Liputan6.com, Solo - Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang memiliki berbagai tingkatan. Bahkan, dalam bahasa tersebut juga mengatur mengenai unggah-ungguh atau tata krama berbahasa dengan siapa lawan bicaranya. Perkembangan bahasa Jawa memang berkaitan erat dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Jawa yang menjadi sumber kebudayaan.Â
Sebuah manuskrip dengan tulisan tangan aksara Jawa tampak disimpan rapi di salah satu lemari perpustakaan milik Pura Mangkunegaran, Rekso Poestoko. Manuskrip dengan judul 'Basa Kedhaton' itu berisi unggah-ungguh cara bahasa berbincang penguasa atau raja kepada bawahan maupun rakyatnya.
Advertisement
Baca Juga
"Basa (bahasa) itu bahasanya ratu (raja) kepada anak buahhnya. Misalnya, ingsun itu bahasanya saya sebagai ratu, ingsun dawuh marang sira (Saya nyuruh kepadamu). Sira itu kowe (kamu)," kata Pengelola Naskah Kuno Perpustakaan Rekso Poestoko, R.Ngt.Ng. Darweni saat ditemui di Pura Mangkunegaran, Solo, Kamis, 20 Februari 2020.
Bahasa kedhaton, menurut dia, memang bahasa yang selalu digunakan raja atau para penguasa di lingkup istana keraton. Dalam manuskrip itu menulis dengan jelas terkait ucapan bahasa yang digunakan raja, baik saat berbicara dengan keluarga, punggawa, abdi dalem hingga rakyatnya.
"Bahasa kedathon memang hanya dalam lingkup istana saja. Zaman kerajaan kan ada masyarakat, ada raja. Bahasa kedhaton itu dipakai raja kepada masyarakat pada waktu itu," ungkapnya.
Kisah Percakapan Bahasa Sang Raja
Tak hanya dalam manuskrip 'Basa Kedhaton', Darweni juga menyebutkan bahwa percakapan raja dengan bawahan dan masyarakat tertulis pula dalam cerita 'Bocah Mangkunegaran'. Tulisan dalam cerita itu tidak menggunakan tulisan Jawa tapi sudah latin dan menceritakan kegiatan sang raja lengkap dengan tutur bahasa yang diucapkannya.
"Selain 'Bocah Mangkunegaran', ada juga buku sejarah dan buku cerita-cerita zaman dulu yang masih menuliskan bahasa percakapan raja dengan rakyatnya," ucapnya.
Selain bahasa kedhaton di lingkungan istana keraton, menurut Darweni unggah-ungguh bahasa Jawa pun berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa.
Bahkan, penggunaan  tata krama bahasa Jawa itu dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya perbedaan usia, derajat pangkat, pendidikan dan keturunan bangsawan maupun keturunan masyrakat biasa.
"Mengapa terjadi unggah-ungguh karena itu untuk menghormati kalau dalam usia menghormati orang yang lebih tua harus dengan bahasa dan tingkat tutur kata yang halus. Itu juga berlaku untuk menghormati jabatan seseorang harus bicaranya dengan tata krama," jelasnya.
Advertisement
Tingkatan Bahasa Jawa
Selanjutnya Darweni pun menyebutkan tingkatan tata krama dalam percakapan menggunakan bahasa Jawa itu meliputi kromo ngoko, kromo madyo dan kromo inggil. Kromo inggil sendiri merupakan tingkatan bahasa yang sangat halus sekali lantaran untuk menghormati orang yang sangat terhormat.
"Misalnya, saya dengan guru saya sehinga harus pakai kromo inggil. Kalau bahasa kromo madyo itu kita, seperti halnya kita ketemu dengan orang yang enggak kenal banget itu pakai basa kromo tapi enggak tinggi-tinggi. Sedang ngoko digunakan orang yang lebih tua kepada yang muda," kata dia.
"Kromo ngoko juga dipakai untuk orang yang punya derajat pangkat kepada orang biasa. Dari bangsawan kepada rakyatnya, pejabat kepada warga biasa," sambungnya.
Eksistensi bahasa Jawa saat ini memang sedikit terancam  lantaran anak-anak yang lahir sekarang ini banyak yang tidak diajarkan untuk menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia setiap harinya.
Sebab itu, ia pun berharap para orang tua yang merupakan keluarga Jawa untuk tetap mengajarkan berbahasa Jawa agar bahasa ibu tersebut tetap lestari.
"Kalau orang tuanya sehari-hari menggunakan bahasa Jawa otomatis anaknya juga bisa berbahasa Jawa. Tapi kalau tidak dipakai ya mungkin lama-lama tergerus. Apalagi kita tinggal di Solo, kita harus menjaga itu agar tetap lestari," ujarnya.
Simak video pilihan berikut ini: