Sukses

Penangkapan Sudarto Atas Isu Larangan Perayaan Natal di Dharmasraya Dinilai Janggal

Koalisi Pembela HAM Sumbar mengecam kriminalisasi terhadap Sudarto, Pimpinan Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka), atas sikapnya yang kritis terhadap pelarangan Natal di Dharmasraya, Sumbar.

Liputan6.com, Padang - Koalisi Pembela HAM Sumbar mengecam kriminalisasi terhadap Sudarto, Pimpinan Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka), atas sikapnya yang kritis terhadap pelarangan Natal di Dharmasraya, Sumbar.

Mereka mendesak kepolisian untuk segera membebaskan Sudarto, karena dirinya merupakan orang memperjuangkan kebebasan beribadah kelompok minoritas di beberapa daerah Sumatera Barat.

Nama Sudarto muncul ketika vokal menyuarakan adanya pelarangan perayaan Natal di dua daerah di Sumatera Barat, yakni Kabupaten Sijunjung dan Dharmasraya beberapa waktu terakhir.

Penangkapan Sudarto diduga akibat unggahan di Facebook pribadinya beberapa waktu lalu soal pelarangan perayaan Natal di dua daerah tersebut.

"Penjara diperuntukkan bagi orang-orang yang melanggar hak asasi orang lain, di antaranya yang menghambat aktivitas peribadatan bagi umat beragama, bukan sebaliknya," kata Anggota Koalisi Pembela HAM Sumbar, Rifai Lubis di Padang, Rabu (8/1/2020).

Rifai meminta Polda Sumbar jangan mengkriminalisasi orang-orang yang memperjuangkan hak atas beribadah orang lain, karena setiap warga negara berhak memeluk, menyakini, dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya.

"Kami tahu Sudarto adalah orang memperjuangkan kebebasan beribadah orang lain bukan malah menghambatnya. Tindakan polisi ini di khawatirkan semakin memberi ruang untuk terus berkembangnya intoleransi di Sumatera Barat," ujarnya.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Ada Apa di Balik Penangkapan?

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Wendra Rona Putra yang mendampingi Sudarto menjalani proses hukum mengatakan, penangkapan terhadap Sudarto merupakan salah satu bentuk pembungkaman demokrasi di Indonesia.

Pemakaian pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik terus dilakukan oleh negara, demi membungkam suara-suara kritis dalam menyuarakan hak-hak masyarakat yang ditindas, dan dikucilkan.

Tentunya penangkapan Sudarto, kata Wendra, berbahaya bagi perkembangan demokrasi ke depan terlebih dalam isu-isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Dirinya juga mengungkapkan, dalam penangkapan itu terdapat kejanggalan karena sebelumnya Sudarto tidak pernah dipanggil oleh Polsek, Polres Dharmasraya, dan Polda Sumatera Barat.

Penangkapan terjadi tiba-tiba tanpa prosedur, apalagi tanpa pemanggilan terlebih dahulu, telah melanggar ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang mengamanatkan sebelum penangkapan mestinya dilakukan upaya paksa pemanggilan. Inilah yang mengundang pertanyaan besar, ada apa di balik penangkapan tersebut?

"Kami akan terus mendampingi dan menghadapi proses hukum ini bersama-sama," katanya.

Sudarto sendiri ditangkap pada 7 Januari 2020 pada pukul 13.15 WIB di Kantor Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) oleh Kepolisian Daerah Sumbar karena dianggap menyebarkan informasi yang memicu kebencian dan menimbulkan permusuhan.