Liputan6.com, Jambi - Air keruh itu masih tampak menggenang di sisi kiri Candi Kembar Batu yang berada di kompleks Percandian Muarajambi. Genangan itu terjadi setelah guyuran hujan yang terjadi semalam.
Saluran atau tali air di Candi Kembar Batu yang dulu dibikin leluhur, sekarang tak berfungsi lagi. Tumpahan air dari langit tak dapat lagi mengalir ke kanal-kanal sejak pagar beton dan besi pongah itu menghalanginya.
Biasanya sebelum ada sumbatan dari pagar beton dan besi, air langsung mengalir dari parit ke kanal-kanal tua yang menghubungkan bangunan candi lainnya. Sekarang kehadiran pagar beton baru itu seperti mencekik air sehingga tak leluasa mengalir.
Advertisement
Sebagian besar bangunan candi di komplek Percandian Muarajambi selalu dikelilingi oleh struktur parit dan kanal-kanal. Fungsinya selain sebagai pagar juga berfungsi sebagai saluran air yang mengalir ke kanal-kanal dan sungai.
Baca Juga
Pun parit dan kanal itu pada masa lampau pernah berfungsi menjadi saluran lalu lintas perahu yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan candi lainnya. Sebagai benteng penghalau binatang liar, dan sebagai kolam penampungan air dari Batanghari saat musim banjir.
"Parit dan kanal-kanal itu menjadi urat nadinya kompleks Percandian Muarajambi. Jadi kalau urat nadinya disumbat tentu tidak berfungsi, contohnya kecilnya di Candi Kembar Batu," kata Ketua DPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Muaro Jambi, Supriyadi kepada Liputan6.com belum lama ini.
Bangunan candi menurut Supriyadi, tak perlu lagi dibangun pagar beton. Selain merusak estetika, juga merusak bangunan cagar budaya itu sendiri. Seharusnya pagar parit yang dibuat leluhur agar dibiarkan alami, karena bisa menjadi tempat belajar tentang tata kelola air.
"Fungsi parit itu digunakan untuk sistem drainase kompleks candi, terbukti saat Sungai Batanghari meluap, di kompleks Percandian Muarajambi tidak terkena genangan ataupun banjir," kata dia.
Kehadiran pagar-pagar beton baru yang bisa menghilangkan fungsi drainase itu tak hanya disesalkan oleh Supriyadi. Namun juga disesalkan oleh Ridho selaku Ketua Karang Taruna Desa Muarajambi, Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi.
Ridho, lelaki berbadan gempal yang biasa dipanggil Pak Karang itu memang bukan seorang arkeolog. Tapi ia mengetahui betul jika struktur parit itu adalah jalur saluran air. Itu diketahui karena ia penduduk lokal dan cukup intens berkecimpung di percandian Muarajambi.
"Setiap candi ada parit suci, dan itu ada satu jalur yang menghubungkan ke kanal kuno, airnya hidup mengalir deras. Seharusnya bukan pagar beton yang dibangun," kata Ridho.
Nenek moyang dulu sebut dia, telah memikirkan teknologi untuk mengamankan bangunan candi, yakni dengan jalur air. Ketika musim puncak penghujan dan banjir akan kelihatan banyak kanal-kanal yang dialiri air.
"Itu (parit dan kanal-kanal kuno) yang harus dinormalisasi seharusnya," katanya.
Kawasan percandian Muarajambi memiliki 82 reruntuhan bangunan kuno (menapo) yang terhampar di area 3.981 hektare. Dari 82 reruntuhan kuno itu, beberapa diantaranya telah diekskavasi, seperti Candi Kembar Batu, Candi Gumpung, Candi Kedaton, Candi Tinggi I dan II.
Ragam literatur berpendapat kawasan candi Muarajambi sebagai peninggalan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Juga, literatur lain menyebutkan kawasan itu dulunya sebagai tempat orang-orang menimba ilmu dan sebagai pusat pengajaran agama Buddha.
Kini masih banyak persoalan di kompleks Percandian Muarajambi itu. Salah satunya, yakni upaya pelestarian yang malah menghilangkan estetika itu kini tengah dihadapi cagar budaya peninggalan Buddha yang diperkirakan dibangun pada abad VII-XIII.
Tak hanya kehadiran pagar beton di Candi Kembar Batu yang merusak drainase air. Pun kehadiran besi sebagai penopang jembatan kayu yang dibangun di atas gapura candi, juga menurut Ridho, dapat merusak estetika pelestarian di kompleks Percandian Muarajambi.
Â
Atas Nama Pelestarian
Sore itu pengunjung lalu lalang di komplek Percandian Muarajambi. Rombongan pengunjung itu melewati jembatan undak-undakan dan memasuki pelataran Candi Gumpung.
Jembatan undak-undakan berkelir coklat dan hijau yang ditopang oleh besi itu melangkahi undak-undakan gapura di Candi Gumpung. Besi sebagai penopang jembatan itu hampir menyentuh batu-bata bangunan candi.
Penambahan elemen baru seperti jembatan di atas gapura bisa merusak artistik atau estetika bangunan tua. Apalagi menurut Ridho, penopang jembatan itu menggunakan besi. Selain di Candi Gumpung, jembatan serupa juga dibangun di Candi Kembar Batu, Candi Tinggi I dan Candi Tinggi II.
Penambahan elemen baru dengan menggunakan bahan besi itu bisa menjadi bumerang untuk benda cagar budaya. Dikhawatirkan jika besi sebagai penopang itu berkarat maka akan cepat membuat rapuh batu bata yang berada di bawahnya.
"Itu jembatan pakai besi, fungsinya supaya batu bata tidak diinjak secara langsung. Tapi sebenarnya ada cara lain supaya pengunjung yang pakai sepatu itu tidak menginjak bangunan candi, misalnya ketika masuk candi itu pakai sandal yang sudah disiapkan," kata Ridho.
"Juga diakui ada hal-hal yang harus kita kembangkan, tapi sebelum membangun jembatan itu tentu butuh kajian yang matang supaya tidak menjadi bumerang," lanjutnya.
Advertisement
Evaluasi BPCB Jambi
Kepala Balai Pelestarian Caga Budaya (BPCB) Jambi, Iskandar Mulia Siregar, mengaku tidak mengetahui jika pagar beton yang dibangun oleh institusinya itu telah menghambat saluran drainase di Candi Kembar Batu. Pembangunan pagar itu awalnya kata dia, hanya sebagai pembatas kepemilikan lahan negara.
Iskandar juga tak menampik, kalau keberadaan parit yang terhubung ke kanal kuno itu sangat penting. Ia juga mengaku akan segera mengecek pembangunan pagar beton yang dibangun oleh pihak ketiga itu.
"Nanti segera kita tengok kesana. Memasuki tahun 2020 ini saya belum ada ke sana. Kalau memang menghambat saluran air karena nilai sejarah kanal itu yang penting, jadi kemungiknan pagar itu akan kita pindah atau kita bongkar. Tidak masalah," kata Iskandar kepada Liputan6.com.
Pembangunan pagar yang telah merusak drainase air itu lanjut dia, menjadi koreksi bagi pekerjaan di institusinya. Sebab selama ini pengawai BPCB yang berada di Muarajambi jumlah terbatas sehingga mereka sulit mengontrol dalam pengerjaan pelestarian.
"Bagaimana caranya kalau sudah menghalangi air maka harus diperbaiki itu, karena itu kan masih tahap pemeliharaan. Kenapa kita menggunakan beton dan besi karena kalau pakau kayu itu agak susah mencari bahannya," ujarnya.
Sementara itu terkait penambahan elemen baru berupa jembatan dengan penopang besi yang dibangun di pintu masuk candi, dia mengaku, dilema. Sebab, jika tidak ada jembatan dikhawatirkan akan ramai diinjak pengunjung.
"Memang kita agak sulit juga, kalau pakai kayu tidak kuat. Tapi kalau besi itu nanti karatan gimana. Jadi solusinya besi itu kita cat. Juga soal jembatan itu memang kita sempat dilema juga, kalau pengunjung tidak boleh masuk ya tidak mungkin," pungkas Iskandar.
Simak video pilihan berikut: