Sukses

Nantikan Saidjah Adinda Besutan Kremov Pictures Banten

Tahun ini Kremov akan memproduksi film Saidjah dan Adinda yang diadaptasi dari Novel Max Havelaar karya Multatuli.

Liputan6.com, Banten - Komunitas film Kremov Pictures yang bertempat di Banten, setiap tahunnya memproduksi film-film bertemakan kebudayaan pariwisata dan kearifan lokal. Kremov Pictures kerap menggarap film yang bertemakan kebudayaan pariwisata dan kearifan lokal, salah satunya Tirtayasa The Sultan of Banten, karya yang dapat dibilang masterpiece pada 2017.

Pada 2020 ini, Kremov akan menggarap feature film, yaitu Saidjah dan Adinda, yang diadaptasi dari novel Max Havelaar karya Multatuli.

CEO Kremov Pictures dan sutradara, Darwin Mahesa, mengatakan Saidjah dan Adinda merupakan film yang sejak lama ingin dibuat Kremov.

"Saya telah membaca novel sejak 10 tahun lalu, dan tahun 2014 mulai menyusun skenario draft 1. Saya pikir saat itu belum siap untuk membuat film ini, tapi sekarang adalah waktu yang tepat untuk membuat konten film yang memiliki semangat membunuh kolonialisme dan dijadikan sebagai karya akademis," ujar Darwin kepada Liputan6.com, Selasa, 7 Januari 2020.

Berbagai persiapan dan penelitian dilakukan komunitas yang beranggotakan 35 orang ini. Hal tersebut dilakukan agar film yang dibuat tidak melenceng dari jalan cerita novel Max Havelaar yang rilis sekitar tahun 1860.

"Di awal tahun 2019 lalu kami telah intens membuat naskah, menemui budayawan, riset, hingga mencari berbagai lokasi yang memungkinkan untuk menjadi tempat shooting. Hingga detik ini kami masih terus merevisi naskah. Kami berusaha melakukan yang terbaik untuk film Saidjah dan Adinda," kata Darwin.

Darwin bersama timnya masih mematangkan praproduksi dari film Saidjah dan Adinda yang akan memulai produksi beberapa bulan ke depan.

Dengan dibuatnya film ini, Darwin berharap bisa memberikan tontonan edukasi bagi pencinta film, terutama yang bermuatan sejarah.

"Kami ingin mendukung gerakan anti kolonialisme. Tentunya film ini selain memiliki nilai edukasi dan hiburan, juga banyak manfaat untuk masyarakat ke depannya. Tentu kami mengambil sudut pandang dalam film Saidjah dan Adinda adalah tentang melawan kolonialisme. Terlebih tahun ini merupakan 200 tahun kelahiran Multatuli," kata Darwin.

Film Saidjah dan Adinda pada 1976 pernah dibuat oleh Belanda dengan judul sama seperti novelnya, yaitu Max Havelaar.

"Pada film Saidjah dan Adinda yang pernah dibuat Belanda hanya 20 persen lebih menceritakan biografi Max Havelaarnya. Bedanya kalau kali ini Saidjah dan Adinda karya Kremov Pictures 80 persen akan menceritakan lebih detail mulai dari anak-anak hingga kisah percintaan saat remaja," tutur Darwin kepada Liputan6.com.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Saidjah dan Adinda, Kisah Cinta Tragis di Tanah Banten

Film Saidjah dan Adinda diangkat dari novel berjudul Max Havelaar karya Multatuli. Berlatar di Desa Badur, Lebak, Banten, tahun 1856. Max Haveelar mengisahkan Saidjah kecil yang menyayangi kerbau miliknya seperti sahabat sendiri. Sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Berkali-kali kerbau milik Saidjah diambil paksa oleh suruhan Bupati Lebak dan Demang Parungkujang yang masih kemenakan bupati.

Tak ada rakyat yang berani melawan. Para jawara ini ditakuti oleh seluruh rakyat. Belum ada yang berani melawan ketajaman golok mereka. Pemerasan ini terjadi terus-menerus hingga akhirnya ayah Saidjah tak punya apa-apa lagi. Semua harta kekayaannya habis diperas oleh Demang Parangkujang.

Dalam kesedihan, Saidjah tumbuh menjadi seorang pemuda. Dia menjalin kasih dengan Adinda, sahabatnya sejak kecil. Saidjah lalu pergi ke Batavia, menjadi pengurus kuda dan pelayan di Batavia.

Dia mengumpulkan uang untuk kelak melamar Adinda. Adinda yang ditinggal sendiri di Lebak, setia menanti kedatangan Saidjah selama 3 kali 12 bulan. Dengan menggoreskan lesungnya, Adinda terus berdoa untuk kehadiran Saidjah.

Namun, penantian Adinda tidak berakhir bahagia. Kisah cinta mereka berakhir tragis. Seperti apa drama cinta ini, tunggu film yang bakal digarap komunitas Kremov ini.

 

Akhmad Mundzirul Awwal/PNJ.