ini tidak bisa dibiarkan, dan sejak saat itu lah ninik mamak sepakat ini adalah peninggalan sejarah yang mau dikupas dan jangan diganggu, kita wajib untuk melindunginya, begitu juga masyarakat," kata dia.
Sejak ada kesepakatan dari ninik mamak dan masyarakat di Siguntur, secara langsung penduduk di sana mulai menaruh perhatian. Misalnya saat ada temuan-temuan, baik di aliran sungai atau di darat, masyarakat akan langsung menyerahkan dan tidak merusaknya.
"Karena itu adalah warisan leluhur kita. Sudah muncul dari masyarakat akan rasa cinta terhadap situs atau benda bersejarah, sehingga mereka mau merawat dan melestarikannya," dia menjelaskan.
Situs-situs atau benda bersejarah peninggalan leluhur kudu mendapat tempat yang layak untuk dilestarikan dan diselamatkan. Hal ini penting dilakukan, supaya generasi penerus dapat mengenal identitasnya.
Bukan hanya dilakukan oleh pemangku kepentingan saja, pelestarian itu juga harus dilakukan oleh komponen masyarakat. Kini sudah saatnya semuanya, mengangkat batang yang terendam. Sebab tanpa masa lalu tidak akan ada masa sekarang.
"Masyarakat di sini sangat menghargai. Mereka (masyarakat) mengerti bahwa itu warisan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan," kata Tuan Acik Putri Marhasnidar.
Warisan atau peninggalan leluhur di Dharmasraya adalah bukti kebesaran Kerajaan Dharmasraya pada masa lampau. Itu ditandai dengan ditemukannya bangunan candi dan arca Amoghapasa serta kisah ekspedisi Pamalayu yang dilakukan Kerajaan Singosari ke Dharmasraya. Sekarang jejak ekspedisi tersebut masih lestari.
Jejak Persahabatan Dharmasraya dengan Singosari
Sebagian ahli sejarah pada masa lalu beranggapan bahwa Pamalayu merupakan ekspedisi penaklukan Kerajaan Singosari terhadap Kerajaan Melayu Dharmasraya. Tapi apakah betul demikian?
Narasi Pamalayu sebagai ekspedisi penaklukan, kini dimentahkan oleh banyak ahli. Sebaliknya Pamalayu adalah sebuah bentuk persahabatan antara Singosari dan Dharmasraya.
Peneliti Utama dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo menjelaskan, bukti bahwa Pamalayu bukan ekspedisi penaklukan adalah melalui arca Amoghapasa. Arca itu hadiah dari Sri Maharajadhiraja Kertanagara Wikrama Dharmmottunggadewa di Kerajaan Singosari kepada Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa, Raja Dharmasraya.
Arca Amoghapasa adalah sebagai salah satu perwujudan Lokeswara sebagaimana disebut pada prasasti Padangroco. Arca Amoghapasa dibawa oleh empat utusan Singosari, yakni Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahmana, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa dan Rakryan Demung Mpu Wira.
Arca ini merupakan hadiah dari Kertanagara Raja Singosari kepada kepada Tribhuwanaraja, Raja Melayu di Dharmasraya pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi. Hampir delapan abad yang lalu.
"Ini yang patut digaris bawahi, bahwa isi prasasti di atas lapik Amoghapasa itu isinya membuat rakyat Dharmasraya bersuka cita bahagia, bergembira," kata Bambang Budi Utomo dalam diskusi Festival Pamalayu yang digelar di Museum Nasional, Kamis 22 Agustus 2019.
Arca Amoghapasa yang memiliki tinggi 163 sentimeter itu kini berada di Museum Nasional dengan nomor inventaris D.198-6469.
Sementara itu, Prasasti Amoghapasa yang tertulis dibagian belakang arca menurut Bambang Budi Utomo, ditulis oleh Adityawarman pada tahun 1347. "Ini adalah tahun pengangkatan Adityawarman sebagai raja," sebut Budi.
Selain Amoghapasa, juga terdapat jejak lain bahwa Pamalayu bukan ekspedisi penaklukan. Buktinya adalah Dara Petak dan Dara Jingga, keduanya merupakan putri raja Dharmasraya, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa.
Kedua putri Raja Dharmasraya tersebut dikirimkan Mauli Marwadewa untuk berangkat bersama rombongan Pamalayu kembali ke Jawa. Namun ketika tiba di tanah Jawa, kerajaan Singosari yang dipimpin Kertanegara telah runtuh dan berdiri kerajaan baru bernama Majapahit.
Akhirnya Dara Petak menikah dengan Raden Wijaya, Raja Majapahit. Sementara Dara Jingga menikah dengan pimpinan rombongan Pamalayu, Mahamantri Dyah Adwyabrahma dan melahirkan putra bernama Adityawarman. Setelah Adityawarman tumbuh dewasa, ia kembali ke Dharmasraya dengan gelarnya Sri Maharaja Diraja pada tahun 1347.
Â
Advertisement
Sungai adalah Jalan Raya
Batanghari adalah sungai bersejarah yang tidak terpisahkan dari Dharmasraya. Keberadaan sungai ini menjadi jalur penting pada masa kedigdayaan Kerajaan Dharmasraya. Aliran Batanghari sepanjang 800 kilometer itu jalur pelayaran yang penting dari Selat Malaka-Pantai Timur Sumatra hingga masuk ke padalaman Sumatra.
Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas, Gusti Asnan, sungai Batanghari sudah dilayari sejak zaman prasejarah dan tetap dilayari pada era klasik, hingga muncul kerajaan-kerajaan besar antara abad ke-6 hingga 14 Masehi.
"Batanghari telah digunakan oleh nenek moyang kita untuk masuk ke pedalaman Sumatra. Nenek moyang kita tidak bermukim di pinggir pantai, karena di pantai timur Sumatra itu tidak subur. Mereka masuk ke pedalaman, sampai mereka menemukan daerah yang subur, airnya bersih, dan bermukim di sini lah (Dharmasraya)," kata Gusti Asnan dalam peringatan Hari Maritim di Kabupaten Dharmasraya, 23 September 2019.
Keberadaan dan kejayaan kerajaan Dharmasraya kata Gusti Asnan, bisa dilihat dari perspektif peradaban sungai dengan menggunakan teori hulu-hilir. Unsur-unsur peradabannya itu berkaitan secara langsung dengan sungai.
Peradaban di jalur sungai menurut dia, memiliki tiga basis, yakni pemerintahan (politik), ekonomi, ilmu teknologi dan religi. Penerapan hubungan teori hulu-hilir itu dapat dibuktikan pada masa klasik.
Kawasan hulu (Dharmasraya) pada masa itu tumbuh menjadi pusat politik dan ekonomi. Kerajaan yang berdomilisi di Dharmasraya yang merupakan pusat politik. Inilah menyebabkan ekspedisi Pamalayu di bawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275-1286. Eskpedisi melewati jalur Batanghari.
Setelah ekspedisi Pamalayu, kata Gusti Asnan, Dharmasraya tetap eksis, secara politik, stabil kuat dan aman, ekonomi tumbuh, unsur peradaban maju termasuk kepercayaan dan religi. "Karena itulah di daerah hulu Dharmasraya muncul pusat peribadatan seperti candi yang berada di tepian Batanghari," kata dia.
Batanghari berasal dari dua kata, yakni Batang dan Hari. Batang adalah sebutan orang melayu Sumatra Tengah terhadap sungai. Sedangkan Hari adalah satuan waktu yang terdiri dari siang dan malam.
"Batanghari itu artinya aliran sungai yang senantiasa mengalir siang dan malam. Jadi ibaratnya pada masa itu sungai Batanghari seperti jalan raya, tidak sepi dari aktivitas pelayaran karena airnya mengalir siang dan malam," kata Gusti.
Sungai pada masa itu mengalir dengan segala kisah dan peradabannya. Ekspedisi Pamalayu yang membawa Amoghapasa itu menyebrangi samudra dengan energi kebijaksanaan dari pantai timur Sumatra melewati Batanghari hingga sampai ke Dharmasraya.
Tapi sekarang sungai Batanghari dengan segala sejarah peradabannya tidak seperti dulu lagi. Sungai Batanghari yang berama air dari Bukit Barisan itu kini tidak lagi terjaga, airnya keruh.
Bahkan sungguh ironis, sungai Batanghari tercemar merkuri akibat penambangan emas liar. Aktivitas yang tak ramah di Batanghari telah terbukti merusak lingkungan dan bahkan bisa mengancam kesehatan.
Kini sudah saatnya kita memetik pelajaran dari masa lampau, seperti Pamalayu, eskpedisi persahabatan yang membawa hadiah Amoghapasa, lambang kasih sayang. Tak ada penaklukan. Bahwa kita mesti bersahabat dan menyayangi alam, jangan sampai mata air dari Batanghari menjadi air mata yang dirasakan generasi kita kedepan.
Juga demikian dengan warisan leluhur yang perlu juga kita jaga supaya menjadi identitas sejarah. Dan kelak menjadikan semua berbahagia dengan berbagi kasih sayang di tengah beragamnya masyarakat Indonesia.
Festival Pamalayu dan Nilai Kebaikan Masa Lalu
Festival Pamalayu mulai yang diluncurkan 22 Agustus 2019, tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan dimulai ekspedisi Pamalayu terjadi pada 22 Agustus 1286.
Festival Pamalayu dimulai 22 Agustus 2019. Perayaan ini merujuk momentum pada penanggalan Amoghapasa dan hari jadi Kabupaten Dharmasraya. Puncaknya pesta rakyat tujuh hari tujuh malam, tanggal 1-7 Januari 2020.
Melalui Festival Pamalayu, pemerintah Dharmasraya kembali menoleh kejayaan masa lalu di Dharmasraya. Juga melalui festival Pamalayu ini Pemkab Dharmasraya ingin menyemai benih baru dan meluruskan sejarah.
"Nilai-nilai kebaikan terus berlanjut hingga ke masa Islam dengan eksistensi beberapa kerajaan di Dharmasraya yang masih hidup hingga kini," kata Sutan Riska Tuanku Kerajaan dikutip dari laman resmi Pamalayu.
Bupati Kabupaten Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan dalam peluncuran Festival Pamalayu yang digelar di Museum Nasional, mengatakan, festival Pamalayu ini dapat mememetik nilai-nilai persatuan dan persahabatan antar dua kerajaan besar pada masa lalu tersebut.
Selain itu, festival Pamalayu diharapkan menjadi pintu menjemput nilai-nilai kebaikan di masa lalu. "Menurut pandangan kami, di masa lalu bangsa kita mempunyai peradaban tinggi yang selaras dengan alam. Manusia menjaga alam dengan baik dan alam melindungi manusia," ujar Bupati.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement