Liputan6.com, Serang - Nama Banten ternyata memiliki beberapa arti yang berbeda-beda. Salah satunya adalah katiban inten yang berarti kejatuhan intan. Asal kata katiban inten ini dilatarbelakangi oleh sejarah Banten yang ketika itu masyarakatnya menyembah berhala, kemudian memeluk agama Budha.
Setelah Islam masuk ke Banten, masyarakat mulai mengenal dan memeluk agama Islam. Masyarakat Banten yang memeluk Islam inilah yang digambarkan seolah-olah kejatuhan intan.
Kisah lain tentang asal kata Banten adalah Sanghyang Batara Guru Jampang melakukan perjalanan dari timur ke barat, kemudian sampai ke suatu tempat yang bernama Surosowan.
Advertisement
Baca Juga
Saat tiba di Surosowan, Batara Guru Jampang duduk di atas batu yang kemudian dinamakan watu gilang. Batu tersebut bercahaya, yang kemudian dihadiahkan kepada Raja Surasowan.
Diceritakan oleh Sejarawan, bahwa Surosowan dikelilingi sungai yang jernih airnya, seolah-olah negeri ini diitari oleh bintang biduri. Surosowan dilukiskan sebagai cincin yang diemban dengan intan atau disebut juga ban inten yang kemudian menjadi nama Banten.
Cerita lain menyebutkan bahwa Banten berasal dari kata "bantahan", dikarenakan masyarakat tidak mau tunduk pada peraturan yang telah ditetapkan. Aturan yang dimaksud adalah aturan yang dibuat oleh Belanda.
Terlepas dari kisah tentang asal nama Banten tersebut di atas, kata "Banten" muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai, yakni Cibanten. Dataran yang lebih tinggi di tepi Cibanten disebut dengan Cibanten Girang yang disingkat menjadi Banten Girang yang Banten Atas.
Berdasarkan hasil penelitian Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Banten yang dilakukan di Banten Girang, telah ada pemukiman di daerah ini sejak abad ke 11 hingga 12 Masehi. Â
Bahkan pada abad 16 Masehi, daerah ini berkembang pesat. Perkembangan pemukiman di Banten Girang meluas ke arah Serang dan ke arah pantai.
Situs Banten Girang
Banten Girang adalah suatu tempat, yang oleh para peneliti kepurbakalaan diyakini sebagai pusat pemerintahan kerajaan bercorak Hindu-Budha, sebelum berdirinya Kesultanan Banten.
Eksistensi Banten Girang disebutkan dalam beberapa naskah kuna atau babad. Wahanten Girang pernah disebutkan dalam Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa Wahanten Girang dikalahkan oleh Arya Bubrah, yakni tokoh yang ditafsirkan sebagai Fatahillah Khan, panglima Demak – Cirebon yang mengalahkan Kalapa.
Dalam laman resmi BPCB Banten menyebutkan bahwa, lima lempeng prasasti yang ditemukan di desa Kebantenan, Bekasi, dua di antaranya menyebutkan kata "banten". Beberapa ahli menyatakan kata "banten" tersebut merujuk pada Banten Girang.
"Jika dikaji berdasarkan asal bahasanya, dalam bahasa Jawa Kuno, banten berarti selamatan/sesaji. Pabanten diartikan sebagai tempat untuk melakukan sesaji. Kampung Banten berarti kampung tempat melakukan persembahan," dikutip dari laman resmi BPCB Banten (09/02).
Sejarawan Banten, menyebutkan bahwa, Banten Girang kemudian ditaklukkan oleh pasukan Islam yang berasal dari Demak dan Cirebon. Setelah penaklukkan tersebut, berdirilah Kesultanan Banten dan pusat pemerintahan berpindah ke daerah utara di pesisir pantai teluk Banten, yang sekarang dikenal sebagai Banten Lama.
Daerah pesisir tersebut kemudian menjadi Kesultanan Banten yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Kesultanan ini semula menguasai hampir seluruh bekas Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Namun Sunda Kelapa atau Batavia direbut oleh Belanda, sedangkan Cirebon dan Parahiyangan direbut oleh Mataram. Daerah Kesultanan Banten kemudian diubah menjadi keresidenan oleh Belanda.
Saat ini Banten Girang hanya berupa bukit kecil di barat sungai Cibanten di Kampung Sempu. Nama-nama tempat yang masih tersisa di Banten Girang antara lain Asem Reges, yang menurut cerita berasal dari pohon asem yang ditanam di dekat makam Ki Jongjo. Nama lain adalah Telaya, dimana pada tahun 1682 nama Banten Girang diganti menjadi Tirtalaya, yang kemudian disingkat menjadi Telaya.
Di tepi jurang terdapat goa buatan yang dipercaya dahulu digunakan oleh Prabu Pucuk Umun untuk bersemedi. Pandaringan, menurut cerita merupakan bekas kolam pada masa kejayaan Banten Girang, sehingga dinamakam pandaringan yang berarti tempat menyimpan makanan.
Banusri merupakan bekas pasar, serta Alas Dawa yang berada di sebelah selatan kawasan Banten Girang, dahulu merupakan hutan.
Dalam laman resmi BPCB Banten menyebutkan bahwa, Banten semakin berkembang setelah bersentuhan dengan kebudayan luar. Pengaruh budaya dari luar tersebut datang dari india yang membawa agama Hindu dan Budha.
Di samping membawa pengaruh agama Hindu dan Budha, masuknya pengaruh India juga berdampak pada sistem sosial dan pemerintahan di Nusantara, ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan.
Salah satu kerajaan Hindu yang pernah ada di Banten ialah kerajan Banten Girang yang diperkirakan ada pada sekitar abad ke-10 sampai dengan abad ke-16. Masuknya pengaruh Islam kemudian berdampak pada mundurnya pengaruh Hindu – Budha di Banten.
Advertisement
Kesultanan Banten
Kerajaan Banten Girang berada di bawah penguasa Islam,yang kemudian mendirikan kerajaan di sekitar Teluk Banten.
Pusat kotanya dikenal dengan nama Surosowan yang kini disebut Banten Lama. Kerajaan Islam Banten yang dikenal dengan Kesultanan banten telah berdiri dari abad ke-16 sampai dengan abad ke-19.
Kerajaan Islam Banten yang berbentuk Kesultanan tidak berlangsung lama dan mengalami kemunduran setelah masuknya pengaruh VOC (Vereniging Oost-Indie Compagnie yaitu perkumpulan dagang belanda di Indonesia tahun 1602 – 1799) dan penjajahan kolonial Belanda. Belanda kemudian mengancurkan pusat kota kesultanan dan memindahkan pusat pemerintahan ke Serang.
Kekuasaan belanda di Banten berakhir setelah mengalami kekalahan oleh jepang pada tahun 1942.
Peninggalan Kesulatanan Banten Tersebut antara lain berupa bekas kompleks Keraton Surosowan yang dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanudin, Mesjid Agung Banten,
Kompleks Makam Raja-raja Banten dan keluarganya, Mesjid pecinan Tinggi, Kompleks Keraton Kaibon, Mesjid Koja, Benteng Speelwijk, Kelenteng Cina, Watu Gilang, Danau Tasikkardi, Masjid dan Makam Sultan Kenari, Jembatan Rante, dan lain-lain.
Selain peninggalan berbentuk bangunan, peninggalan dari Banten Lama juga berupa tinggalan tinggalan lepas seperti keramik (Cina, Jepang, Thailan, dan Eropa), tembikar, mata uang, dan lain-lain.
"Banten telah mengalami proses perjalanan sejarah dan budaya yang panjang. Kini merupakan salah satu wilayah provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama dalam Perjalanan tersebut, Banten Mewariskan berbagai tinggalan. Baik tinggalan hasil kegiatan masyarakat maupun kebudayaan yang tak ternilai," ujar Arkeolog, Rico Fajrian dalam keterangan tertulis pada laman resmi Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten.
Kekayaan dari beragam pusaka budaya Banten yang tinggi nilainya itu perlu dijunjung tinggi sebagai bukti perjalanan sejarah dan budaya yang dapat memberi sumbangan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan melalui penggalian nilai-nilai luhur yang tercermin di dalamnya.
Disamping itu pusaka budaya tersebut dapat menjadi dasar dalam memupuk kepribadian dan jati diri bangsa.(AMA/PNJ)
Â
Simak Video Pilihan Berikut: