Sukses

Sosok Dwarapala Candi Muarajambi Berwajah Imut nan Jenaka

Berbeda dengan Dwarapala yang ada di Jawa dan Bali. Sosok Arca Dwarapala yang berarti penjaga candi di Muarajambi memiliki wajah yang jenaka, meski memegang tameng dan gada.

Liputan6.com, Jambi - Arca Dwarapala di Candi Muarajambi tidak sedikit pun punya ekspresi wajah yang seram. Sosok Dwarapala yang berarti penjaga pintu gerbang di situs percandian Muarajambi, Provinsi Jambi, justru memiliki ekspresi wajah yang ramah dan jenaka.

Arca Dwarapala ini ditemukan pada tahun 2002 oleh Abdul Haviz, seorang warga Desa Muarajambi yang saat itu bekerja sebagai tenaga lokal pemugaran. Belasan tahun yang lalu, posisi Dwarapala tersebut tertimbun reruntuhan dengan posisi telungkup dalam kondisi utuh dikedalaman satu meter di sisi kiri gerbang Candi Gedong II.

Sekarang sosok Dwarapala itu telah mendiami Museum Candi Muarajambi. Ia tegak persis di depan sisi kiri yang berlatar belakang gambar gapura Candi Gedong II, sebagai penanda bahwa arca pertama kali ditemukan di lokasi candi tersebut.

"Arca Dwarapala Candi Gedong II di situs percandian Muarajambi mempunyai ciri dan bentukan yang berbeda dari arca di candi-candi yang ada di Jawa dan Bali," kata Abdul Haviz kepada Liputan6.com, Kamis (13/2/2020).

Dwarapala di Jawa dan Bali umumnya berwajah seram dengan taring keluar yang berwujud seperti raksasa dan memegang gada. Lain halnya dengan Dwarapala di situs Percandian Muarajambi terlihat jenaka.

Sosok Dwarapala di Candi Muarajambi berwujud pria kecil yang berdiri dengan kedua kaki sedikit tertekuk. Arca ini terbuat dari bahan batu andesit dan memiliki tinggi 1,50 meter.

Jika diamati seksama, sosok Dwarapala Muarajambi mengenakan semacam cawat dan ada senyum yang terkulum dari bibirnya yang agak tebal. Sedangkan, tangan kirinya memegang gada yang ujung pangkalnya telah rumpang, dan tangan kanannya memegang tameng.

Di bagian kepalanya ada sedikit hiasan seperti memakai penutup kepala dengan bendolan kecil di belakangnya. Sementara pada telinga kirinya memakai anting yang agak besar berbentuk teplok bunga, sedangkan untuk bagian telinga kananya telah mengalami patah.

Para arkeolog hingga kini belum dapat memastikan apakah arca Dwarapala ini mempunyai pasangan atau tidak, karena belum ditemukan pasangannya. Namun, lazimnya arca Dwarapala selalu sepasang, satu di pintu gerbang sisi kiri dan satu lagi di bagian kanan.

2 dari 3 halaman

Berfungsi Sebagai 'Penerima Tamu'

Arekeolog dari Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwati memiliki penjelasan interpretatif mengapa Dwarapala di situs Muarajambi memiliki penggambaran yang unik.

Menurut dia, Dwarapala dari situs Muarajambi hanya ditemukan di bangunan Candi Gedong, di bangunan candi lainnya di kawasan itu tidak ditemukan Dwarapala. Sedangkan semua candi di Jawa, baik Hindu atau Buddha terdapat sosok Dwarapala-nya, mengapa?

"Dwarapala di Muarajambi terlihat lucu, imut, itu barangkali karena Candi Gedong bukan untuk kepentingan peribadatan, seperti halnya Borobudur dan Prambanan," kata Retno kepada Liputan6.com.

Candi Gedong di situs Muarajambi, kata Retno, berfungsi sebagai Vihara, tempat penganut Buddha belajar agama dan tempat para Bhiksu melakukan Samadi.

"Sehingga fungsi Dwarapala di Muarajambi bukan sebagai penjaga, melainkan lebih sebagai penerima tamu, yang harus bersikap ramah dan menyenangkan," kata Retno menjelaskan.

Sementara itu, menurut Sondang M Siregar dalam tulisannya tentang arca-arca di Muarajambi yang muat di dalam buku Muaro Jambi Dulu, Sekarang dan Esok, menjelaskan, umumnya penggambaran Dwarapala berpostur raksasa dengan gigi taring menonjol keluar dari mulut.

Namun arca-arca di situs Percandian Muarajambi memiliki kekhasan tersendiri yang dibuktikan dengan ditemukannya Dwarapala yang pengambaran-nya tidak ditemukan di situs-situs lainnya.

Latar belakang arca-arca dari Muarajambi menurut Sondang M Siregar, adalah agama Buddha yang dari abad ke-8 hingga 13 Masehi.

Gaya seni arca Sriwijaya turut memberi pengaruh turut memberi pengaruh pada arca-arca dari Muarajambi, namun tak lepas juga mendapat pengaruh dari gaya seni arca Singhasari yang diperoleh dari ketika Kertanegara menjalankan ekspedisi Pamalayu ke Sumatera.

"Hal ini berdampak masuk dan berkembangnya aliran Tantris di situs Muarajambi atau disebut juga Buddha Vajrayana," tulis Sondang.

3 dari 3 halaman

Pusat Pendidikan Buddha Kala Itu

Kawasan percandian Muarajambi yang diperkirakan berasal dari abad 7-12 Masehi itu memiliki 82 reruntuhan bangunan kuno (menapo) yang terhampar di area 3.981 hektare. Dari 82 reruntuhan kuno itu, beberapa diantaranya telah diekskavasi, seperti Candi Kembar Baru, Candi Gumpung, Candi Kedaton, Candi Gedong I dan II serta Candi Tinggi I dan II.

Ini belum termasuk data artefak lepas berupa relik bangunan, keramik, manik-manik dan artefak properti religi lainnya.

Artefak di situs Muarajambi jumlahnya tak terhitung, namun yang jelas artefak itu telah menjadi saksi bisu dan bukti bentuk peradaban yang mencerminkan kejayaannya, lebih seribu tahun yang lalu.

Ragam literatur berpendapat kawasan candi Muarajambi sebagai peninggalan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Juga, literatur lain menyebutkan kawasan itu dulunya sebagai tempat orang-orang menimba ilmu dan sebagai pusat pengajaran agama Buddha.

Berdasarkan data yang dikutip dari laman Direktorat Jenderal Kebudayaan, menyebutkan, kawasan Muarajambi merupakan tinggalan arkeologi dari Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya yang pernah menjadi pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Asia setelah Nalanda (India).

Sumber berita China yang ditulis I-Tsing, seorang biksu dari Tiongkok yang pernah melawat ke Sumatra pada abad ke-7. Dalam berita China itu dikatakan bahwa kawasan Muarajambi merupakan kawasan yang dahulunya digunakan sebagai pusat pendidikan agama Buddha.

Seperti ditulis I-Tsing ketika tinggal di Fo-Shih "Di kawasan berpagar tembok di Fo-Shih, tinggal ribuan bhikshu yang tekun belajar dan beribadah.”

Selain itu, data sejarah yang dimiliki Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi mengungkap, bahwa percandian Muarajambi pada masa lampau menjadi pusat pendidikan ajaran Buddha. Hal itu berdasarkan temuan-temuan artefak seperti reruntuhan Stupa, Arca Prajaniparmita, dan temuan lainnya.

Masih dalam literatur sejarah menyebutkan, Maha Guru Buddha Atisha Dipangkara pernah belajar dan tinggal menetap di candi Muarajambi selama 11 tahun atau sekitar tahun 1011-1023 masehi.

Atisha adalah seorang maha guru yang mempunyai peran dalam membangun gelombang kedua Buddhisme di Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhisme, yakni Serlingpa Dharmakirti.

Kini ditengah meninggalkan peradaban kuno, situs Percandian Muarajambi menjadi daya tarik tersendiri untuk tujuan wisata, baik itu wisata sejarah atau wisata religi. Kini situs Percandian Muarajambi juga masuk dalam daftar tunggu untuk ditetapkan sebagai situs warisan dunia.