Sukses

Perumus UU ITE: Kasus Saiful Mahdi Bukti Rendahnya Level Demokrasi Indonesia

Prof Hendri Subiakto, salah satu perumus UU ITE mengatakan, kriminalisasi terhadap Saiful Mahdi mempertegas rendahnya level demokrasi Indonesia di mata dunia.

Liputan6.com, Aceh - Prof Hendri Subiakto, salah satu perumus UU ITE mengatakan bahwa kriminalisasi terhadap Saiful Mahdi, dosen FMIPA Universitas Syiah Kuala, mempertegas rendahnya level demokrasi Indonesia di mata dunia. Dirinya menyebut Mahdi sebagai korban kesekian kali dari pasal yang tidak jelas tolok ukurnya.

Seperti diberitakan, Saiful Mahdi dilaporkan oleh koleganya sendiri karena menulis pesan yang dituding telah mencemarkan nama baik jajaran pimpinan Fakultas Teknik, Unsyiah. Dosen statistika itu disangkakan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, salah satu pasal yang masuk di antara lis pasal karet.

Subiakto dihadirkan sebagai ahli oleh tim penasihat hukum terdakwa di dalam persidangan lanjutan di PN Banda Aceh Kelas 1A, baru-baru ini. Staf ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika itu jadi medium pencelik untuk memperjelas intensi keberadaan UU ITE yang selama ini sering disalahtampakan serta banyak berujung kriminalisasi.

Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), mencatat 271 laporan kasus UU ITE sejak 2008 hingga Desember 2019. Pasal yang dipakai para pelapor yakni, 27 ayat 1 (memuat konten melanggar kesusilaan), 17 ayat 3 (pencemaran nama baik), 28 ayat 2 (menyiarkan kebencian), dan 29 (ancaman kekerasan).

"Kita sudah berkali-kali mendapat hasil, Indonesia level demokrasinya dianggap buruk karena kesalahan penerapan UU yang sebenarnya sejak awal digunakan untuk melindungi HAM, demokrasi," cetus guru besar Universitas Airlangga itu.

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Tak Ada Unsur Defamasi

Subiakto menilai pesan yang dilempar Mahdi ke WhatsApp Group (WAG) tidak berunsur defamasi (pencemaran nama baik) sama sekali. Mahdi mencurahkan unek-uneknya melalui tulisan yang memiliki intensi dan tensi yang akademis ke dalam grup tertutup berisi akademikus.

"Ini aneh ini, kampus kok bisa seperti ini? Di dunia akademik itu hal yang biasa berbeda pendapat, hal yang biasa ketika ada pendapat yang menyakitkan tapi selesaikan pendapat dengan pendapat informasi dengan informasi bukan ke pengadilan," ketus dia.

Apa yang dilakukan Mahdi, disebut Subiakto sebagai sesuatu yang telah dijamin oleh pasal 28f UUD 1945. Isi pesan tersebut diklaim evaluatif, kendati kata-katanya tidak terlalu eufemistis.

Subiakto tidak menemukan naturlijke persoon (subjek hukum) yang dimaksud di dalam pesan yang telah menyeretnya ke kursi pesakitan itu. Frasa "jajaran pimpinan" yang ditulis Mahdi disebutnya tidak menyasar subjek tertentu, sebagai berikut:

"Gong Xi Fat Cai!!!"

"Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble?

"Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen."

"Hanya para medioker atau yang terjerat 'hutang' yang takut meritokrasi."

"Beberapa pimpinan itu bukan seseorang namanya saja jajaran pimpinan, fakultas itu banyak orang, kalau banyak orang harus yang jelas siapa naturlijke persoonnya, orang pribadinya. Orang pribadi itulah kemudian yang punya hak untuk mengadukan kepada penegak hukum," jelas Subiakto.

Sebagai sebuah delik aduan, hal itu dipandang "aneh" oleh Subiakto. Pesan yang ditulis Mahdi disebutnya tidak secara gamblang menerakan siapa identitas yang telah dicemarkan nama baiknya oleh lulusan Universitas Cornell dan Vermont itu.

"Pasal 27 ayat 3 ITE itu harus muatannya adalah penghinaan atau pencemaran nama baik, apa itu pencemaran nama baik? harus masuk pasal 310 dan 311 KUHP, minimal 310, yaitu menuduhkan suatu hal pada seseorang, ini jelas tidak menuduh. Ini adalah pandangan," lanjut dia.

"Hukum tidak boleh meraba-raba, harus jelas, tidak boleh hanya berdasarkan perasaan, ini kayaknya saya yang diserang sama pak Saiful, enggak bisa seperti itu, kalau perasaan nanti bias," Subiakto menambahkan.