Liputan6.com, Muntilan - Tak banyak anak muda Tionghoa yang berminat menjadi dalang wayang kulit. Apalagi di sebuah kota kecil dan dibesarkan dalam keluarga sukses menjadi pedagang.
Adalah Tee Thiam Houw, yang lahir di Muntilan Kabupaten Magelang. Anak ke 2 dari 9 bersaudara pasangan Tee Giok Koen dan Oei Tjian Nio. Di kotanya Tee Giok Koen dikenal sebagai pedagang mie dan kecap paling enak.
"Kalau beli kecap apa mie ya di Bah Gundul itu. Enak, murah," demikian warga Muntilan di era 1970-1990-an sering berpesan.
Advertisement
Kebijakan orde baru meminta para warga Tionghoa mengganti nama mengharuskan Tee Giok Koen mengubah nama menjadi Tejokuncoro. Sedangkan sang isteri, Oei Tjian Nio menjadi Widyaningsih. Dan Tee Thiam Hauw menjadi Radyo Harsono.
Baca Juga
Radyo Harsono dan delapan saudaranya disekolahkan di sekolah formal yang sangat plural. Yayasan katholik namun berada di kampung muslim Kauman.
Penghormatan pada perbedaan ini sudah menyatu pada warga Muntilan. Perbedaan akhirnya malah menyadarkan mereka akan nilai lebih sebuah perbedaan. Bahkan akhirnya Radyo Harsono seperti halnya anak-anak Muntilan lain pada jamannya, menggemari wayang kulit.
"Untuk saat ini semua dimudahkan. Belajar dalang wayang kulit ada sekolahnya, ada gurunya dan banyak. Tapi menjaga agar masyarakat tetap menyukai wayang dan menontonnya itu yang tak ada sekolahnya," kata Radyo Harsono di Muntilan, Kamis (23/01/2020).
Radya Harsono berkisah, ia jatuh cinta pada wayang kulit karena sering diajak kakek nenek dan orang tuanya menonton pertunjukkan wayang kulit di Kelenteng Hok An Kiong Muntilan. Kelenteng ini memang biasa memberikan hiburan bagi masyarakat Muntilan dengan pertunjukkan wayang kulit.
"Selain itu kalau di kampung-kampung sekitar Muntilan ada yang nanggap wayang, saya pasti nonton. Apalagi dalang wayang kulitnya top," kata Radyo Harsono.
Simak video pilihan berikut:
Proses Kreatif
Kegemarannya menonton wayang kulit dibaca oleh sang ayah. Tejokuncoro kemudian menyarankan agar Radyo Harsono belajar dari dalang lokal. Mulailah Radyo Harsono belajar kepada Ki Harjo Suharto dari kampung Koplak yang selalu dilewati jika ia ke sekolah.
"Dulu alau ada wayang kulit, ibu-ibu dan nenek-nenek akan mengajak anak-cucu menonton pada pagi hari menjelang selesai pentas. Antara jam 05.00-06.00. Ini melatih anak bangun pagi karena selalu semangat diajak nonton wayang," katanya.
Meski sudah mulai belajar mendalang, Radyo Harsono masih tetap menonton pagelaran wayang kulit dengan dalang selain gurunya. Maka nama Ki Joyo Kandar dari Borobudur maupun Mbah Empluk yang merupakan dalang lokal Muntilan juga menjadi rujukan pengetahuannya.
"Dulu melihat orang siap-siap pentas wayang saja, saya sudah deg-degan," kata Radyo.
Informasi adanya pertunjukkan wayang kulit selain dari mulut ke mulut juga diketahui warga saat ada gerobak sapi lewat membawa peralatan dan gamelan. Rumah keluarga Tejokuncoro yang beraada di samping pasar tentu saja sangat strategis untuk menyerap informasi itu.
Para pedagang pasar Muntilan maupun pengunjungnya seringkali membludak sampai ke toko milik Tejokuncoro. Disitulah informasi berseliweran. Apalagi toko milik Tejokuncoro sangat terkenal dan menjadi rujukan bagi pembeli mie maupun kecap.
"Saya awalnya senang berpura-pura mendalang dengan memainkan sebuah cerita. Penontonnya teman-teman sendiri. Mbah Karso, salah satu teman ayah saya menyarankan untuk ikut les," katanya.
Belajar mendalang selama dua tahun, Radyo Harsono mulai menunjukkan kepiawaiannya mendalang di sekolahnya, SD St Yoseph Muntilan saat kelas 6. Mengangkat lakon Wahyu Purba Sejati dalam rangka peresmian penambahan lokal kelas. Belum mampu semalam suntuk, Radyo kecil mendalang hingga tiga jam.
Wahyu Purba Sejati bercerita tentang menitisnya tiga wahyu kepada Kresna, Baladewa, dan Arjuna. Lakon ini menjadi cerita transisi kisah Ramayana ke Mahabarata. Tokoh-tokoh Ramayana seperti Sri Rama, Raden Lesmana dan Dewi Shinta ternyata menjelma menjadi tokoh-tokoh utama dalam kisah Mahabarata.
"Saya sangat percaya diri dan merasa sangat luar biasa senang karena ditonton banyak orang,” kata Radyo mengenang.
Saat menjadi siswa SMP Marganingsih, Muntilan, ia belajar karawitan yang menjadi ekstrakulikuler sekolah. Selepas SMP, ia mengambil kursus karawitan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Saat ia bertemu pimpinan komunitas pengrawit, KRT Romo Suryo Hasmoro, ia disarankan belajar di sekolah formal. Saat itu, syarat mengikuti kursus karawitan minimal berusia 20 tahun, sementara Radyo baru 15 tahun.
KRT Romo Suryo Hasmoro menyarankan agar Radyo belajar di Sekolah Menengnah Karawitan Indonesia (SMKi) Konservatori Yogyakarta. Romo Suryo juga menjadi pengajar, ia bisa mengikuti tes dan diterima sebagai siswa SMKI.
Belajar di SMKI selama empat tahun, pada 1981 Radyo melanjutkan pendidikan di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI, kini Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Sambil menunggu jurusan pendalangan dibuka, ia mengikuti kuliah jurusan karawitan.
Sampai melewati dua semester, jurusan pendalangan di ASTI tak kunjung dibuka. Pada 1982, ia memutuskan tak melanjutkan kuliah.
“Supaya saya bisa fokus pada undangan pentas,” katanya.
Advertisement
Menyikapi Honor
Sejak itulah ia mencurahkan kemampuannya mendalang. Di lingkungan Muntilan dan sekitarnya, nama Radyo Harsono mulai dikenal masyarakat. Gaya mendalang yang klasik khas Yogya (mataraman) dengan banyak humor membuat namanya makin melangit.
Saat mendapat undangan RRI Yogyakarta untuk pentas wayang kulit di Sasono Hinggil, Alun-alun Selatan Yogyakarta ia sempat cemas. Ada semacam mitos bahwa siapapun dalang yang sukses pentas di tempat itu, maka kariernya akan menanjak.
“Sebaliknya, jika gagal karier akan mati,” kata Radyo.
Pentas itu dinilai sukses dan undangan pentas semakin menumpuk. Meski demikian, Radyo Harsono tak kemaruk. Ia tak menumpuk materi dari kemampuannya mendalang. Alhasil, ia mewakili Indonesia sebagai duta budaya untuk pentas wayang di Amerika Serikat.
“Bagi saya, honor itu cukup untuk biaya transportasi peralatan serta honor saya dan kru sudah cukup. Tak perlu berlebihan apalagi serakah,” kata Radyo.
Jika dulu setiap imlek ia diajak ke kelenteng untuk menikmati pentas wayang kulit, sekaligus menggelar ritus tradisi Tionghoa, maka hingga kini tradisi itu tetap ia jaga. Setiap imlek di rumah orang tuanya selalu ada ritus dengan sesajen aneka makanan khas Imlek.
“Niatnya mohon kepada Tuhan agar diberi berkah kesehatan, kemakmuran, kerukunan, kedamaian dan sejenisnya. Ini mirip dengan tradisi Jawa menyambut 1 Suro,” kata Radyo.
Menjadi dalang adalah laku tirakat. Pertunjukkan wayang kulit adalah efek samping dari naiknya akhlak karena laku tirakat itu.
“Imlek, merti desa, syukuran, slametan itu tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Itu adalah tradisi kearifan. Enjoy saja karena itu ranah budaya. Adat Tionghoa dan Jawa itu cita rasanya sama, tentu sebelum ada provokasi seperti akhir-akhir ini,” katanya.
Radyo Harsono juga meyakini bahwa dalang akan terus lahir dan penikmat wayang kulit juga akan tetap ada. Jikalau ada pergeseran hanya ada pada kemasannya belaka. Itulah sebabnya ia berharap, wayang kulit mampu menjadi media saling menghormati perbedaan.
Atas totalitas dan pilihan hidup menjalani laku tirakat dalang sebagai pelantang saling menghormati dalam perbedaan, ia mendapat gelar dari Keraton Yogyakarta dengan gelar Ki Mas Lurah Cerma Radyo Harsono. Dan ia mati-matian menjaga pluralitas di Muntilan dan Indonesia melalui seni pedalangan.