Sukses

Tanggapi Pengancaman Wartawan, Dewan Pers Surati Polres Aceh Barat

Dewan Pers melayangkan surat kepada Kepolisian Resor (Polres) Aceh Barat sebagai tanggapan atas dugaan pengancaman yang menimpa AF (23), wartawan sebuah tabloid mingguan cum daring terbitan lokal, berikut penjelasannya:

Liputan6.com, Aceh - Dewan Pers melayangkan surat kepada Kepolisian Resor (Polres) Aceh Barat sebagai tanggapan atas dugaan pengancaman yang menimpa AF (23), wartawan sebuah tabloid mingguan cum daring terbitan lokal. Dengan ini, kasus yang melibatkan direktur utama perusahaan bongkar muat (PBM) di Aceh Barat itu menuju ke babak yang lebih serius.

Dalam surat bertanggal 16 Januari dengan nomor 39/DP-K/I/2020, disebutkan bahwa Dewan Pers telah menerima surat dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Ikatan Jurnalis Televesi Indonesia (IJTI) Aceh, serta pimpinan redaksi media di mana AF bekerja pada 15 Januari. Isinya menjelaskan kronologi dugaan pengancaman yang dilakukan Ak (36) terhadap AF pada 5 Januari, buntut pemberitaan ditulis AF yang menyeret nama perusahaan Ak.

Dewan Pers mengeluarkan dua poin pernyataan. Pertama, soal hak pers sesuai Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, kedua, menjelaskan bahwa pengancaman masuk dalam kategori "menghalang-halangi" yang terdapat dalam pasal 18 ayat 1 UU tersebut.

"Surat itu benar dari Dewan Pers setelah saya ke Jakarta bertemu Dewan Pers langsung untuk bedah kasus di sana," jelas Kepala Divisi Advokasi AJI Kota Banda Aceh, Juli Amin, dihubungi Liputan6.com, Jumat siang (17/1/2020).

AJI Kota Banda Aceh ingin proyeksi kepolisian dalam kasus ini tidak mengarah kepada kasus pidana yang bersifat umum. Ini karena pers memiliki undang-undang khusus yang mengatur ketentuan pidana bagi setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalis.

AF mendapat ancaman dalam kapasitasnya sebagai seorang jurnalis. Fakta ini dinilai patut jadi dasar bagi polisi untuk menyeret pelaku ke pidana khusus (pidsus) bukan pidana umum (pidum), atau menimpakan pelaku dengan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketentuan pidana dalam UU Pers menyebutkan bahwa orang yang sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal seperti yang tertera dalam UU Pers dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda Rp500 juta. Sementara, pasal 335 KUHP yang kabarnya dipakai untuk menjerat terduga memiliki hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda Rp4.500.

"Layak Polres Aceh Barat memasukkan UU Pers dalam hal ini pasal 18 ayat 1," sebut Juli.

2 dari 3 halaman

Kronologi Pengancaman

Pengancaman tersebut berkenaan dengan pemberitaan yang belum lama ini ditulis oleh AF. Berita yang terbit secara daring isinya tentang aksi pengadangan truk pengangkut tiang pancang milik perusahaan rekanan proyek pembangunan PLTU Unit 3 dan 4 oleh warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Untuk setiap unit truk angkutan yang melewati permukiman awalnya dikenakan biaya kompensasi untuk desa sebesar Rp100 ribu, tetapi, hal tersebut kabarnya tidak lagi dilakukan selama rekanan berganti.

AF mengaku sempat dikirimi pesan oleh Ak yang isinya bernada kurang senang atas berita yang ditulisnya. Dia dituding berat sebelah dalam menulis berita.

Ia dijemput dua orang diduga suruhan Ak di sebuah warung kopi setelah terjadi interaksi yang alot antara dirinya dengan Ak. Salah seorang penjemput, yang belum diverifikasi, disebut-sebut adalah tentara.

Tindakan dugaan pengancaman baru dialami AF di kantor Forum Tiga Wilayah (ForTiL), yang terletak di Desa Suak Ribee, Kecamatan Johan Pahlawan pada dini hari, yang berlangsung di depan beberapa awak media.

Kata AF, Ak sempat memperlihatkan senjata api dari dalam laci meja lalu menyerahkan senjata tersebut kepada anak buahnya. Sempat pula ada yang memegangi leher AF hingga mengeluarkan kata-kata yang menurutnya tendensius.

"Kaleuh ka kalon ata loen koen? Ngen nyan kupeuhabeh kah, kalau deuh kah di Meulaboh dipat mantong. Kumamoh kah, ku peuhabeh kah, lon kedro yang peuhabeh kah. Jino leubeh get kah gadoh dari Meulaboh selama sibuleuen, han habeh kah kupeuget."

"Sudah kamu lihat punya aku, kan? Dengan ini aku habisi kamu jika kamu terlihat di Meulaboh di mana saja. Kumakan kamu, kuhabisi kamu dan aku sendiri yang akan melakukannya. Sekarang, lebih baik kamu menghilang dari Meulaboh selama satu bulan, kalau tidak aku habisi kamu," ancam Ak, diulang AF, seperti pengakuannya di media.

AF dipaksa menandatangani surat yang ditulis tangan di atas meterai. Isinya pernyataan klarifikasi di tiga media serta pengakuan bahwa yang ditulis terkait perusahaan Ak salah dan fitnah.

Paling bawah pada surat terdapat catatan kecil berupa pernyataan bahwa AF siap menerima balasan dan hukuman 'apa saja' dari Ak. Ini berlaku apabila dirinya tidak melakukan apa yang telah tertulis di dalam surat pernyataan tersebut.

AF pun harus menerima konsekuensi jika proyek liyan yang sedang menanti perusahaan itu kelak gagal didapat karena berita yang telah ditulisnya. Menurut pengakuan AF, Ak sempat membawa-bawa nama Din Minimi, eks kombatan, saat mengancamnya.

"Bahkan, bukan hanya dengan dia, menurut Ak, Din Minimi juga akan mencari saya apabila proyek itu gagal didapatkan mereka," akuan AF

Din Minimi atau Abu Minimi pernah jadi sorotan akhir 2014 lalu. Pria bernama panjang Nurdin Ismail sempat diburu karena beberapa kasus kriminal yang dialamatkan kepadanya.

Ia dan gerombolannya 'turun gunung' difasilitasi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso. Din Minimi meletakkan senjata pada Desember 2015.

3 dari 3 halaman

Klarifikasi Din Minimi

Liputan6.com telah memverifikasi persoalan pencatutan nama ini kepada Din Minimi dengan cara menghubunginya via telepon. Ia mengaku tidak mengenal Ak sama sekali.

"Mana ada, kita saja tidak tahu menahu. Kita di Aceh Timur sini," tepis Din Mini, Senin pagi (6/1/2020).

Malam itu, katanya, turut hadir seorang oknum Komite Peralihan Aceh (KPA) Kabupaten Nagan Raya. Oknum dari komite yang menjadi wadah eks-kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pascakonflik ini disebut-sebut ikut mencela AF, termasuk seorang wartawan dari media lokal yang disebut-sebut tak ikut mendukung rekan seprofesinya.

Di bawah tekanan, AF akhirnya menandatangani surat yang disodorkan Ak kepadanya. Keesokan harinya, ia didampingi sejumlah awak media membuat pengaduan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Aceh Barat, sementara pada hari yang sama Ak ditangkap polisi.

Di pihak berbeda, Ak membantah tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Liputan6.com menghubunginya via telepon, saat yang bersangkutan berada di Kantor Kepolisian Resor Aceh Barat, ketika dirinya menjalani proses pemeriksaan.

Ak mengatakan bahwa yang bertanggung jawab penuh atas dana kompensasi tersebut sebetulnya adalah PT PBI, sementara, perusahaannya hanya bergerak di bidang bongkar muat.

"PT TAU sebagai perusahaan tunggal yang dapat kontrak permanen untuk di pelabuhan calang dari kapal ke penumpukan pelabuhan, dan untuk item transportasi dipegang oleh PT IOT, dan anak perusahaannya, PT PBI, pimpinan HW," jelas Ak.

Terkait senpi yang kata AF sempat dikeluarkan Ak dari laci meja diakui oleh Ak hanya macis yang mirip Revolver. Dalam laporan khusus kepolisian yang telah dikonfirmasi juga disebutkan bahwa barang bukti yang disita adalah korek api.

Namun, dalam pernyataannya di sebuah media daring terbitan lokal, Ak mengakui telah memiliki izin atas senjata api yang sempat diperlihatkan kepada AF. Ini otomatis memperkuat dugaan publik bahwa senjata api tersebut bisa jadi benar-benar ada.

Soal senjata api yang diduga dimiliki Ak, Ketua Harian Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin) Aceh, Tarmizi Sabena, mengatakan bahwa yang bersangkutan sama sekali tidak tercatat sebagai anggota persatuan tersebut.

"Dan, senjata anggota Perbakin itu dipakai bukan untuk menakuti-nakuti orang," ujar Sabena.

Simak video pilihan berikut ini: