Liputan6.com, Rembang - Bukan hanya Kediri dan lengsernya para presiden Indonesia yang telah menjadi mitos. Di Rembang ada sebuah dusun bernama Ngaglik, percaya tidak percaya, jika dusun yang ada di Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dikunjungi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang bersangkutan pasti langsung dicopot.Â
Rasa penasaran itu mendorong tim Liputan6.com mencari tahu asal usul mitos tersebut, hingga bertemu dengan seorang tokoh masyarakat bernama Sukarjan. Sukarjan mengatakan, mitos itu konon sudah ada bahkan sebelum dirinya lahir.Â
"Itu awalnya hanya kejadian biasa, ada seorang pemerintah desa yang datang berkunjung ke dusun saya, kemudian dia lengser dari jabatan," katanya memulai pembicaraan.
Advertisement
Sukarjan mengatakan, yang namanya jabatan pasti ada masanya, namun warga daerah lain kerap mengaitkan lengsernya ASN usai berkunjung ke Dusun Ngaglik dengan hal mistis ditambah bumbu-bumbu cerita yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.
"Mulai lambat laun, dari tahun ke tahun cerita mitos di sini tersebar luas hingga masyarakat mempercayainya. Setiap ada kejadian kesialan pegawai yang datang ke dusunnya selalu diungkit-ungkitkan dengan mitos," katanya.
Baca Juga
Obrolan Sukarjan tidak urung selesai sampai di situ, sebagai tokoh masyarakat yang juga merupakan salah satu anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kedungasem, dirinya menampik mitos yang beredar di Dusun Ngaglik.
Sukarjan bahkan berani mengatakan, belum ada pejabat yang datang ke Dusun Ngaglik kemudian langsung dicopot dari jabatannya seperti cerita yang berkembang saat ini. Malahan, kata dia, pejabat yang datang ke Dusun Ngaglik bukannya lengser malah dinaikkan jabatannya.
Sukarjan menjelaskan, dusunnya terkena dampak sosial akibat beredarnya rumor tersebut. Pelayanan pemerintah yang seharusnya didapatkan warga Dusun Ngaglik, kata dia, malah menjauh.
Mulai dari bidan hingga penghulu pun tidak ada satu pun yang berani masuk dusunnya. Diskriminasi itulah yang dirasakan warga setempat selama bertahun-tahun. Bahkan, kata Sukarjan, bidan dan penghulu baru mau melayani warga Ngaglik jika mereka mau keluar dari dusunnya.
"Bidannya maupun penghulu itu baru mau melayani di dusun sebelah yaitu jasem," tutur Sukarjan.
Dia mengungkapkan, penderitaan dirasakan mulai dari warga yang masih bayi yang baru lahir hingga para warga lanjut usia (lansia). Peningkatan pelayanan kesehatan yang sering digaungkan pemerintah seakan terpental saat mendengar Dusun Ngaglik.
"Istilahnya kalau ada yang 'kebrojolan' bayi tahu-tahunya di sini sudah keluar. Bayi baru lahir yang seharusnya tidak boleh kena angin terpaksa dibawa keluar biar dipegang sama bidan, kalau seperti itu terjadi terus-terusan kan ya kasihan," katanya.
Dari pengakuan Sukarjan, kebanyakan bayi yang lahir di dusunnya tidak pernah sekalipun tersentuh tangan seorang bidan, bahkan hingga mereka tumbuh besar. Padahal berdasarkan undang-undang dari kementerian kesehatan, bayi yang baru berusia 40 hari harus mendapat kunjungan bidan minimal tiga kali.
"Yang kami tuntut cuma satu saja, yaitu pelayanan. Itu sangat diharapkan oleh masyarakat, masalahnya yang semestinya ibu melahirkan itu bisa dilayani, bisa diperiksa dan dikontrol ibu serta bayinya, namun sampai saat ini belum pernah sekalipun," ungkapnya.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Stigma Desa Pembawa Sial
Kejadian aneh yang dialami orang-orang ketika datang ke sana kerap kali dikaitkan dengan hal mistis. Sukarjan bercerita, pernah ada gelaran pertunjukan ketoprak di dusunya, saat itu juga panggung roboh diterjang angin. Sound sistem juga kerap rusak ketika disewa untuk acara di dusunnya itu.
"Saya kalau ada acara semisal pengajian sampai kesulitan mencari tukang sound sistem yang mau. Alasannya takut kalau alatnya tiba-tiba rusak setelah dari sana, itu kan tidak masuk akal," katanya.
Sukarjan bahkan sampai heran, ada tukang bangunan yang ia suruh menggergaji kusen rumahnya juga ikut-ikutan tidak berani masuk Dusun Ngaglik. Sukarjan lalu menggotong kayu hingga keluar batas dusun agar tukang gergaji tersebut mau mengerjakan kayu miliknya.
"Saya itu sampai berpikir begini, kalau pak pejabat kuatir kalau jabatannya copot, kalau tukang gergaji yang mau copot itu apanya," ungkapnya sambil tertawa.
Meski demikian, pria yang merupakan jebolan pondok pesantren itu tidak memungkiri jika di dusunnya itu memang kental dengan berbagai cerita mistis. Mulai dari orang luar yang datang tiba-tiba meminta izin mengambil tanah di area petilasan, katanya buat obat. Hingga ada yang iseng mencuri pakaian dan tidak bisa keluar dari dusun tersebut.
"Kalau itu percaya tidak percaya, kita hidup di dunia ini tidak mungkin sendirian, pasti ada makhluk lain. Insyaallah kalau datang dengan niat baik, pasti akan baik juga," katanya.
Dusun Ngaglik sendiri berpenduduk sekitar 40 Kepala Keluarga, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Hampir tiap keluarga memiliki hewan ternak berupa sapi. Bukan tanpa sebab, sapi-sapi itu tiap tahun menjadi syarat digelarnya ritual Ngalungi atau Ngupati, tradisi syukuran yang kerap digelar di tengah sawah.
Lambat laun tradisi tersebut dipengaruhi nilai-nilai Islam. Lokasi ritual yang tadinya di tengah sawah kini bergeser ke tengah desa, dan akhirnya masuk ke dalam masjid, katanya agar ritual tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
"Saat itu saya memiliki beban berat, karena yang namanya melawan arus itu berat, Alhamdulillah kondangannya sudah bisa pindah di musala sampai sekarang," kata Sukarjan.
Â
Advertisement
Pelayanan Kesehatan yang Sama
Sukarjan telah melakukan berbagai upaya agar mitos 'apes' mengunjungi Dusun Ngaglik bisa dihilangkan dari kepala banyak orang. Mulai dari ajakannya para pejabat setempat untuk berkeliling ke seluruh kecamatan yang ada di Rembang, hingga memanfaatkan audiensi masyarakat untuk menyampaikan pesan warga Dusun Ngaglik yang selama ini terhalang mitos.
Pada 2018, saat audiensi di pendopo kecamatan Sumber, ia mengajak pemerintah daerah untuk berkunjung ke Dusun Ngaglik agar mitos tersebut bisa dipatahkan. Pada saat itu yang menjawab permintaan tersebut adalah Wakil Bupati Rembang Buyu Andriyanto.
Pada kesempatan itu, lanjut Sukarjan, Wabup Bayu mengampaikan dalam waktu dekat akan berkunjung ke Dusun Ngaglik. Namun janji tinggal jani bulan madu hanya mimpi, setelah satu tahun berlalu janji itu pun tak pernah dipenuhi.
"Entah itu dihantui mitos tersebut entah sedang banyak acara saya tidak bisa memastikan," ungkapnya.
Dalam satu tahun terakhir ini, Sukarjan sedikit merasa lega karena saat ini sudah ada penghulu yang mau masuk desa dan warga bisa melangsungkan pernikahan di dusun mereka sendiri. Pasalnya yang sebelumnya penghulu tidak berani sama sekali masuk dusun dengan berbagai alasan, salah satunya dengan menggelar akad sesuai sunnah islam yaitu didalam masjid. Karena di Dusun Ngaglik tidak ada bangunan masjid, maka lagi-lagi warga harus boyongan keluar dusun. Kebetulan masjid terdekat dari Dusun Ngaglik ada di dusun sebelah yaitu Dusun Jasem.
"Ya itu kalau tujuannya memang sunnah, baik. Namun tujuannya tidak gitu kok, biar tidak masuk Ngaglik saja, acara itu ditempatkan di masjid Dusun Jasem aja," katanya ketus.
Sukarjan tidak sendirian dalam memperjuangkan dusunnya agar mendapatkan pelayanan khususnya di bidang kesehatan. Kepala Desa Kedungasem, Zulianah pun mengatakan, pihaknya juga sudah melaporkan terkait keluh kesah masyarakat Dusun Ngaglik dari tahun ke tahun, pada kegiatan audiensi yang digelar pemerintahan kabupaten di pendopo kecamatan sumber pada Desember 2019 lalu.
Zulianah hanya berdoa agar mitos-mitos yang sudah beredar di masyarakat segera hilang, sehingga Dusun Ngaglik terbebas dari stigma dusun 'pembawa sial', dan warganya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama seperti dusun lainnya.
"Yang terpenting bidan mau masuk, mau mengurus bayi di Dusun Ngaglik, sampai saat ini belum ada bidan desa yang mau masuk. Karena yang dibutuhkan hanya bidan desa saja di dusun itu," katanya menambahkan.