Sukses

Menunggu Revitalisasi Keraton Keresidenan Sukapura Tasikmalaya

Sebagai sekutu utama Mataram saat itu, keresidenan Sukapura mendapatkan warisan peninggalan yang cukup melimpah.

Liputan6.com, Tasikmalaya Jauh hari sebelum kemunculan Kesultanan Selaco atau Selacau Tungga Rahayu di Kecamatan Parung Ponteng, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebuah  keresidenan Sukapura, di bawah Kerajanan Mataram, telah berdiri megah, melayani masyarakat kota santri Tasikmalaya saat itu.

Dicky Zulkarnaen Sastradikusumah, (48), Duta Sukapura mengatakan, sejarah Keresidenan Sukapura berasal dari kebataraan Kerajaan Galunggung, kemudian bermetaformosis menjadi kerajaan kecil, yang diakibatkan bencana alam dan hal lainnya.

“Kerajaan Galunggung kemudian pindah ke Sukakerta di wilayah Sukaraja yang kelak menjadi  Sukapura,” ujar dia, Rabu (21/1/2020).

Berdasarkan penelusuran sejarah, Kerajaan pertama di Sukakerta dipimpin Raja Prabu Sri Gading Enteng, satu masa dengan Raja Prabu Siliwangi di Kerajaan Padjajaran.

“Sri Gading Enteng ini konon adalah anaknya Prabu Siliwangi namun berbeda ibu,” ungkap dia.

Kemudian pada tahun 1632 masehi, Kerajaan Sukakerta pindah ke Sukapura yang ditandai dengan sebuah keraton besar Sukapura, yang reruntuhannya masih tersisa hingga kini.

“Saat itu masih dalam penetrasi Mataram dari Jogjakarta,” kata dia.

Beberapa warisan sejarah yang ditinggalkan Keresidenan Sukapura yakni bekas reruntuhan Keraton, peralatan istana, hingga kekayaan Sukapura mulai kolam, sawah, hingga kebun yang tersebar luas hingga ke wilayah Jakarta.

“Sukapura itu sekutu utama Mataram, sehingga banyak warisan yang diberikan,” kata dia.

 

 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 4 halaman

Silsilah Keresidenan Sukapura

Anton Charliyan, salah satu tokoh adat masyarakat sunda mengatakan, berdasarkan data pengelola situs, diketahui jika Keresiden Sukapura merupakan bagian dari Kerajaan Islam Mataram.

Beberapa bukti sejarah yang berhasil dikumpulkan yakni tujuh makam para Raja Sukapura, di komplek pemakaman Dalem Pasir Beganjing.

Kemudian peralatan dan perabotan milik keraton Sukapura, yang terdapat di Museum Alit sekitar Keresiden Sukapura, yang berada di daerah Sukaraja.

“Demikian juga teritori atau wilayah sudah jelas tercatat dalam sejarah, dan ini salah satu peninggalan pada tahun 1632,” ujar Anton, sambil menunjukan bekas reruntuhan bangunan keraton Sukapura.

Menurutnya, kehadiran keresidenan Sukapura merupakan titah langsung Kerajaan Mataram, untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya saat itu.

Dengan data tersebut, keberadaan keresidenan Sukapura merupakan, bukti warisan cagar budaya yang tetap lestari sejak lama.

“Yang jelas saja ada yayasannya, peninggalannya, makamnya dan lainnya,” kata dia.

Namun meskipun demikian, Anton mengingatkan jika bukti sejarah tersebut, tidak menjadikan sumber ego pribadi, yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.

“Setelah kemerdekaan ini mungkin darah biru yang paling biru, adalah yang berdarah merah putih, NKRI,” ujar dia mengingatkan.

3 dari 4 halaman

Nilai Nasionalisme

Anton menyatakan, munculnya fenomena kerajaan dan kesultanan baru di tanah air saat ini, dikhawatirkan bakal menimbulkan disintegrasi atau perpecahan bangsa.

“Saat ini justu semangat kedaerahan, kerajaan harus menjadi semangat membangun ke Indonesiaan,” ujar dia.

Ia mencontohkan keberadaan keturunan Keresiden Sukapura sebagai Kerajaan kecil di bawah koordinasi Pajajaran dan Mataram secara nasional saat itu, hingga kini enggan menunjukan identitas sebenarnya,  dalam menjaga kedaulatan bangsa.

“Dulu seluruh kerajaan kesultanan sudah meleburkan diri menjadi NKRI,” kata dia.

Saat ini, jumlah keturunan menak dari Keredenan Sukapura cukup banyak dan tersebar di berbagai wilayah di berbagai daerah mulai Garut, Tasik, Ciamis dan sekitarnya.

“Di Sukapura (wilayah Sukaraja) saja sudah lebih 1000 orang, mau yang mana (Keturunan asli Keresidenan Sukapura),” ungkap dia.

Menurutnya, kehadiran fenomen kerajaan dan kesultanan baru saat ini, harus ditanggapi serius pemerintah, untuk menghindari perpecahan bangsa.

“Kalau sudah mengaku sebagai sultan, sebagai raja akan terkotak-kotak,” ujar dia mengingatkan.

Bahkan ungkapan Keraton Agung Sejagat yang menyatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan bagian dari mereka, sudah mengarah ke makar.

“Ini kan cukup menggelikan dan tidak masuk akal, itu baru muncul di Purworejo dan Bandung, nanti muncul di tempat lainnya,” kata dia.

4 dari 4 halaman

Tindakan Tegas

Seiring maraknya klaim Kerajaan dan Keraton baru di tanah air, Anton meminta pemerintah bertindak tegas, dengan memberikan sangksi berat, yang membuat mereka jera.

“Ini jelas akan membuat disintegrasi bangsa dengan semangat kedaerah, yang sesungguhnya tidak jelas dan tidak dipertanggung jawabkan secara sejarah,” ujar dia.

Menurutnya klaim sepihak yang disampaikan pengurus Kerajaan dan Kesultanan baru saat ini, membuat masyarakat gerah.

Apalagi pernyataan yang mereka sampaikan, tidak berdasarkan sejarah yang utuh, termasuk ihwal keturunan asal mereka.

“Kekuatan sejarah itu justru ada di silsilah, maaf saya saya dari uyut (leluhur) ke sana sudah bingung, apalagi ini sudah berabad-abad, jadi sangat sulit sekali membuktikan,” kata dia.

Anton menyatakan, pembuktian silsilah dari suatu dinasti atau kerajaan membutuhkan kajian dan data yang lengkap. Ia mencontohkan garis keturunan Raja Padjajaran Sri Baduga Maharaja, yang mewariskan kerajaan cukup besar.

“Ada Keraton Sumedang, Keraton Timbang Anteng, kemudian ke sini Priangan, ada (keresidenan) Sukapura, sudah sulit sekali diurut,” ujarnya.