Liputan6.com, Aceh - Hari terasa terik. Awan sirus di dinding atmosfer terlihat kontras dengan warna biru langit yang lega, sementara telapak kaki terasa menghangat akibat terpaan sinar matahari yang membakar lantai.
Puluhan orang terlihat meriung di bawah naungan payung-payung raksasa di sekitaran masjid sembari bercengkerama. Payung-payung elektrik itu mirip bunga bakung.
Sebagian pengunjung memilih duduk atau menyender di atas undak-undakan. Yang liyan terlihat hilir mudik, secara berkelompok atau sendiri-sendiri; diaspora di semua penjuru.
Advertisement
Baca Juga
Keramaian sudah terlihat di pintu masuk sebelah kiri masjid tersebut. Beberapa pria berseragam coklat khaki serta baret berjaga dengan kewaspadaan yang longgar di sisi kanan dan seberang pintu tersebut.
"Agak ke samping sedikit. Ya, ya, sip, oke."
Seorang lelaki bersiap mengambil bidikan. Kakinya melutut di atas lantai, tangannya memberi aba-aba, sebelah matanya memicing di jendela intip kamera.
Sepertinya itu seorang ibu yang tengah merayakan kelulusan anak lelakinya. Ia berdiri di sisi kanan seorang pemuda berambut cepak berseragam dinas militer dengan senyuman kaku yang dikulum.
Suara 'klik' menandakan sebuah foto telah diambil. Fotografer berumur kira-kira paruh baya itu sempat mengulangi bidikannya hingga beberapa kali.
"Sip!" celetuknya sembari menekan tombol konsol, mencari-cari foto yang dirasa terbaik dari semua hasil bidikannya.
Sering Dikunjungi
Masjid Raya Baiturrahman (MRB) jadi salah satu 'landmark' Provinsi Aceh yang selalu ramai pengunjung. Yang datang berasal dari kalangan domestik hingga negeri jiran.
Terutama bagi yang ingin berwisata religi, masjid ini adalah pilihan yang tepat. Selain jadi lokasi peribadatan serta spot berfoto, masjid ini sering juga dimanfaatkan sebagai tempat beristirahat.
Orang-orang memanfaatkan bentangan kanopi dari payung yang dipasang di kanan dan kiri pelataran masjid untuk tempat berteduh. Siapa pun dapat menikmati nyamannya embusan angin tengah hari di bawah salah satu dari payung-payung tersebut sambilan bergolek-golek.
"Di sini, bukan untuk wisata-wisata gitu saja sih. Saya ke sini cuma mau ibadah, lalu melepas lelah. Nikmat juga berdiam di bawah payung saat hari sedang panas-panasnya," jawab seorang pria ketika ditanya Liputan6.com, Senin siang (27/1/2020).
MRB pernah meraih predikat 'daya tarik wisata terbaik' dalam sebuah kompetisi tingkat nasional bertajuk pariwisata halal pada 2016. Masjid yang dulunya berkapasitas 9.000 jemaah itu kini bisa menampung jemaah hingga 24.000 lebih.
Advertisement
MRB Selayang Pandang
Setelah dibumihanguskan, Belanda berinisiatif membangun kembali MRB dengan tujuan hendak mengambil hati rakyat Aceh. Seorang Letnan asal Cina bernama Lie A Sie berandil besar dalam proyek yang memakan anggaran sebesar 203.000 gulden Belanda itu.
J Kremeer dalam De Groote Moskee te Koeta Radja dalam Nederlandsch Indie Ouden Nieuw (1920), menulis bahwa pemerintah kolonial melalui departemen pekerjaan umum di Batavia telah memerintahkan seorang arsitek bernama Bruins untuk menggambar rancangan masjid tersebut.
Bruins dibantu Opdizchter LP Luyks dan beberapa insinyur dari Batavia. Ia dan koleganya menjumpai seorang ulama di Jawa Barat untuk meminta saran tentang rancangan masjid agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam.
Tahapan lengkap tentang pembangunannya digambarkan J Staal dalam De Missigit Raya in Atjeh terbitan De Indische Gids pada tahun 1882. Namun, proyek pengerjaan MRB tidaklah mudah.
Tidak ada kontraktor yang mau datang ke Aceh karena perang masih berkecamuk. Tenaga kerja juga minim karena tidak ada rakyat Aceh yang mau diajak bekerja; mereka lebih memilih berperang daripada bekerja untuk proyek yang disebut milik kaphee (kafir/kolonial).
Belanda memutuskan mendatangkan tenaga kerja dari China. Ketika para pekerja hendak dimobilisasi ke Aceh masalah lain muncul; kontraktor di Jawa yang ikut tender mulai mengundurkan diri, terpengaruh surat kabar yang memberitakan tentang Perang Aceh.
Kemunculan Lie A Sie
Seorang Letnan asal Cina bernama Lie A Sie muncul. Dia membawa para pekerja Cina ke Aceh untuk mengerjakan proyek pembangunan masjid.
Jumlah yang dianggarkan tidaklah kecil. Untuk merebut atas persetujuan ratu dan pangeran di Belanda, anggaran sebesar 203.000 gulden Belanda pun digelontorkan.
Lie A Sie memanfaatkan anggaran tersebut sebaik mungkin. Tak tanggung-tanggung, hampir seluruh bahan bangunan diimpor dari luar negeri.
Besi untuk jendela dari Belgia; batu pualam untuk tangga dari Cina; batu bata dari Belanda; kayu dari Birman (Muolmein); kapur untuk cat bangunan didatangkan dari Malaysia. Hanya kerangka besi yang didatangkan dari Surabaya.
Saat peletakan batu pertama, Gubernur Militer Hindia Belanda Jenderal Van Der Heyden hadir. Dalam perjalanannya, pembangunan masjid sempat terhenti karena perang.
Berbagai serangan masih terus dilakukan para pejuang Aceh, kendati sporadis. Bivak prajurit Belanda yang berada di sekitar lokasi pembangunan masjid tak luput dari serangan.
Akhirnya, MRB selesai dikerjakan pada tahun 1881. Serah terima dilakukan Gubernur A Pruys Van Der Hoeven pada 27 Desember 1881 kepada T. Kali Malikul Adil, secara simbolis melalui penyerahan kunci, di mana meriam milik Belanda meletus sebanyak 13 kali sebagai tanda peresmian.
Advertisement
Renovasi
Pemerintah Aceh kembali melakukan renovasi MRB pada 2015. Proyek renovasi memakan anggaran sebesar Rp 458 miliar ini selesai dikerjakan pada Mei 2017.
Pembangunan landscape dan infrastruktur MRB diresmikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada Sabtu, 13 Mei 2017. Terdapat beberapa perubahan yang tampak dari masjid yang jadi simbol provinsi berjuluk Serambi Mekkah ini.
Tampilan MRB disulap bak Masjid Nabawi. Halamannya kini berupa lantai marmer, sementara, ditambah dua belas payung otomatis dengan ujung ferrule yang menjulang tinggi ke angkasa, terlihat seperti bunga bakung raksasa.
Kolam yang ada di tengah halaman depan masjid tersebut tampak seperti oasis. Di pinggiran halaman MRB terpacak 33 pohon kurma dan satu pohon geulumpang mendukung duplikasi tema yang diinginkan si perancang.
Di tengah halaman menghampar rumput hijau dan berbagai jenis bunga warna warni. Basemen masjid dilengkapi tempat wudhu, serta toilet pria dan wanita yang semua bahannya terbuat dari batu marmer dari Italia dan Spanyol.
Dari basemen menuju plaza atau pekarangan, tersedia lift. Wisatawan dapat menikmati keindahan masjid dari berbagai sudut. Masjid yang awalnya dibangun oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah pada tahun 691 Hijriah atau sekitar tahun 1229 masehi ini rencananya akan kembali diperluas dalam waktu yang belum ditentukan.
Simak video pilihan berikut ini: