Liputan6.com, Pekanbaru - Konflik gajah dengan manusia selalu mewarnai sejumlah lokasi di Riau, terutama di Kabupaten Kampar, Bengkalis, Siak, dan Indragiri Hulu. Hal ini wajar karena sejumlah desa di kabupaten itu dulunya adalah hutan dan menjadi perlintasannya.
Memang, di kabupaten tersebut masih ada suaka margasatwa, taman hutan raya ataupun taman nasional. Hanya saja, perambahan hutan untuk kebun ataupun konversi hutan untuk industri bubur kertas membuat habitat gajah menyusut.
Advertisement
Baca Juga
Daerah perlintasan gajah itu juga tak aman dari jerat. Ada orang tak bertanggungjawab memasangnya dengan dalih untuk menangkap babi hutan.
Bukan babi, malahan yang sering terjerat itu gajah. Sudah banyak yang menjadi korban dan bahkan tak bisa lagi kembali ke kawanannya karena harus dievakuasi.
Kalaupun ada yang bertahan, itu hanya hitungan tahun. Pasalnya, luka jeratan bisa kambuh lagi dan membuat sejumlah penyakit datang hingga akhirnya gajah menemui ajal.
Seperti kasus gajah Dita. Gajah yang tutup usia pada umur 25 tahun itu mulai kehilangan tapak kakinya sejak tahun 2014. Ulah pihak tak bertanggungjawab karena memasang jerat babi di Suaka Margasatwa Balai Raja, Bengkalis, menjadi penyebab utama.
Terkena jerat ini, sisa kaki gajah Dita membusuk. Jalannya pincang dan selalu tertatih hingga akhirnya tim medis dari BBKSDA Riau memutuskan membersihkan luka itu.
Sejak itu, gajah Dita dipantau terus menerus, baik oleh BBKSDA Riau ataupun Rimba Satwa Foundation, Balai Tesso Nilo hingga Himpunan Penggiat Alam atau Hipam.
Pada tahun 2017, gajah Dita sekarat lagi karena bekas jeratnya kambuh lagi. Untuk mengobati kakinya, BBKSDA Riau menurunkan tim merawat gajah Dita ke SM Balai Raja, Bengkalis.
Pengobatan dilakukan beberapa kali selama November 2017. Setiap kali pengobatan, gajah Dita harus ditembak bius agar tak membahayakan petugas di lapangan.
Â
Terluka Parah
Menurut Kepala BBKSDA Riau Suharyono kala itu, luka di tapak kaki kanan gajah Dita cukup parah. Pengobatan ekstra harus dilakukan dan kondisinya terus dipantau berulang kali.
Selain obat, petugas medis tak lupa memberinya multivitamin penambah darah dan penguat otot supaya kuat berjalan. Tak lupa sampel darah Dita diambil untuk diperiksa di laboratorium.
"Darah diperlukan untuk general check up agar dapat diketahui kondisi Dita secara menyeluruh," terang Suharyono.
Pada tahun 2018, pengobatan kembali dilakukan karena kakinya infeksi lagi. Usai diobati gajah Dita kembali beraktivitas bersama kelompoknya, yaitu gajah Seruni dan anaknya.
Petaka akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2019. Dia ditemukan membusuk di kubangan tempatnya selalu beraktivitas.
Sebelum kematiannya, gajah Dita hanya berdiam diri di kawasan hijau atau green belt SM Balai Raja. Petugas patroli masih melihatnya di balik semak-semak bersama gajah Seruni.
Kematian gajah Dita otomatis mengurangi populasi gajah sumatra di SM Balai Raja. Hal ini sangat disayangkan karena spesies satwa berbelalai itu terancam punah.
Sebagai informasi, gajah Dita termasuk dalam dua kelompok gajah di SM tersebut. Selama ini, gajah tanpa tapak kaki itu hidup dengan Seruni dan anaknya.
Selain Seruni, ada kelompok lainnya yang tinggal cukup berjauhan dan berjumlah tiga ekor juga. Kelompok ini juga didominasi gajah betina dewasa.
Perkiraan BBKSDA Riau, ada tujuh gajah di sana, termasuk gajah jantan yang sifatnya soliter atau menyendiri.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement