Liputan6.com, Aceh - Wacana pembentukan qanun pertanahan yang selama ini digenjot oleh elemen sipil di Aceh di ambang babak baru. Sekian tahun vakum, akhirnya rancangan qanun tersebut masuk di dalam lis program legislasi Aceh (prolega).
Rancangan qanun (raqan) pertanahan berada di urutan teratas di antara raqan yang akan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di tahun ini. Kabar baik ini disampaikan oleh Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, Sabtu sore (22/2/2020).
Menurut Syahrul, keberadaan qanun pertanahan sangat urgensi. Provinsi Aceh merupakan provinsi yang memiliki sebaran konflik agraria yang cukup signifikan. Karena itu perlu aturan yang bisa menekan angka konflik sekaligus menjadi benteng yang dapat menahan laju pertumbuhannya.
Advertisement
Baca Juga
Syahrul menyebutkan, bahwa luasan konflik agraria di Provinsi Aceh mencapai 5.420,5 hektare. Konflik tersebut meletus di empat kabupaten, yakni, Bireun, Aceh Tamiang, Abdya, dan Nagan Raya.
Konflik terjadi antara warga Gampong Paya Rahat, Teuku Tinggi, Tanjung Lipat I dan II versus PT Rapala di Aceh Tamiang; Gampong Krueng Simpo versus PT Syaukat Sejahtera di Bireun; Gampong Pante Cermin versus PT Dua Perkasa Lestari di Abdya; dan Gampong Cot Mee versus PT Fajar Baizury & Brother's di Nagan Raya.
Data yang dikumpulkan oleh lembaga nonpemerintah itu menunjukan bahwa konflik agraria di Aceh berdampak pada 4.080 jiwa. Sebanyak 57 orang di antaranya tercatat sebagai korban kriminalisasi.
Dari 57 orang tersebut, 34 orang di antaranya dipidana dengan tuduhan menduduki dan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin, sementara, 23 orang lagi jadi tersangka dengan tuduhan serupa. Angka-angka tersebut merupakan hasil pendataan secara berkala yang dilakukan oleh lembaga itu selama kurun waktu 2015-2019.
"Semoga tahun ini qanun ini bisa selesai dibahas dan disahkan. Kita yakin qanun ini sangat dibutuhkan oleh rakyat Aceh, terutama untuk penyelesaian konflik lahan yang selama ini telah terjadi dalam waktu panjang tetapi tidak ada solusi penyelesainnya," kata Syahrul kepada Liputan6.com.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Wacana Jauh Hari
Upaya mendorong lahirnya qanun pertanahan telah dilakukan oleh YLBHI-LBH Banda Aceh jauh-jauh hari, bahkan, wacana mengenainya sudah muncul belasan tahun silam. Tanggapan para legislator pun awal-awalnya sangat eufonik, namun, redup kudian.
Pembahasan mengenai raqan pertanahan sempat berstatus kumulatif terbuka atau akan dibahas jika legislatif menganggapnya penting pada 2016. Belakangan, raqan pertanahan masuk dalam daftar prolega prioritas atas usulan Komisi I Bidang Pemerintahan, Politik, dan Hukum. Namun lagi-lagi ia dianaktirikan, hingga akhirnya masuk dalam lis prolega 2020 atas usulan Dinas Pertanahan.
Qanun pertanahan bisa jadi lex specialis untuk masalah pertanahan. Qanun tersebut sejatinya merupakan realisasi salah satu poin nota kesepahaman serta amanat Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), seperti yang disebut di dalam bab khusus tentang pertanahan pasal 213 dan 214.
Draf raqan pertanahan terdiri dari sebelas bab dan 165 pasal, di antaranya mengatur tentang kewenangan Pemerintah Aceh dalam hal perizinan Hak Guna Usaha (HGU) dan pembentukan komisi pertanahan yang salah satu fungsinya menerima pengaduan serta penyelesaikan sengketa pertanahan secara adil dan setara.
Advertisement