Sukses

Pengusaha di Aceh Sebut Nama Din Minimi untuk Ancam Wartawan

Seorang wartawan di Aceh diancam akan dibunuh oleh seorang direktur utama Perusahaan Bongkar Muat (PBM), di mana sang pengancam sempat membawa-bawa nama Din Minimi, seorang eks kombatan GAM yang sempat terlibat kasus pembunuhan di Aceh.

Liputan6.com, Aceh - Seorang wartawan di Aceh mengaku diancam akan dibunuh. Korban bernama AF (23), pewarta sebuah tabloid mingguan cum media daring terbitan lokal, sementara, yang dituding sebagai pelaku ialah Ak (36), direktur utama sebuah Perusahaan Bongkar Muat (PBM).

Pengancaman tersebut berkenaan dengan pemberitaan yang belum lama ini ditulis oleh AF. Berita itu terbit secara daring. Isi beritanya tentang aksi pengadangan truk pengangkut tiang pancang milik perusahaan rekanan proyek pembangunan PLTU Unit 3 dan 4 oleh warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Untuk tiap unit truk angkutan yang melewati permukiman awalnya dikenakan biaya kompensasi untuk desa sebesar Rp100.000, tetapi, hal tersebut kabarnya tidak lagi dilakukan selama rekanan berganti sehingga warga protes.

AF mengaku sempat dikirimi pesan oleh Ak yang isinya bernada kurang senang atas berita yang ditulis oleh AF. Dia dituding berat sebelah dalam mengkaver berita.

Ia dijemput dua orang suruhan Ak di sebuah warung kopi setelah terjadi interaksi yang alot antara dirinya dengan Ak. Salah seorang penjemput, yang belum diverifikasi, disebut-sebut seorang tentara.

Namun, tindakan dugaan pengancaman baru dialami AF di kantor Forum Tiga Wilayah (ForTiL), yang terletak di Desa Suak Ribee, Kecamatan Johan Pahlawan pada dini hari, yang berlangsung di depan beberapa awak media.

Ak, kata AF, sempat show of force, dengan cara mengeluarkan senjata api dari dalam laci meja lalu menyerahkan senjata tersebut kepada anak buahnya. Sempat pula ada yang memegangi leher AF hingga mengeluarkan kata-kata yang menurutnya tendensius.

"Kaleuh ka kalon ata loen koen? Ngen nyan kupeuhabeh kah, kalau deuh kah di Meulaboh dipat mantong. Kumamoh kah, ku peuhabeh kah, lon kedro yang peuhabeh kah. Jino leubeh get kah gadoh dari Meulaboh selama sibuleuen, han habeh kah kupeuget".

"Sudah kamu lihat punya aku, kan? Dengan ini aku habisi kamu jika kamu terlihat di Meulaboh di mana saja. Kumakan kamu, kuhabisi kamu dan aku sendiri yang akan melakukannya. Sekarang, lebih baik kamu menghilang dari Meulaboh selama satu bulan, kalau tidak aku habisi kamu," ancam Ak, diulang AF, seperti pengakuannya di media.

AF juga dipaksa menandatangani surat yang ditulis tangan di atas meterai. Isinya berupa pernyataan klarifikasi di tiga media serta pengakuan bahwa yang ditulis terkait perusahaannya itu salah dan fitnah.

Paling bawah pada surat terdapat catatan kecil berupa pernyataan bahwa AF siap menerima balasan dan hukuman 'apa saja' dari Ak. Ini berlaku apabila dirinya tidak melakukan apa yang telah tertulis di dalam surat pernyataan tersebut.

AF pun harus menerima konsekuensi jika proyek liyan yang sedang menanti perusahaan itu kelak gagal didapat karena berita yang telah ditulisnya. Menurut pengakuan AF, Ak sempat membawa-bawa nama Din Minimi, eks kombatan, saat mengancamnya.

"Bahkan, bukan hanya dengan dia, menurut Ak, Din Minimi juga akan mencari saya apabila proyek itu gagal didapatkan mereka," akuan AF.

Din Minimi atau Abu Minimi pernah jadi sorotan akhir 2014 lalu. Pria bernama panjang Nurdin Ismail sempat diburu karena beberapa kasus kriminal yang dialamatkan kepadanya.

Ia dan gerombolannya 'turun gunung' difasilitasi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso. Din Minimi meletakkan senjata pada Desember 2015.

Liputan6.com, telah memverifikasi persoalan pencatutan nama ini kepada Din Minimi dengan cara menghubunginya via telepon. Ia mengaku tidak mengenal Ak sama sekali.

"Mana ada, kita saja tidak tahu menahu. Kita di Aceh Timur sini," tepis Din Mini, menjawab Liputan6.com, Senin pagi (6/1/2020).

Malam itu, katanya, turut hadir seorang oknum Komite Peralihan Aceh (KPA) Kabupaten Nagan Raya. Oknum dari komite yang menjadi wadah eks para kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca-konflik ini disebut-sebut ikut mencela AF, termasuk seorang wartawan dari media lokal yang disebut-sebut tak ikut mendukung rekan seprofesinya.

AF di bawah tekanan pada akhirnya terpaksa menandatangani surat yang disodorkan Ak. Keesokan harinya, ia didampingi sejumlah awak media membuat pengaduan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Aceh Barat, sementara pada hari yang sama Ak diamankan oleh polisi.

2 dari 3 halaman

Para Pihak yang Mengecam

Pimpinan perusahaan media tempat AF bernaung, Muhammad Saleh, mengatakan bahwa Ak merupakan orang pertama yang harus bertanggung jawab secara hukum, jika terjadi sesuatu terhadap pekerjanya. Ia pun mengecam sikap Ak yang disebutnya berlindung di balik kekuasaan.

"Walau disebut dia orang kuat dan banyak backing, tapi bukan berarti bisa berbuat seenaknya dan melanggar hukum," tegas Saleh, mengutip keterangannya kepada Liputan6.com, Senin pagi.

Sementara itu, dua organisasi profesi jurnalis di Aceh, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Aceh dalam rilis resmi diterima Liputan.com, Senin pagi, mendesak kepolisian berperan aktif mengusut kasus ini hingga tuntas. Selain itu, menyeret pelaku ke muka hukum atau pengadilan serta menjamin keselamatan AF yang notabene tinggal satu daerah dengan pengancamnya.

Hal liyan yang perlu ditekankan dalam kasus dugaan pengancaman ini menurut kedua lembaga ialah aturan mana yang akan diterapkan kepada pelaku kelak. Pers memiliki lex specialis atau undang-undang khusus yang mengatur ketentuan pidana bagi setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja seorang jurnalis.

AF mendapat ancaman dalam kapasitasnya sebagai seorang jurnalis. Kenyataan ini harusnya menjadi dasar bagi polisi untuk menyeret pelaku ke pidana khusus (pidsus) bukan malah pidana umum (pidum), atau menimpakan pelaku dengan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketentuan pidana dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, menyebutkan bahwa orang yang sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal seperti yang tertera dalam UU tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda Rp500 juta. Sementara, pasal 335 KUHP yang kabarnya menjadi proyeksi kepolisian hanya mengancam pelaku dengan hukuman penjara paling lama 1 tahun, atau denda Rp 4500.

Penerapan pasal UU Pers terhadap pelaku menjadi penting bagi kedua lembaga pers itu. Ini demi kepastian hukum serta menjamin eksistensi 'UU Pers' di Indonesia, yang memang mengatur segala sesuatunya, berkaitan dengan pers.

3 dari 3 halaman

Bantahan Pelaku

Ak membantah tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Liputan6.com menghubunginya via telepon, saat yang bersangkutan berada di Kantor Kepolisian Resor Aceh Barat, Senin sore, untuk menjalani proses pemeriksaan.

Ak mengatakan bahwa yang bertanggung jawab penuh atas dana kompensasi tersebut sebetulnya adalah PT PBI sementara perusahaannya hanya bergerak di bidang bongkar muat.

"PT TAU sebagai perusahaan tunggal yang dapat kontrak permanen untuk di pelabuhan calang dari kapal ke penumpukan pelabuhan, dan untuk item transportasi dipegang oleh PT Indonesia Ocean Truck, dan anak perusahaannya, PT PBI, pimpinan HW," jelas Ak.

Terkait senpi yang kata AF sempat dikeluarkan Ak dari laci meja diakui oleh Ak hanya macis yang mirip revolver. Dalam laporan khusus kepolisian yang telah dikonfirmasi juga disebutkan bahwa barang bukti yang diamankan adalah korek api.

Namun, dalam pernyataannya di sebuah media lokal, Ak mengakui telah memiliki izin atas senjata api yang sempat diperlihatkan kepada AF. Ini otomatis memperkuat dugaan bahwa senjata api tersebut benar-benar ada.

Soal senjata api yang diduga dimiliki Ak, Ketua Harian Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin) Aceh, Tarmizi Sabena, mengatakan bahwa yang bersangkutan sama sekali tidak tercatat sebagai anggota persatuan tersebut.

"Dan, senjata anggota Perbakin itu dipakai bukan untuk menakuti-nakuti orang," ujar Sabena, menjawab Liputan6.com.

Memiliki senjata api ilegal tentu saja pelanggaran yang cukup serius, diancam dengan hukuman yang serius pula. Dalam UU Darurat No. 12 Tahun 1951 disebutkan bahwa orang yang menyalahgunakan senjata api dapat dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.

"Secara pribadi, meminta maaf atas sikap dan tingkah laku saya tidak 'sopan' saat menyelesaikan klarifikasi terkait pemberitaan di media Modus Aceh, dan, permohonan saya juga media Modus Aceh untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," dia menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini: