Sukses

Tokoh Masyarakat Buka Suara soal Eksekusi Lahan di Pelalawan

Eksekusi lahan di Kabupaten Pelalawan sebagai buntut putusan MA berimbas bagi ribuan petani plasma di sana. Penumbangan pohon sawit disebut akan merugikan pemerintah Riau jika PK yang diajukan dikabulkan.

Liputan6.com, Pelalawan - Eksekusi lahan di Desa Gondai, Kecamatan Pelalawan, Riau, terus berlangsung. Petani plasma yang bermitra dengan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) terus melawan meski mereka sadar takkan sanggup menghadapi pentungan ataupun senjata dari sekuriti serta kepolisian setempat.

Eksekusi lahan ini memang baru dilakukan di lahan inti PT PSJ. Namun dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018, ada 3.320 hektare target eksekusi. Seribu lebih di antaranya merupakan lahan plasma petani sejak puluhan tahun lalu.

Perlawanan petani plasma dari beberapa koperasi ini disorot sejumlah pihak. Misalnya pimpinan DPRD Riau Zukri Misran meskipun akhirnya dia diminta petugas meninggalkan lokasi. Berikutnya, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR, Marsiaman Saragih, juga turun ke lokasi.

Kepada petani yang sudah satu pekan lebih bertahan di lokasi, Marsiaman menyatakan tidak setuju jika sawit lahan plasma ditumbangi. Diapun berjanji akan menyampaikan jeritan petani ini kepada Presiden Joko Widodo.

"Karena itu saya kemari setelah ada laporan dari petani. Saya diutus fraksi ke sini," ujar Marsiaman di hadapan ratusan petani.

Marsiaman mengingatkan kepada pihak terkait untuk tidak mengorbankan rakyat. Apalagi para petani sudah puluhan tahun membuat kebun sawit dan berada di Kecamatan Langgam itu.

"Warga sudah di sini sejak tahun 1998, berarti sudah 20 tahun. Jadi memang ada hak warga, apa sertifikat atau bagaimana terserah nanti gimananya," kata wakil rakyat dari Dapil Riau II ini.

Menurut Marsiaman, berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 88 tahun 2017, apabila masyakarat sudah mengerjakan lahan paling sedikit 20 tahun maka akan diberikan hak kepadanya.

"Ini harus saya sampaikan ke Presiden Jokowi, karena Pak Presiden yang mengeluarkan Keppres. Ini belum pernah diterapkan di Riau. Jadi kita berharap lahan di Gondai ini jadi yang pertama," lanjutnya.

Marsiaman meminta petani tidak bertindak anarkis dalam mengadang eksekusi lahan ini. Petani diminta tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa serta tetap menjaga lahan plasmanya.

"Tadi saya lihat warga memang panik, mereka takut. Oleh karena itu saya minta surat kepemilikan warga (untuk dibawa ke Jakarta. Saya yakin lahan warga tidak dieksekusi," kata Marsiaman.

2 dari 3 halaman

Kerugian Trilinan Rupiah

Tak hanya DPR, sejumlah pemuka masyarakat di Riau juga berkumpul membahas eksekusi dan perlawanan petani ini. Sejumlah ahli hukum hadir, termasuk juga Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kepala Sawit (Apkasindo) Gulat Mendali Emas Manurung.

Menurut Gulat, Pemerintah Provinsi Riau akan rugi besar jika sawit di lahan 3323 hektare itu ditumbangkan. Alasannya, saat ini ada pengajuan peninjauan kembali (PK) dari PT PSJ dan koperasi terhadap putusan yang mengabulkan kasasi PT Nusa Wana Raya (NWR) itu. Jika PK itu dikabulkan, Pemprov Riau dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) sebagai pelaksana eksekusi harus mengganti sawit yang sudah ditumbangkan. Jumlahnya mencapai Rp 12,4 triliun.

Menurut Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, jumlah itu lebih besar Rp0,21 triliun dibanding APBD Pemprov Riau 2020 yang hanya Rp12,379 triliun.

"Itu baru kerugian materil, belum perhitungan lain," kata Gulat dalam pertemuan dengan pemuka masyarakat Riau itu, Rabu siang, 22 Januari 2020.

Mendengar paparan Gulat tadi, Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), drh Chaidir langsung bergidik. Diapun meminta Pemprov Riau tegas dan cepat menghentikan eksekusi ini menunggu putusan PK.

"Kalau proses hukum nanti dimenangkan oleh masyarakat akan fatal akibatnya," sebut mantan Ketua DPRD Riau ini.

Lagi pula, kata Chaidir, penghentian eksekusi ini demi kepentingan masyarakat di sana. Di mana tugas Pemprov Riau menjaga kelangsungan hidup masyarakatnya.

Sementara Bupati Pelalawan HM Harris menyatakan, tidaklah etis menebang pohon sawit petani secara adat. Pasalnya, di sana ada hak adat yang dimanfaatkan masyarakat tempatan maupun pendatang yang hidup di sana.

"Saya tidak mau mengomentari masalah hukumnya, tapi secara adat itu, sudah enggak pas," kata Batin Bedagu di Pelalawan ini.

Hal serupa juga disampaikan Profesor Dr Yusmar Yusuf. Pemuka masyarakat Riau ini meminta penebangan itu segera dihentikan.

Tokoh pemuda Riau, Saukani, meminta Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) segera mengambil peran dalam persoalan itu. Dia menyebut yang dibela dalam hal ini adalah petani.

"Sebab yang kita bela ini adalah mahluk di Riau yang juga anak kemanakan kita," kata Wakil Ketua LAM Bengkalis ini.

3 dari 3 halaman

Pendapat Ahli Kehutanan

Praktisi hukum perhutanan Dr Sadino sepaham dengan Gulat. Menurutnya, tak ada alasan negara untuk merampas kebun kelapa sawit tadi.

"Kembali kepada putusan MA. Di sana disebutkan PT PSJ bersalah lantaran tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan kemudian didenda Rp5 miliar. Di Undang-Undang 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, tidak ada sanksi eksekusi, tapi lengkapi IUP-nya," kata Sadino.

Dan kalau UU ini diterapkan, tambah Sadino, sebenarnya sudah salah kaprah juga lantaran perkebunan itu sudah ada sejak 20 tahun lalu.

Seandainya PT PSJ didakwa memakai UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, lanjut Sadino, semestinya harus dimulai dari nol lagi. Pasalnya, di putusan MA itu tidak ada disinggung soal pelanggaran kehutanan.

"Dan kalaupun ada pelanggaran, Perpres 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Persoalan Tanah di Kawasan Hutan (PPTKH) sudah mengakomodir itu. Sebab mereka sudah lebih 20 tahun di sana," ujar Sadino.

Jadi, kata dia, siap-siap saja DLHK Riau bertanggungjawab karena menebangi pohon kelapa sawit itu. Seandainya nanti tidak ada anggaran, sudah pasti berujung ke Gubernur Riau.

"Itulah makanya dari awal saya bilang, jangan langsung main tebang dulu. Bahaya! Mestinya cukup pakai berita acara eksekusi dulu. Jika ada upaya hukum luar biasa dilakukan perusahaan dan petani, hargai itu. Kecuali kalau objek itu hanya tanah kosong, terserahlah. Tapi kan enggak, ada tanaman di sana," katanya.

Dalam Hukum Agraria, kata Sadino, ada konsep hukum horizontal. Artinya, jika yang dipersoalkan tanah, mestinya tanaman di atasnya dibayar.

"Dan satu hal yang paling penting, enggak ada dasar perusahaan konsesi merobohkan tanaman orang lain," tegasnya.

Sementara itu, Kasi Penegakan Hukum DLHK diminta komentarnya terkait penundaan eksekusi ini tak bicara banyak. Dia menyebut apa yang dilakukan untuk menjalan putusan MA.

"Upaya PK tidak menghalangi penertiban dan penataan kawasan hutan industri yang dilakukan," ucapnya singkat.

 

Simak video pilihan berikut ini: